image
image
image

Bab 3

Shuang Shuang

image

SENJA pun kembali turun.

Pegunungan di kejauhan berubah warna dari hijau kebiruan menjadi abu-abu Matahari terbenam menjadi latar belakangnya. Air mengalir semakin lambat dari mata airnya. Hembusan angin bertambah harum semerbak bunga yang mulai bermekaran di kaki bukit. Bunga-bunga aneka warna menghiasi rumah-rumah sekitar situ.

Jembatan kecil. Air mengalir tenang.

Sebuah gerbang kecil dekat air yang mengalir, di lereng bukit itu. Di halamannya berbagai macam bunga ditanam.

Seorang tua, bertubuh tinggi besar dan berotot, sedang membelah kayu bakar di halaman. Tangannya hanya sebelah, namun tangan ini begitu tangkas dan sangat sangat kuat. Ia menggunakan ujung jari kakinya untuk menahan kayu bakar itu, dan dengan tangannya yang hanya satu itu ia mengayunkan kapaknya dengan pasti. Kapak itu jatuh dengan suara ‘clop’, dan kayu bakar pun terbelah menjadi dua. Matanya dalam, bagaikan pegunungan di kejauhan. Mata itu terlihat sedih dan sepi. Hanya orang-orang yang sudah begitu banyak mengecap asam garam dunia ini bisa mempunya mata yang begitu sedih dan sendiri.

Xiao Wu dan Gao Li melangkah masuk.

Langkah mereka sangat ringan, namun si orang tua segera menoleh. Matanya terarah pada Gao Li. Wajahnya tidak menunjukkan perubahan apapun juga. Ia berdiri saja dengan tenang di situ sampai Gao Li sampai di dekatnya.

Perlahan ia meletakkan kapaknya di tanah. Tiba-tiba ia berlutut di depan Gao Li dan bersujud. Seperti seekor anjing di hadapan majikannya. Namun wajahnya tetap kosong, dan mulutnya tidak berbicara sama sekali.

Gao Li pun tidak berbicara. Ia hanya menepuk-nepuk pundak si orang tua. Persis seperti dua orang sedang bermain drama bisu. Tapi sayangnya, tidak ada orang lain yang mengerti arti drama bisu ini.

Xiao Wu berdiri saja di situ dengan kaku. Untung saja, tidak berapa lama kemudian terdengar suara dari dalam rumah. Suara yang lembut dan merdu. Suara seorang gadis muda.

Shuang Shuang.

Katanya dengan merdu, “Aku tahu kau pasti akan kembali. Aku tahu pasti.”

Suaranya begitu penuh kasih, melantunkan kelembutan dan seluruh perasaan cintanya. Ketika Gao Li mendengar suara itu, matanya menjadi lembut, penuh perasaan tidak terucapkan dengan kata-kata.

Xiao Wu terpana. Ia sungguh ingin sekali melihat seperti apa gadis ini.

Sungguh seorang gadis yang pantas dipuja. Layak mendapatkan pengorbanan apapun dari seorang pria seberapapun banyaknya demi menyenangkan hatinya.

Si orang tua sudah berdiri kembali dan mulai memotong kayu bakar lagi. ‘Clop’, dan kayu bakar pun terbelah menjadi dua.

Gadis itu tetap di dalam. Xiao Wu dan Gao Li masuk ke dalam rumah. Xiao Wu merasa hatinya berdebar-debar lebih cepat dari biasanya.

'Seperti apakah gadis ini? Secantik apakah dia?'

Ruang duduknya sangat bersih. Jendelanya besar-besar dan tidak berdebu sedikitpun. Ada sebuah pintu berukir di salah satu sisi ruangan dengan tirai bambu tergantung di depannya.

Suaranya terdengar dari dalam kamar. “Apakah kau datang membawa tamu?”

Tak disangka, ia dapat mendengar langkah kaki dua orang.

Suara Gao Li menjadi sangat lembut. “Ia bukan tamu, ia sahabatku.”

“Mengapa tidak kau ajak masuk ke sini?”

Gao Li menepuk bahu Xiao Wu. Ia tersenyum dan berkata, “Ia mengundang kita masuk. Mari masuk.”

Sahut Xiao Wu, “Ya, ayo masuk.”

Mulutnya saja yang berbicara tanpa ia menyadarinya, sebab pikirannya sibuk dengan hal yang lain. Ia pun melangkah masuk. Tiba-tiba seluruh pikirannya membeku. Detak jantungnya serasa terhenti tiba-tiba.

Akhirnya ia melihat Shuang Shuang. Kesan pertama ini, ia sangat yakin, tidak akan pernah dilupakannya seumur hidupnya.

Shuang Shuang duduk bersandar di tempat tidur . Tangannya memegang erat selimut berwarna muda yang menutupi tubuhnya. Tangannya putih, lebih putih dari pada selimutnya, bahkan seolah-olah transparan, tidak berwarna. Lengannya kurus dan ringkih, seperti lengan anak kecil. Matanya besar, namun bagian hitamnya keruh kelabu.

Wajahnya tampak lebih aneh lagi.

Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan membayangkannya pun sulit. Wajahnya tidak jelek, tidak juga rusak. Wajahnya seperti topeng seorang wanita cantik yang dibuat secara amatiran, seperti wajah wanita cantik yang terdistorsi.

Inilah wanita yang untuknya Gao Li tidak ragu-ragu mengorbankan segalanya. Seorang wanita sakit-sakitan, cacad wajah, dan buta.

Dalam kamar itu terdapat sebuah vas penuh dengan bunga segar. Juga ada juga berbagai macam boneka dan mainan dengan kualitas tinggi. Semuanya sudah pasti mahal harganya. Bunganya juga segar, cerah dan harum. Sangat bertolak belakang dengan gadis dalam kamar itu. Sangat memilukan dan menggelikan.

Namun wajah gadis itu tidak menunjukkan rasa rendah diri sama sekali, malahan penuh kebahagiaan dan percaya diri. Ekspresinya sama persis dengan ekspresi seorang wanita cantik. Ekspresi yang muncul dari pengetahuan bahwa semua pria di sekelilingnya diam-diam mengagumi kecantikannya.

Xiao Wu sungguh terpana.

Gao Li mengulurkan tangannya dan memeluk gadis itu. Dibelainya gadis itu dan berkata, “Gadisku yang cantik, dewiku, kau tahu aku selalu merindukanmu....Jika aku tidak bisa pulang secepatnya, aku pasti akan jadi gila.”

Kata-katanya terdengar menjijikkan. Orang yang mendengar pasti merasa mual. Namun wajah Shuang Shuang makin bercahaya. Ia mengangkat tangannya yang kurus kecil dan mulai membelai kepala Gao Li, seperti sedang membelai seorang anak kecil.

Gao Li pun seolah-olah berubah menjadi seorang anak kecil. Seolah-olah tidak ada yang dapat membuatnya lebih berbahagia daripada melakukan apa yang diinginkan gadis itu.

Shuang Shuang tersenyum dan berkata, “Kau cuma bohong saja. Kalau kau benar-benar rindu padaku, mengapa kau tidak pulang lebih cepat?”

Gao Li pura-pura mengeluh panjang. Katanya, “Sungguh, aku ingin pulang secepatnya. Sayangnya, aku perlu bekerja untuk mencari uang supaya aku bisa membeli hadiah untuk ratu kecilku.”

“Benarkah?”

“Apakah kau ingin aku membelah dadaku dan menyerahkan hatiku kepadamu?”

Shuang Shuang tersenyum. “Kupikir kau sudah terpikat pada wanita cantik di luar sana.”

“Dapatkah aku melihat wanita cantik di luar sana? Siapakah wanita di dunia ini yang sebanding dengan dewiku yang cantik ini?”

Shuang Shuang tersenyum bahagia. Ia pura-pura menggelengkan kepalanya, “Aku tidak percaya padamu. Di luar sana pasti ada banyak wanita yang lebih cantik dan menarik daripada aku.”

Gao Li berkata dengan tegas, “Tidak, seorang pun tidak ada.”

Ia mengejapkan matanya beberapa kali, lalu ia menambahkan, “Aku mendengar, katanya di dalam istana ada seorang putri yang sangat cantik. Tapi waktu aku melihatnya, kecantikannya tidak ada setengah kecantikanmu.”

Shuang Shuang mendengarkan saja sambil tersenyum manis. Tiba-tiba ia mencium pipi Gao Li.

Gao Li terlihat sangat bahagia, sampai hampir pingsan. Pria dewasa yang tinggi gagah, seorang gadis cacad yang buta. Dua orang yang tidak setimpal satu dengan yang lain ini bercanda dengan bebas. Kombinasi dua orang ini terlihat sangat aneh, walaupun ada menariknya juga.

Keadaan ini sangat menggelikan, sangat lucu. Namun dalam hati Xiao Wu, ia sama sekali tidak ada pikiran untuk tertawa. Hatinya terasa pahit getir. Ia malah merasa ingin meneteskan air mata.

Gao Li mengambil kantung uang dari pinggangnya. Ditumpahkannya seluruh isinya ke atas ranjang. Ada 20-30an keping emas.

Lalu diraihnya tangan Shuang Shuang yang kecil dan dibawanya meraba kepingan emas itu. Wajah Gao Li sungguh puas, bangga akan hasil kerjanya. Katanya, “Inilah hasil kerjaku beberapa bulan ini. Bisa untuk membeli mainan untuk ratu kecilku.”

Tanya Shuang Shuang, “Benarkah ini semua hasil kerjamu?”

Gao Li berkata dengan tegas, “Tentu saja. Aku tidak mencuri atau merampok.”

Wajah Shuang Shuang menjadi lebih lembut. Ia mengangkat tangannya dan membelai wajah Gao Li. Lalu ia berkata, “Aku bangga mempunyai kekasih seperti engkau. Sungguh, sangat bangga.”

Gao Li menatapnya. Ekspresi bahagia terbayang di wajahnya yang pucat dan tirus. Wajah Gao Li yang biasanya kosong pun kini penuh dengan rasa bahagia. Segala kebengkokan dan kekejaman dunia yang biasanya menjadi dunianya kini terlupakan sama sekali.

Xiao Wu tidak pernah melihat ekspresi semacam itu seumur hidupnya. Ia pun tidak pernah menyangka bahwa Gao Li dapat memiliki ekspresi seperti itu. Di hadapan gadis itu, Gao Li telah berubah menjadi seseorang yang lain. Walaupun Shuang Shuang tidak dapat melihat ekspresi wajah Gao Li, ia dapat merasakannya. Oleh sebab itu, ia pun semakin merasa puas dan bahagia.

Siapa yang bisa bilang bahwa mereka bukan pasangan yang setimpal?

Xiao Wu tiba-tiba merasa betapa cantiknya gadis ini. Seorang wanita yang mampu membuat seorang pria merasa begitu berbahagia. Jika memang ada kekurangan di sana sini, apakah itu perlu dipusingkan?

Mereka bertiga terdiam lama. Tiba-tiba wajah Shuang Shuang bersemu merah. Katanya, “Ah, bukankah tadi kau bilang bahwa kau datang bersama dengan sahabatmu?”

Gao Li pun tersenyum. “Sudah kubilang tadi, kan. Begitu aku melihatmu, aku langsung hilang ingatan, lupa segala sesuatu, termasuk sahabatku ini.”

Shuang Shuang pura-pura merajuk. “Kau merayu di hadapan orang lain. Tidakkah kau kuatir mereka akan menertawakanmu?”

Gao Li tertawa. “Menertawakanku? Sudah jelas bocah ini sedang iri hati padaku!”

Ia memandang Xiao Wu. Wajahnya penuh dengan harapan yang berbunga-bunga.

Xiao Wu mendesah, katanya, “Kau selalu menyombongkan bahwa gadismu adalah wanita tercantik di dunia ini. Baru sekarang aku tahu persis bahwa kau cuma bohong saja.”

Wajah Gao Li menegang. “Apa maksudmu aku cuma bohong?”

Sahut Xiao Wu, “Siapakah di dunia ini yang bisa secantik dia? Dia adalah seorang dewi yang turun dari kahyangan.”

Gao Li tersenyum.

Shuang Shuang pun tersenyum.

Xiao Wu memukul bahu Gao Li ringan. Ia tersenyum dan berkata, “Sejujurnya, aku memang iri pada keberuntunganmu. Kalian berdua sungguh adalah pasangan yang serasi.”

Kata Shuang Shuang pada Gao Li sambil tersenyum, “Kelihatannya, kulit mukamu makin tebal saja.”

Sahut Gao Li cepat, “Itu semua gara-gara bocah ini!”

Ketiganya tertawa berderai. Xiao Wu pun tiba-tiba menyadari, belum pernah ia merasa sebahagia ini dalam hidupnya.

***

image

Shuang Shuang tidur sangat awal. Setelah makan malam, Gao Li membantunya naik ke tempat tidur dan menyelimutinya. Ia seperti kucing kecil yang manja. Segala sesuatu Gao Li yang melayaninya dengan telaten. Tapi sebenarnya, Gao Li-lah yang lebih menikmati semuanya itu.

Kini bintang-bintang telah merajai angkasa.

Gao Li dan Xiao Wu membentangkan tikar bambu di antara semak-semak bunga dan berbaring menatap langit malam.

Dingin malam menusuk kulit. Langit malam begitu anggun dan menawan.

Xiao Wu menghela nafas panjang dan berkata, “Apa yang kau katakan memang benar. Ia sungguh seorang wanita yang luar biasa.”

Gao Li diam saja.

Kata Xiao Wu lagi, “Memang wajahnya tidak cantik, tapi hatinya begitu cantik. Jauh lebih cantik daripada wanita cantik manapun di dunia ini.”

Gao Li tetap diam.

“Aku tadinya heran mengapa kau begitu pelit. Tapi sekarang aku mengerti.”

Xiao Wu mendesah dan menambahkan, “Demi wanita seperti dia, pantaslah kalau kau mengorbankan segala sesuatu.”

Tiba-tiba Gao Li berkata, “Mungkin aku tidak melakukannya demi dia.”

“Bukan demi dia?”

Gao Li menghela nafas. “Jika aku ingin kelihatan gagah dan ksatria, aku bisa saja bilang bahwa semuanya itu adalah demi dia. Namun dalam hati kecilku, aku tidak bisa berdusta. Aku tahu bahwa aku melakukan semuanya itu demi diriku sendiri.”

“Maksudmu?”

“Karena hanya dengan berada di sinilah jiwaku bisa merasa damai sejahtera. Oleh sebab itu....” Ia terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Sekali-sekali aku harus pulang ke sini dan tinggal untuk beberapa hari. Kalau tidak aku mungkin sudah gila.”

Pekerjaan mereka memang bisa membuat orang seperti robot. Oleh sebab itu, sekali-sekali jiwa mereka pun harus disegarkan. Xiao Wu sungguh mengerti.

Ia pun terdiam cukup lama, lalu tiba-tiba bertanya, “Bagaimana kau bisa mengenalnya?”

“Ia adalah seorang yatim piatu.”

“Orang tuanya?”

“Mereka telah meninggal saat ia baru berusia 13 tahun.”

Wajah Gao Li tampak begitu sedih saat ia melanjutkan perkataannya. “Hanya dialah yang dimiliki pasangan suami istri itu. Supaya ia tidak bersedih, orang tuanya selalu berkata bahwa ialah anak yang tercantik di dunia ini. Dan dia....tentu saja ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri.”

Tidak bisa melihat wajahnya sendiri, mungkin tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah bahwa ia pun tidak bisa melihat wajah orang lain. Oleh sebab itu, ia tidak bisa membandingkan dirinya dengan orang lain.

Xiao Wu mendesah, hatinya terasa berat. “Ia adalah seorang buta. Itulah kemalangannya. Namun jika dilihat dari sudut pandang yang lain, itulah yang menjadi keberuntungannya.”

Begitu tipis perbedaan antara kebahagiaan dengan keberuntungan.

Kata Gao Li, “Suatu saat, aku mengalami luka parah. Entah bagaimana, aku sampai di tempat ini. Pada saat itu, orang tuanya masih ada. Mereka merawat aku dengan telaten. Siang malam mereka menjagai aku. Tidak pernah sekalipun mereka mempermasalahkan asal usulku. Tidak pernah mereka memperlakukan aku sebagai seorang penjahat.”

Kata Xiao Wu, “Sebab itulah, kau pun semakin sering datang ke sini.”

“Saat itu aku telah menganggap mereka keluarga sendiri. Setiap tahun baru, apapun yang terjadi, aku pasti pulang ke sini.”

“Aku mengerti perasaanmu.”

Kini di wajah Xiao Wu pun terbayang suatu kesedihan. Anak muda yang begitu penuh gairah ini pun mempunyai penderitaan dan rahasia dalam hatinya yang tidak ingin diperlihatkannya kepada orang lain.

Kata Gao Li, “Setelah itu.....setelah orang tuanya meninggal..... Di akhir hayat mereka, mereka membuat aku berjanji untuk merawat putri mereka satu-satunya ini. Mereka tidak berani berharap aku akan menikah dengannya, namun mereka berharap aku merawatnya seperti adik kandungku sendiri.”

Tanya Xiao Wu, “Tapi apakah kini kau telah menikahinya?”

“Belum. Namun sebentar lagi aku pasti akan menikahinya.”

“Untuk membayar hutang budimu pada orang tuanya?”

“Ya.”

“Apakah kau mencintainya?”

Gao Li tampak ragu sejenak, lalu ia menjawab perlahan, “Aku tidak tahu apakah aku mencintainya atau tidak.... Tapi yang aku tahu pasti adalah bahwa ia selalu membuatku merasa bahagia, ia bisa membuat aku menjadi manusia yang lebih baik.”

Tanya Xiao Wu, “Lalu mengapa kau tidak menikah dengannya secepatnya?”

Kini Gao Li terdiam lama. Akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Apakah kau sudah tidak sabar lagi ingin minum arak pernikahan kami?”

“Sudah tentu.”

Gao Li bangkit dan duduk tegak. Matanya bercahaya terang. Katanya, “Apakah kau mau tinggal di sini untuk beberapa hari lagi?”

Sahut Xiao Wu, “Aku memang tidak ada tempat tujuan lain.”

Gao Li menepuk-nepuk pundak Xiao Wu. Katanya, “Bagus, aku akan menyuguhkan arak pernikahanku kepadamu.”

Xiao Wu melompat cepat. Ia balas menepuk-nepuk pundak Gao Li dengan bersemangat. “Aku ingin minum arak pernikahanmu secepatnya.”

Kata Gao Li, “Aku akan menyiapkannya besok, bersama dengan Si Gajah.”

“Si Gajah?”

“Si Gajah adalah orang tua dengan satu tangan yang mempersiapkan makan malam kita barusan.”

Tanya Xiao Wu, “Aku pun ingin tahu mengenai dia.”

Gao Li tersenyum simpul. “Kau memperhatikan dia?”

“Aku merasa ia orang yang agak aneh. Lagi pula, latar belakangnya pasti luar biasa.”

Tanya Gao Li, “Kau memperhatikan dia menggunakan kapaknya?”

“Ya.”

“Menurutmu, bagaimana kekuatan tangannya?”

“Sudah jelas tidak lebih lemah dibandingkan dengan kau dan aku.”

Kata Gao Li, “Matamu memang sangat tajam.”

Tanya Xiao Wu tidak sabar, “Siapakah dia? Bagaimana dia bisa ada di sini? Mengapa ia menghormatimu seperti seorang hamba?”

Gao Li tersenyum. “Kau akan tahu jawabannya sedikit demi sedikit.”

“Mengapa tidak kau beri tahu padaku sekarang juga?”

“Karena aku sudah berjanji padanya bahwa aku tidak akan mengatakan perihal dirinya kepada siapapun juga.”

“Tapi aku.....”

Kalimatnya belum selesai, namun tubuhnya telah melambung naik dan melesat bagaikan anak panah ke arah semak-semak bunga mawar di kaki bukit. Gerakannya sangat lincah dan luwes, jurusnya pun istimewa.

Dari antara semak-semak mawar terdengar suara rendah berkata, “Ilmu meringankan tubuh yang hebat. Memang pantas sebagai anggota keluarga yang ternama.”

Wajah Xiao Wu berubah drastis. Ia mendesis, “Siapa kau?”

Sambil berkata ia menyusup ke antara semak mawar, ke arah datangnya suara itu. Namun ia tidak menemukan siapapun juga di sana. Tidak ada orang di antara semak-semak mawar.

***

image

Cahaya bulan dan bintang-bintang makin memudar.

Kini Gao Li pun telah tiba di situ. Ia mengernyitkan keningnya. “Apakah orang dari ‘Bulan 7 Tanggal 15’ sudah datang mengejar kita?”

Sahut Xiao Wu, “Kurasa bukan.”

“Bagaimana kau tahu bukan mereka?”

Xiao Wu tidak menjawab. Wajahnya tampak agak aneh, seperti kaget, seperti ketakutan. Kalau ia merasa bahwa orang itu adalah suruhan organisasi mereka, mengapa ia harus takut?

Gao Li tidak bisa menemukan jawabannya, namun ia pun tidak ingin memaksa. Ia tahu, jika Xiao Wu tidak mau memberitahu, tidak ada gunanya memaksa dia bicara.

Xiao Wu terdiam sekian lama, lalu tiba-tiba bertanya, “Si Gajah?”

“Dia sudah tidur dari tadi!”

“Tidur di mana?”

“Kau ingin menemui dia?”

Xiao Wu tersenyum malu. “Ak.... Bolehkah aku berbincang-bincang dengannya?”

Gao Li tersenyum. “Tidak bisakah kau lihat bahwa ia bukan orang yang suka ngobrol?”

Mata Xiao Wu berkilat. Kembali wajahnya tampak aneh dan ia pun berkata perlahan, “Tapi mungkin dia mau ngobrol denganku.”

Gao Li menatapnya lekat-lekat.

Setelah berpikir lama, akhirnya ia mengangguk. “Begitu banyak kejadian aneh telah terjadi.....”

Si Gajah ternyata belum tidur. Waktu ia membuka pintu kamarnya, ia masih mengenakan sepatunya. Matanya pun masih terbuka lebar, sama sekali tidak kelihatan mengantuk. Matanya menatap tanpa ekspresi. Seakan-akan orang-orang di hadapannya itu seperti patung kayu saja.

Gao Li tersenyum. Katanya, “Kau belum tidur?

Si Gajah menjawab kering, “Orang tidur tidak bisa membuka pintu.”

Suaranya perlahan, kaku, seperti orang yang sudah tidak bicara puluhan tahun. Seakan-akan berbicara adalah hal yang sangat tidak wajar dilakukan.

Kamarnya sederhana. Tidak ada barang lain selain keperluan yang mendasar. Tidak ada benda lain, tidak ada hiasan apapun. Seolah-olah ia hidup seperti seorang pendeta.

Xiao Wu merasa bahwa kamar ini dan kamar Shuang Shuang sungguh bertolak belakang. Seperti dua planet yang berbeda. Yang seorang bertubuh besar, gagah, sehat, kuat. Seorang lelaki tua dengan satu tangan, sangat berbeda dari Shuang Shuang. Namun kedua orang ini justru tinggal di tempat yang sama.

Si Gajah menarik sebuah kursi – yang sebenarnya hanya beberapa potong kayu yang disambung-sambung dengan paku. Katanya, “Duduk.”

Di situ hanya ada satu kursi itu. Oleh sebab itu, baik Xiao Wu maupun Gao Li tetap berdiri saja.

Xiao Wu berdiri dekat pintu. Matanya menatap lansgsung pada si tua dan tiba-tiba bertanya, “Apakah kau pernah melihatku sebelum hari ini?”

Si Gajah menggelengkan kepalanya.

“Namun kau tahu siapa aku?”

Kembali Si Gajah menggelengkan kepalanya.

Gao Li memandangnya, lalu memandang Xiao Wu dan berkata, “Dia belum pernah bertemu denganmu, bagaimana mungkin ia bisa tahu siapa engkau?”

Sahut Xiao Wu, “Mungkin ia mengenali ilmu meringankan tubuhku.”

Tanya Gao Li, “Apakah ilmu meringankan tubuhmu lain daripada yang lain?”

“Ya.”

“Mengapa aku tidak melihatnya demikian?”

“Karena kau masih terlalu muda.”

Tanya Gao Li, “Apakah sebenarnya kau sudah sangat tua?”

Xiao Wu hanya tersenyum. Ia tidak menjawab.

Kata Gao Li lagi, “Walaupun ilmu meringankan tubuhmu berbeda, dia kan belum pernah melihatnya.”

Kata Xiao Wu, “Pernah.”

“Kapan?”

“Baru saja.”

“Baru saja?”

Xiao Wu tersenyum lagi. Ia tidak menjawab Gao Li. Tatapannya lurus memandang Si Gajah. Sepatu Si Gajah masih kotor oleh tanah basah.

Sepanjang hari ini cuaca terus cerah. Hanya sebagian kecil tanah di sekitar semak-semak mawar yang masih basah, karena setiap sore Si Gajah selalu menyiraminya. Tapi jika sepatu itu kotor oleh tanah semenjak sore tadi, pasti saat itu tanah itu sudah mengering.

Gao Li bukan orang bodoh. Ia langsung mengerti bahwa orang yang baru saja bersembunyi di antara semak-semak mawar itu adalah Si Gajah.

“Apakah itu tadi engkau?”

Si Gajah tidak bisa mungkir.

Tanya Gao Li lagi, “Kau sungguh mengenali siapa dia?”

Si Gajah tidak menyangkal.

Tanya Gao Li mendesak, “Siapa dia? Bagaimana kau bisa mengenalinya?”

Si Gajah tidak langsung menjawab, malah menoleh ke arah Xiao Wu. Ia bertanya, “Mengapa kau tidak pulang?”

Wajah Xiao Wu langsung berubah. “Pulang? Ke mana aku harus pulang?”

“Tentu saja pulang ke rumahmu.”

Xiao Wu sebetulnya ingin bertanya ‘Bagaimana kau bisa tahu tentang keluargaku?’. Tapi pada akhirnya ia hanya bertanya, “Bagaimana kalau aku tidak mau pulang?”

Si Gajah menjawab tegas, “Tapi kau harus pulang.”

“Kenapa?”

“Karena ayahmu hanya punya seorang anak laki-laki seperti dirimu.”

Tubuh Xiao Wu langsung mengejang, seolah-olah ia dipaku di tempatnya berdiri. Ia menatap lurus pada orang tua itu. Ia menatapnya sangat lama, kemudian berkata sepatah demi sepatah, “Kau bukan Si Gajah.”

Gao Li menjawab dengan ringan, “Tentu saja dia bukan si gajah. Dia kan manusia.”

Xiao Wu tidak menggubrisnya. Ia terus menatap orang tua itu. “Kau adalah Jin Kai-jia dari Handan!”

Wajah si orang tua tetap kaku tidak bergeming.

Namun Gao Li langsung berseru, “Jin Kai-jia? Si Dewa Besar Halilintar Jin Kai-jia?”

Sahut Xiao Wu, “Tepat sekali!”

Di bibir Xiao Wu tersungging seulas senyum. Ia berkata lagi, “Jadi, kau tidak mau memberitahukan kepadaku siapa dia, karena ternyata kau pun tidak tahu.”

Gao Li mendesah. Ia tersenyum pahit. “Aku sungguh-sungguh tidak tahu bahwa ia adalah Si Dewa Besar Halilintar.”

Xiao Wu berkata, “Selain Tetua Jin, siapa lagi yang bisa memainkan sebuah kapak selihai itu?”

Tiba-tiba Jin Kai-jia berkata dengan dingin, “Sayangnya kau masih terlalu muda. Oleh sebab itu kau tidak pernah menyaksikan bagaimana rupa jurus “Kapak si Dewa Angin Badai” dua puluh tahun yang lalu.”

Sahut Xiao Wu, “Tapi aku pernah mendengarnya.”

Kata Jin Kai-jia, “Tentu saja kau pernah dengar. Semua orang juga pernah dengar.”

Walaupun wajahnya tetap kaku, nada bicaranya terkesan geram.

Xiao Wu pun berkata ringan, “Yang tidak pernah kubayangkan adalah Si Dewa Besar Halilintar yang begitu menggetarkan dunia, yang begitu angkuh, bisa bersembunyi di tempat terpencil seperti ini membelah kayu bakar!”

Perkataannya sungguh penuh dengan duri.

Kali ini, wajah Jin Kai-jia berubah. Seolah-olah sebatang paku yang tajam menembus mukanya. Setelah lama terdiam, akhirnya ia berkata perlahan, “Tentu saja itu berkat pertolongan keluargamu.”

Perkataannya pun tidak lebih kurang ketajamannya.

Kata Xiao Wu, “Kau pasti sedikit kuatir dikenali orang, namun kau pasti tidak pernah menyangka akan bertemu denganku di sini.”

Jawab Jin Kai-jia, “Memang tidak pernah.”

Xiao Wu mencibir dan berkata, “Sepuluh tahun yang lalu, Si Dewa Besar Halilintar terkenal sebagai salah satu jago persilatan kelas atas. Hari ini kau sudah bertemu denganku, mengapa kau tidak membunuhku?”

Kata Jin Kai-jia, “Aku tidak akan membunuhmu.”

“Kenapa?”

“Karena kau adalah sahabat penyelamatku.”

“Siapakah sahabatmu.”

Kata Gao Li tiba-tiba, “Akulah sahabatnya.”

***

image

Xiao Wu terkejut. Katanya, “Kau? Kau pernah menyelamatkan Si Dewa Besar Halilintar?”

Gao Li tersenyum kecut. “Tentu saja pada waktu itu aku tidak tahu bahwa yang kuselamatkan adalah seorang jago silat papan atas.”

Jin Kai-jia berkata dingin, “Pada saat itu aku sudah bukan seorang jago silat papan atas. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa dikerjai oleh kaum keroco macam itu.”

Matanya yang selalu kaku kelabu, tiba-tiba memancarkan sinar kemarahan. Setelah sekian lama, barulah ia berkata lagi, “Sejak pertemuan di Taishan, aku terluka dalam oleh ayahmu. Sejak saat itulah aku bukan lagi seorang pesilat kelas atas.”

Tanya Xiao Wu, “Beliau berhasil mematahkan jurus ‘Hamburan Darah Terbang’mu?”

Sahut Jin Kai-jia, “Tidak ada seorang pun yang mampu mematahkan jurus ‘Hamburan Darah Terbang’.”

Kata Xiao Wu, “Walaupun beliau mematahkan sebelah lenganmu, kau kan masih punya sebelah lagi.”

Jin Kai-jia tersenyum mengejek. “Kau memang masih hijau. Pantas kalau kau tidak tahu bahwa Si Dewa Besar Halilintar memainkan kapak dengan tangan kirinya.”

Xiao Wu terkejut. Ia tidak menyangka. Setelah terdiam sekian lama, akhirnya ia bertanya, “Jadi kau tiap hari membelah kayu bakar untuk melatih tangan kananmu.”

Kata Jin Kai-jia, “Ternyata kau tidak bodoh.”

“Berapa lama sudah kau berlatih?”

“Lima tahun.”

“Apakah kini tangan kananmu sudah selincah tangan kirimu dulu?”

Jin Kai-jia menutup mulutnya rapat-rapat, ia tidak mau menjawab. Tidak seorang pun berhak mengetahui kondisi ilmu silatnya, apalagi orang dari kubu musuh bebuyutannya.

Gao Li mendesah, katanya, “Tak heran kau terus membelah kayu bakar. Musim dingin, kau melakukannya. Musim panas, kau juga melakukannya. Akhirnya aku tahu jawabannya.”

Lalu ia menoleh pada Xiao Wu dan tersenyum, katanya, “Dan akhirnya aku tahu siapa dirimu.”

“Oh?”

Kata Gao Li, “Margamu bukan Wu, melainkan Qiu. Kau adalah Qiu Feng-wu.”

Xiao Wu tersenyum. “Tak kusangka kau mengetahui namaku.”

Kata Gao Li, “Beberapa tahun yang silam, Ketua Qiu dari Perkampungan Merak berduel di puncak Taishan dengan pesilat nomor satu Si Dewa Besar Halilintar. Semua orang tahu akan duel ini.”

Qiu Feng-wu mengeluh panjang. Katanya, “Pertarungan itu bukan saja menggemparkan dunia, bahkan menggetarkan surga dan neraka.”

Gao Li tersenyum. “Oleh sebab itu aku pasti tahu mengenai Perkampungan Merak.”

Qiu Feng-wu menatapnya. “Qiu Feng-wu pun boleh, Xiao Wu pun boleh. Yang pasti aku adalah sahabatmu.”

Sahut Gao Li, “Sudah tentu.”

Kata Qiu Feng-wu, “Dan untuk selama-lamanya.”

Lalu ia memutar badannya dan berkata pada Jin Kai-jia, “Tapi kita bukan sahabat. Tidak sekarang, tidak juga nanti.”

Sahut Jin Kai-jia, “Sudah tentu.”

Kata Qiu Feng-wu, “Jadi, kalau kau ingin menuntut balas terhadap Perkampungan Merak, silakan maju, jangan ragu-ragu”

“Mengapa aku mau menuntut balas terhadap Perkampungan Merak?”

Qiu Feng Wu jadi bingung. “Kau tidak ingin membalas dendam?”

“Kurasa tidak.”

“Mengapa?”

Sahut Jin Kai-jia tegas, “Pertarungan itu berlangsung dengan adil. Hidup atau mati, tidak jadi soal. Apalagi cuma kehilangan sebelah tangan!”

Ia menghela nafas panjang dan lamat-lamat melanjutkan, “Senior Qiu sebenarnya menghendaki aku melakukan sesuatu jika aku masih punya sebelah tangan. Oleh sebab itu, aku bukan ingin membalas dendam, malahan aku berhutang budi kepada beliau.”

Qiu Feng-wu memandangnya dengan kaget, namun juga dengan penuh kekaguman. Akhirnya ia pun menghela nafas panjang. “Tidak heran ayahku selalu memuji bahwa Si Dewa Besar Halilintar adalah ksatria sejati. Menang atau kalah dalam pertempuran, tidak ada seorang pun dalam dunia persilatan yang sebanding dengan dia.”

Jin Kai-jia berkata dengan dingin, “Banyak yang lebih hebat.”

Kata Qiu Feng-wu, “Walaupun ayahku memenangkan pertempuran itu, Si Dewa Besar Halilintar tetap adalah yang terbaik!”

“Tidak.”

“Ya. Karena ayahku bukan menang dengan ilmu silatnya, melainkan dengan senjata rahasianya.”

Wajah Jin Kai-jia menjadi muram, katanya tajam, “Apakah senjata rahasia tidak termasuk ilmu silat? Mengapa kau memandang seolah-olah senjata rahasia itu adalah keahlian rendahan?”

“Aku.....”

Kata Jin Kai-jia lagi, “Pedang adalah senjata. Senjata rahasia pun adalah senjata. Aku menggunakan Kapak Angin Badai, beliau menggunakan Bulu Merak. Beliau dapat menghindari serangan Kapak Angin Badaiku, aku tidak dapat menghindari serangan Bulu Meraknya. Artinya, beliaulah yang menang. Menang dengan jujur dan adil. Kau tidak dapat menyangkalnya.”

Qiu Feng-wu menundukkan kepalanya, seolah-olah ingin disembunyikannya wajahnya. Akhirnya ia berkata, “Baiklah, aku yang salah.”

Kata Jin Kai-jia, “Kalau sudah tahu salah, sana cepat pulang.”

“Aku tidak bisa pulang sekarang!”

“Kenapa?”

Qiu Feng-wu tersenyum, “Karena aku sedang menunggu untuk minum arak pernikahan Gao Li.”

***

image

Arak sudah tersedia di atas meja.

Setelah terdengar bunyi ‘ting” dari gelas yang beradu, mereka menikmati arak dari cawannya masing-masing.

Qiu Feng-wu mengangkat cawannya dan mendesah. “Seorang ksatria adalah tetap seorang ksatria. Ia tidak akan pernah menjadi tua. Aku tidak pernah menduga bahwa Si Dewa Besar Halilintar pun memiliki semangat muda seperti ini.”

Kata Gao Li, “Beberapa tahun belakangan, bebannya sangat berat. Aku hampir tidak pernah melihat dia tersenyum.”

“Namun waktu ia mendengar bahwa kau akan mengundangnya minum arak pernikahan, ia sungguh tersenyum.”

Kata Gao Li, “Oleh sebab itu aku tidak akan melewatkannya.”

Kata Qiu Feng-wu, “Aku pun harus mencicipinya.”

Gao Li tersenyum. “Di dunia ini, sangat jarang ada orang yang dapat menikmati arak pernikahannya dengan Si Dewa Besar Halilintar dan Tuan Muda Perkampungan Merak.”

Cawan Qiu Feng-wu yang baru saja terangkat, langsung turun kembali. “Aku bukanlah Tuan Muda Perkampungan Merak.”

Gao Li jadi bingung. “Bukan?”

Sahut Qiu Feng-wu, “Bukan, karena aku tidak pantas.”

Ia menghabiskan arak dalam cawannya dalam sekali teguk. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Aku cuma pantas menjadi seorang penjagal dalam organisasi pembunuh bayaran.”

Gao Li pun menghela nafas. “Aku pun ingin tahu bagaimana kau sampai bisa masuk dalam ‘Bulan 7 Tanggal 15’?”

Qiu Feng-wu memandangi cawan anggurnya dan berkata perlahan, “Karena aku memandang rendah Bulu Merak. Aku menganggap senjata rahasia sebagai keahlian yang rendah. Aku tidak ingin hidup di bawah bayang-bayang Bulu Merak seperti seorang anak bersembunyi di belakang baju ibunya. Ia tidak akan pernah menjadi orang besar.”

Kata Gao Li, “Sebab itulah kau ingin membuktikan dirimu sendiri dengan kemampuanmu sendiri, membangun reputasimu terlepas dari keluargamu.”

Qiu Feng-wu mengangguk dan tersenyum pahit. “Karena aku baru tahu bahwa dunia persilatan menghormati Perkampungan Merak, namun yang dihormati bukanlah orangnya, melainkan senjata rahasianya. Jika kita tidak memiliki Bulu Merak, maka seluruh keluarga Qiu tidak berharga sepeser pun juga.”

Kata Gao Li, “Ah, tidak ada yang berpikir seperti itu.”

Kata Qiu Feng-wu, “Namun aku tidak punya pilihan. Sebenarnya aku masuk ke dalam ‘Bulan 7 Tanggal 15’ untuk menghancurkannya. Aku terus-menerus menantikan saat yang tepat.”

Lalu ia mengeluh dan melanjutkan lagi, “Namun sesudahnya baru kusadari bahwa walaupun aku berhasil menghancurkan ‘Bulan 7 Tanggal 15’, itu tidak akan ada manfaatnya.”

“Kenapa?”

Jawab Qiu Feng-wu, “Karena ‘Bulan 7 Tanggal 15’ itu sendiri hanyalah sebuah boneka. Sudah pasti ada tangan-tangan kuat yang misterius di belakang layar yang menggerakkannya.”

Perlahan Gao Li pun mengangguk. Wajahnya pun berubah serius. “Tidak dapatkah kau menebak siapa yang menggerakkannya?”

Mata Qiu Feng-wu berkilat. “Kau sudah tahu?”

“Mungkin 70% tepat.”

“Siapa?”

Gao Li terlihat ragu-ragu. Akhirnya ia berkata lamat-lamat, “Partai Naga Hijau.”

Tangan Qiu Feng-wu segera memukul meja. “Bagus, aku pun menduga bahwa mereka adalah Partai Naga Hijau.”

Kata Gao Li, “Ada 365 hari dalam setahun.”

Kata Qiu Feng-wu, “Katanya Partai Naga Hijau mempunyai 365 cabang.”

“Dari bulan 1 tanggal 1 sampai malam tahun baru, tepat ada 365 hari.”

“Bulan 7 Tanggal 15 hanya salah satu cabangnya.”

Tiba-tiba dua orang berhenti bicara. Wajah mereka menjadi sangat muram. ‘Bulan 7 Tanggal 15’ adalah sebuah organisasi yang sangat ketat. Cara kerjanya sangat rahasia, kekuatannya sangat besar, hasil kerjanya selalu gemilang. Namun kini ‘Bulan 7 Tanggal 15’ hanyalah salah satu dari 365 cabang Partai Naga Hijau. Bagaimana kekuatan dan pengaruh Partai Naga Hijau sangatlah menakutkan dan sulit dibayangkan.

Akhirnya Qiu Feng-wu menghela nafas panjang. “Katanya Ketua Partai Naga Hijau pernah menyombongkan diri, ‘Jikalau sinar matahari dapat menyentuh tempat itu, Partai Naga Hijaulah penguasa di situ’.”

Kata Gao Li, “Katanya ia pun menambahkan ‘Kalau laut belum kering dan batu belum membusuk, Partai Naga Hijau tidak akan bisa dimusnahkan.”

Qiu Feng-wu mengepalkan kedua tinjunya, katanya, “Sayangnya, tidak seorang pun tahu siapa Ketua Partai Naga Hijau itu.”

Tanya Gao Li, “Tidak seorang pun tahu?”

***

image

Shuang Shuang sudah bangun sejak dini hari. Gao Li membantunya berdiri dari tempat tidur. Kini mereka sedang berada di luar, memetik bunga di bukit belakang. Pasti banyak hal yang perlu mereka bicarakan berdua. Kemarin malam mereka tidak punya kesempatan untuk berbincang-bincang.

Qiu Feng-wu berdiri di pekarangan, menikmati angin semilir yang yang sejuk dan sinar matahari pegunungan yang hangat.

Tadinya, ia bermaksud membantu Jin Kai-jia menyiapkan sarapan, namun Jin Kai-jia mengusirnya dari dapur.

“Sana pergi. Aku tidak suka orang lain memandangiku selagi aku bekerja!”

Tampaknya si jago tua ini tidak suka orang lain melihatnya beraksi dengan panci dan wajan menggoreng telur. Memang itu bukanlah pertunjukan yang enak untuk dilihat. Pelakunya pun pasti akan merasa malu.

Namun sebenarnya Jin Kai-jia sendiri tidak memiliki perasaan seperti itu. ‘Aku melakukan semua ini karena aku ingin melakukannya. Pekerjaan apapun juga, akan meningkatkan ketrampilan tangan kananku.’ Selama seseorang memiliki tekad yang kuat, mau melakukan latihan macam apapun, ilmu silatnya pun pasti akan berkembang.

Qiu Feng-wu sedang mencerna perkataan itu. Mengunyahnya lamat-lamat seperti mengunyah kembang gula. Ia baru menyadari, betapa banyaknya hal-hal kecil yang kelihatannya sepele yang harus dilatih dan dikembangkan agar bisa mencapai kesempurnaan ilmu silat.

Kini, sarapan pun sudah tersedia di atas meja. Gao Li pun sudah kembali bersama dengan Shuang Shuang. Jin Kai-jia telah mulai membelah kayu bakar. Qiu Feng-wu mengamatinya dari samping dengan diam-diam. Memang ketrampilannya membelah kayu bakar dengan satu tangan sungguh luar biasa.

Apa sebenarnya inti menjadi seorang ahli persilatan? Mungkin bisa disimpulkan dalam empat kata, yakni pengabdian penuh, kerja keras. Bukankah keempat kata ini pun dapat diterapkan dalam bidang apapun di dunia ini? Apapun yang kau kerjakan, yang terpenting adalah pengabdian penuh dan kerja keras.

“Kau pasti tahu siapa orang pertama dalam dunia persilatan yang menggunakan kapak?”

“Tidak.”

“Lu Ban.”

“Dia kan cuma seorang artis panggung saja.”

“Tapi ia menggunakan kapaknya setiap hari, melakukan pertunjukan silat dengan kapak. Tidak ada seorang pun yang bisa seperti dia. Kapaknya telah menyatu dengan tubuhnya. Kapak itu dapat dimainkannya dengan begitu luwes, seperti menggerakkan jari tangannya sendiri, begitu lincah dan cepat. Bukankah itu juga inti seorang pesilat yang tangguh?”

Qiu Feng-wu menghela nafas panjang. Ia merasa ketika mendengar Jin Kai-jia mengucapkan perkataan itu, sama rasanya dengan menyaksikan keahlian silat tingkat tinggi. Karena perkataan ini bukanlah perkataan kosong seseorang yang hanya duduk sepanjang hari merangkai kata-kata yang indah.

Matahari sudah tinggi. Pegunungan di kejauhan tampak hijau berseri.

Tiba-tiba tampak seorang nenek tua berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya. Di tangan kanannya ia membawa sebuah bungkusan kain. Setapak demi setapak ia melangkah. Punggungnya melengkung seperti seekor udang.

Tanya Qiu Feng-wu, “Apakah ada orang lain di sekitar sini?”

Jawab Jin Kai-jia, “Ya, belakangan ini mulai ada orang di sekitar sini.”

Qiu Feng-wu tidak bertanya lebih jauh karena nenek tua itu sudah berjalan masuk ke dalam pekarangan mereka. Dengan nafas tersengal-sengal ia berkata, “Tuan, apakah Anda mau membeli telur?”

Tanya Qiu Feng-wu, “Apakah telurnya masih segar?”

Si nenek tua tersenyum. “Tentu saja masih segar. Kalau Tuan tidak percaya, boleh pegang. Telurnya bahkan masih hangat.”

Nenek tua itu berjongkok dan membuka bungkusan kain hitam yang dibawanya. Telur ayam dalam bungkusan itu terlihat sangat segar dan baru. Si nenek tua itu mengambil sebutir dan berkata, “Telur segar seperti ini, dimakan mentah pun enak dan menyehatkan.”

Namun sebelum kalimatnya selesai, sudah terdengar bunyi ‘shuut’. Sebilah anak panah melesat dan menembus punggung si nenek tua. Wajahnya langsung berkerut kesakitan. Ia berusaha menopang tubuhnya dan mengangsurkan telur di tangannya ke depan. Namun ia tidak sanggup.

Setelah itu tampak seorang pria berpakaian serba hitam melompat 3-4 kali dan masuk ke dalam pekarangan. Tanpa berkata apapun juga ia segera meraup seluruh telur yang dibawa oleh si nenek tua dan melemparkannya jauh-jauh ke dalam sungai. Tidak lama kemudian terdengar bunyi dentuman yang hebat dan air sungai pun muncrat ke atas.

Orang berbaju hitam itu akhirnya bersiul panjang dan berkata, “Sungguh berbahaya.”

Wajah Qiu Feng-wu langsung berubah. Ia seperti kehilangan kata-kata.

Si baju hitam berpaling pada Qiu Feng-wu dengan ragu-ragu. I tersenyum kecut dan bertanya, “Orang macam apakah wanita tua ini menurut Tuan?”

Qiu Feng-wu hanya menggelengkan kepalanya.

Si baju hitam berkata dengan suara tertahan, “Ia adalah anggota ‘Bulan 7 Tanggal 15’.”

Wajah Qiu Feng-wu langsung memucat. “’Bulan 7 Tanggal 15’? Lalu Tuan sendiri....”

Sahut si baju hitam, “Aku.....” Sampai di situ tubuhnya langsung mengejang dan mukanya berkerut-kerut. Darah mengalir dari sudut mulutnya. Darah yang berwarna hitam.

Wajah Jin Kai-jia pun langsung berubah. Segera ia melepaskan kapaknya dan memburu ke tempat Qiu Feng-wu berada.

Si baju hitam sudah jatuh terduduk. Kedua tangannya memegangi perutnya yang kesakitan. Sambil merintih ia berkata, “Cepat....cepat.... Penawar racunnya ada dalam botol kayu di dalam sakuku....”

Jin Kai-jia segera maju, tapi Qiu Feng-wu malah menahan tubuhnya.

Wajah si baju hitam tampak semakin memelas dan kesakitan. Dengan suara hampir putus ia berkata, “Tolonglah....cepat tolong aku....sebelum terlambat.”

Qiu Feng-wu menatapnya dengan dingin. Katanya, “Jika penawarnya ada dalam sakumu, mengapa tidak kau ambil sendiri?”

Jin Kai-jia menjadi marah pada Qiu Feng-wu. “Tidak dapatkah kau lihat bahwa ia sudah tidak bisa bergerak? Bagaimana kau bisa diam saja menyaksikan orang lain begitu menderita?”

Qiu Feng-wu hanya tersenyum sinis. “Aku ingin tahu sampai kapan ia akan terus keras kepala.”

Wajah si baju hitam masih berkerut menahan sakit, namun tiba-tiba saja ia melompat secepat kilat dan menyambitkan tujuh bintang ke arah mereka. Tak disangka, si wanita tua pun segera bangkit dan melempar dua telur dengan kecepatan yang luar biasa.

Reaksi Qiu Feng-wu sangat cepat. Ia tidak berusaha menghindar, malah ia menyambut kedua telur itu. Dalam sekejap, kedua butir telur itu sudah masuk ke dalam lengan bajunya.

Si wanita tua segera melompat melayang jauh. Tapi Qiu Feng-wu telah menghadang di hadapannya.

Tinju si wanita tua segera melayang, namun telapak tangan Qiu Feng-wu dengan cepat melampaui tinjunya. Sebelum ia menyadari apapun juga, telapak tangan Qiu Feng-wu telah sampai di dadanya. Terdengar bunyi seperti ketukan ringan, dan si wanita tua seolah-olah telah melekat di tangan Qiu Feng-wu. Tinjunya hanya menggapai-gapai di depannya. Ia pun tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar bunyi tulang belulang patah.

Jin Kai-jia telah memiting si baju hitam dari belakang dengan sebelah tangan. Memitingnya dengan begitu kuat. Lalu dilonggarkannya tangannya, dan si baju hitam pun tersungkur ke tanah seperti seonggok boneka kain. Tulang iganya yang patah telah menembus bajunya. Darah sedikit demi merembes, menodai jubahnya dengan bulatan merah yang makin lama makin besar.

Jin Kai-jia menatapnya, seolah-olah ia sedang berpikir dalam-dalam, bahwa hidup tanpa darah adalah kehidupan yang berbeda sama sekali.

Seluruh tubuh si wanita tua gemetaran. Mungkin karena kekuatan telapak Qiu Feng-wu yang memang luar biasa. Mungkin juga karena suara tulang belulang yang patah yang menggiris hati. Ia menjadi ketakutan. Sangat ketakutan. Seperti seorang anak yang baru terbangun dari mimpi buruknya.

Tiba-tiba Qiu Feng-wu menarik tangannya kembali. Dan di saat yang sama ia merenggut topeng yang menutupi wajah asli si wanita tua. Terlihatlah seraut wajah lain. Wajah yang tirus dan kekuningan. Wajah seorang pemuda yang masih belia.

Dengan dingin Qiu Feng-wu memandangnya dan bertanya, “Kau masih baru ya?”

Pemuda itu mengangguk.

Tanya Qiu Feng-wu, “Tahukah kau siapa aku?”

Si pemuda membasahi bibirnya dengan lidahnya. “Ak....Aku pernah dengar.”

“Jadi kau pasti tahu bahwa aku punya paling sedikit 30 cara untuk membuatmu menyesal pernah dilahirkan di dunia.”

Dengan enggan si pemuda menganggukkan kepalanya. Wajahnya makin pucat.

“Oleh sebab itu lebih baik kau menjawab dengan jujur.”

“Ya...ya....aku akan menjawab dengan sejujurnya.”

Tanya Qiu Feng-wu, “Ada berapa orang yang datang?”

“Enam.”

“Siapa saja mereka?”

“Aku tidak tahu. Sungguh, aku tidak tahu.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Di sisi lain gunung itu. Mereka sedang menantikan kami....”

Kalimatnya belum selesai, namun sudah terdengar bunyi tulang-tulang patah. Tulang-tulang si pemuda telah patah.

Qiu Feng-wu pun telah berpaling dan ia tidak memandang si pemuda sekali lagi. Waktu ia membunuh orang, ia tidak suka memandang mereka lagi.

Jin Kai-jia masih menatap darah yang merembes keluar dari si baju hitam. Katanya tiba-tiba, “Aku tidak membunuh orang selama 6 tahun ini.”

Kata Qiu Feng-wu, “Enam tahun bukanlah waktu yang singkat.”

Kata Jin Kai-jia, “Pertama kali aku membunuh orang, aku berusia 13 tahun. Baru hari ini aku menyadari bahwa membunuh orang adalah suatu perbuatan yang memuakkan.”

Qiu Feng-wu mengeluh. “Tunggulah sampai kau harus membunuh lebih banyak lagi orang.”

Tiba-tiba Jin Kai-jia datang mendekati Qiu Feng-wu dan bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka datang untuk membunuhmu?”

Qiu Feng-wu tersenyum pahit. “Karena aku sudah sering melakukan hal yang sama.”

Jin Kai-jia masih ingin bertanya namun terdengarlah suara Shuang Shuang. “Apa yang terjadi?”

Ia berdiri bersandar di bahu Gao Li.

Wajah Gao Li pun terlihat pucat dan tegang. Namun wajah Shuang Shuang malah terlihat bercahaya bagaikan matahari.

Qiu Feng-wu tidak pernah menyangka bahwa Shuang Shuang bisa terlihat begini cantik. Oh dunia..... Entah bagaimana caranya kebahagiaan dan rasa percaya diri dapat membuat seorang wanita menjadi sangat menawan.

Qiu Feng-wu tidak tahu harus menjawab apa. Ia samar-samar mendengar bahwa Shuang Shuang juga berkata, “Aku sepertinya mendengar baru saja kau bilang bahwa kau akan membunuh orang.”

Akhirnya Qiu Feng-wu memaksakan diri untuk tersenyum. Katanya, “Ah, aku cuma baru bercerita saja.”

Dengan berseri-seri Shuang Shuang berkata, “Cerita apa? Aku suka sekali mendengar cerita.”

Sahut Qiu Feng-wu, “Cerita ini bukan cerita yang enak didengar.”

“Kenapa?”

“Karena itu cuma cerita tentang orang membunuh orang lain.”

Wajah Shuang Shuang tampak menjadi mendung. Ia berkata dengan sedih, “Mengapa manusia harus selalu saling membunuh?”

Jawab Qiu Feng-wu lamat-lamat, “Mungkin karena jika mereka tidak membunuh, merekalah yang akan terbunuh.”

Shuang Shuang pun perlahan mengangguk. Wajahnya tampak semakin muram. Lalu tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. “Rasanya ada bau amis di sini.”

Sahut Jin Kai-jia cepat, “Ya, aku baru saja membunuh ayam.”

Orang yang hidup di pegunungan memang biasa memelihara ayam sendiri. Hanya seorang pedagang yang sangat bodoh yang menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan hanya untuk menjual telur ke tempat terpencil seperti ini.

Selain itu, jika seseorang memang keracunan, tidak mungkin darah yang keluar dari sudut mulutnya langsung berwarna hitam.

Belum lagi, tidak mungkin seseorang yang keracunan yang sudah terkapar di tanah masih bisa berbicara dengan jelas.

Ini bukan karena rencana ‘Bulan 7 Tanggal 15’ tidak dipersiapkan dengan baik. Ini hanya karena si perancang belum pernah tinggal di desa yang terpencil. Dan hanya karena orang yang diutus masih baru dalam permainan pembunuhan ini.

Namun mereka punya banyak orang yang lebih berpengalaman. Lagi pula, mereka belum sepenuhnya kalah. Masih ada 4 orang lagi. Dan yang paling mengerikan adalah keempat orang ini.

***

image

Orang hidup harus makan. Qiu Feng-wu telah makan cukup banyak. Setelah hari ini, ia tidak tahu kapan ia bisa makan lagi.

Ia berharap Gao Li pun bisa makan. Namun Gao Li malah memandangi Shuang Shuang. Tatapannya penuh kekuatiran. Ia punya banyak pertanyaan untuk Qiu Feng-wu, namun ia tidak bisa menanyakannya di depan Shuang Shuang.

Di meja makan, hanya Shuang Shuang yang terlihat riang. Yang paling sedikit tahu memang yang paling sedikit kuatir. Oleh sebab itu, kadang-kadang kebodohan pun dapat membawa kebahagiaan.

Tiba-tiba Shuang Shuang bertanya, “Mengapa hari ini kau tidak minum?”

Qiu Feng-wu tersenyum dan menjawab dengan enggan, “Hanya si pemabuk yang setiap hari minum arak.”

“Apakah kau bukan pemabuk?”

“Untungnya bukan.”

Shuang Shuan menelengkan kepalanya. “Bagaimana kalau arak pernikahan?”

Hati Qiu Feng-wu terasa ngilu, seperti ditusuk oleh beribu-ribu jarum.

Arak pernikahan. Bukankah mereka tadi sedang mempersiapkan arak pernikahan untuk Gao Li?

Ia berjalan mendekat. Ia melihat tangan Gao Li gemetar. Wajahnya pucat bagai kertas. Tidak seorang pun memiliki arak pernikahan. Mereka tidak memiliki apapun juga.

Hanya darah berceceran di mana-mana! Mungkin darah orang lain, mungkin darah mereka sendiri. Darah yang mengalir tak berkesudahan.

Jikalau tanganmu penuh noda darah, ke mana pun engkau pergi, hidupmu akan penuh dengan bau amis darah.

Qiu Feng-wu sedang mengirup supnya. Ia merasa sup itu pun terasa anyir dan bau amis seperti darah.

Sebaliknya, wajah Shuang Shuang bersemu merah jambu. Begitu bahagia dan penuh harapan. Ia menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Katanya dengan lembut, “Baru saja dia bilang.... Baru saja ia bilang padaku dan katanya, kalian semua pun sudah tahu.”

Qiu Feng-wu gelagapan. “Ya, kami semua sudah tahu.”

Wajah Shuang Shuang semakin memerah. Katanya dengan riang, “Tidakkah kau akan memberikan selamat kepada kami?”

Kata Qiu Feng-wu datar, “Selamat.”

Mulutnya serasa seperti penuh akan air yang getir. Ia berusaha menelan, namun tidak bisa. Berusaha menyemburkannya, namun tidak sanggup. Ia tahu inilah saat yang sangat menyakitkan.

Kata Shuang Shuang, “Kita kan sedang berpesta, mengapa kalian tidak minum arak?”

Tiba-tiba Gao Li berdiri. Katanya, “Siapa bilang kita tidak minum arak. Aku baru akan mengambil arak.”

Dengan berseri-seri Shuang Shuang berkata, “Hari ini aku pun ingin minum. Aku belum pernah merasa bahagia seperti hari ini.”

Gao Li pun menyahut, “Aku pun belum pernah merasa sebahagia ini.”

Ia berdiri dengan badan tegak kaku, seperti sebatang kayu. Di halaman itu, mayat-mayat masih bergelimpangan. Di bawah terik matahari, tubuh-tubuh mati itu semakin melayu.

Namun masih ada satu kelompok lagi yang sedang mengejar. Mereka bisa muncul setiap saat.

Gao Li dapat melihat kebahagiaan Shuang Shuang yang sebentar lagi akan hancur berantakan. Mungkin bahkan hidup mereka pun tidak bisa diselamatkan. Namun belum pernah ia melihat Shuang Shuang begini bahagia. Gao Li merasa setitik air sedingin es di pipinya. Air matanya mengalir perlahan....

Qiu Feng-wu tidak tahan melihat wajah Gao Li yang tertekan. Ia pun tidak sanggup melihat wajah Shuang Shuang yang penuh harapan. Yang terlihat hanyalah ketakutan di matanya sendiri. Dan setelah melihatnya, ia pun merasa ingin menangis meraung-raung.

Hanya Jin Kai-jia yang terus makan dengan lahap. Setelah menelan suapan yang terakhir, ia meletakkan sumpitnya dan berdiri. Katanya, “Aku harus pergi.”

Tanya Qiu Feng-wu, “Ke mana?”

Sebetulnya ia tidak perlu bertanya. Ia tahu bahwa Jin Kai-jia harus lebih dulu maju untuk menghadang pembunuh-pembunuh itu.

Jin Kai-jia menjawab pendek, “Aku ingin jalan-jalan sebentar.”

Qiu Feng-wu segera berkata, “Mari pergi bersama.”

Kata Shuang Shuang, “Tapi kau belum minum arak.”

Qiu Feng-wu tersenyum kecut. “Arak bisa menunggu sampai kami kembali. Aku sekalian ingin mencari rebung muda yang lezat untuk dimasak dengan ayam.”

Gao Li tiba-tiba tersenyum. Katanya ringan, “Kalian tidak usah pergi. Rebungnya sudah ada di sini.”

Suaranya sangat tenang. Begitu tenang.

Qiu Feng-wu segera menoleh dan hatinya langsung tercekat.

Empat orang berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah itu.

Sinar matahari begitu cerah. Bunga-bunga bermekaran dengan ceria. Hari yang begitu indah.

Orang pertama masuk dengan perlahan. Ia menoleh ke kiri, ke kanan, ke segala arah, dan bergumam, “Tempat yang bagus, sangat indah.”

Orang ini berwajah lonjong, seperti wajah seekor kuda. Mukanya penuh bisul-bisul kecil. Matanya merah akibat pembuluh darahnya yang besar-besar. Kalau ada orang yang dilahirkan berwajah mengerikan, dialah orangnya!

Di pekarangan itu ada tonjolan besar akar pohon. Orang itu duduk di situ. Lalu tiba-tiba terdengar bunyi ‘twang’. Ia menghunus goloknya yang besar dan berat. Lalu digunakannya golok itu untuk membersihkan kukunya. Golok seberat 36 kati itu seolah-olah hanya selembar daun di tangannya.

Gao Li mengenal dia. Namanya Mao Zhan. Dalam kelompok ‘Bulan 7 Tanggal 15’, dialah orang yang paling banyak membunuh.

Tiap kali membunuh orang, ia berubah seperti orang gila. Sepertinya, sewaktu melihat darah, ia menjadi gila. Jika pada waktu itu ia tidak diutus ke Yunnan untuk membunuh seseorang, ia pasti dilibatkan dalam rencana pembunuhan Baili Zhang-qing.

Orang kedua pun masuk dengan langkah lambat. Ia pun memandang ke setiap sudut pekarangan dan berkata, “Memang tempat yang sangat indah. Orang yang bisa mati di sini adalah orang yang beruntung.”

Orang ini berwajah pucat kehijauan, seakan-akan ada lapisan tipis di atas kulit aslinya. Hidungnya bengkok seperti paruh burung. Matanya licik seperti mata burung bangkai.

Pedang pun telah tergenggam di tangannya. Pedang Pintu Dukacita. Pedangnya pun bercahaya kehijauan, sama seperti kulit wajahnya.

Ia tampak muram, seperti bukan datang untuk bertempur. Namun kadang-kadang, kemuraman bisa jadi lebih mengerikan.

Setelah masuk ke dalam pekarangan, ia segera menuju ke bawah pohon dan duduk di bawah kerindangannya. Ia tidak suka kena sinar matahari.

Gao Li tidak mengenalnya, namun ia mengenali pedangnya. Ialah Si Sukma Pedang, Ma Feng.

‘Bulan 7 Tanggal 15’ harus mengeluarkan banyak uang untuk menariknya sebagai anggota. Tapi uang yang mereka hamburkan itu tidaklah sia-sia.

Ia tidak pernah membunuh sembarangan dan sebenarnya jarang sekali ia membunuh. Namun setiap orang yang hendak dibunuhnya, pasti masuk ke peti mati. Sewaktu membunuh orang, ia tidak ingin orang lain menyaksikannya, karena sebagian orang akan menganggap bahwa caranya membunuh sangatlah brutal.

‘Kalau hendak membunuh seseorang, segera musnahkan dia. Maka tidak seorang pun berani membalas dendam kepadamu.’

Orang yang ketiga bertubuh besar dan sangat gemuk. Namun langkah kakinya begitu ringan, bahkan lebih ringan daripada seekor kucing. Gao Li pun mengenal dia. Karena ia adalah Ding Gan.

Perlahan ia melangkah masuk dan memandang ke empat sudut pekarangan itu. Katanya ringan, “Tempat yang bagus, sangat bagus. Bisa menunggu kematian di tempat seperti ini memang sangat menyenangkan.”

Ia pun duduk. Di tangannya tergenggam sebatang golok. Jenggotnya melambai-lambai tertiup angin.

Ia selalu mengikuti Mao Zhan. Secara tidak sadar, semua gerakan dan tindak tanduknya jadi menyerupai Mao Zhan. Kalau ia berkata tentang sahabatnya, Mao Zhanlah yang dimaksudkannya.

Orang keempat tampak halus dan sangat ramah. Wajahnya putih bercahaya. Kumisnya dicukur rapi. Ia melipat tangan di depan dadanya dan melangkah masuk.

Di mulutnya tersungging senyum, bahkan matanya pun tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa, tidak membawa senjata apapun juga. Ia tampak seperti seorang sastrawan yang sedang berkunjung ke rumah sahabatnya.

Namun ketika Gao Li dan Qiu Feng-wu melihatnya, mereka langsung bergidik. Udara menjadi sangat dingin, dan hati mereka terasa beku. Orang ini lebih mengerikan daripada gabungan Mao Zhan, Ma Feng dan Ding Gan.

Mereka mengenal dia. Ialah ketua ‘Bulan 7 Tanggal 15’. Si Serba Bisa dari Dunia Hitam, Ximen Yu!

Gao Li telah bergabung dalam kelompok ini selama 3 tahun, namun belum pernah sekali pun ia menyaksikan XiMen Yu membunuh orang.

Namun ia mendengar bahwa Ximen Yu membunuh secara sangat perlahan-lahan. Pernah sekali, katanya, ia membunuh seseorang selama 2 hari. Setelah orang itu mati, tidak ada seorang pun yang dapat mengenalinya lagi.

Namun itu cuma cerita saja, tidak banyak orang yang percaya. Karena ia tampak begitu halus, begitu rupawan, begitu terpelajar. Lagi pula ia begitu sopan dan lembut. Bagaimana mungkin orang seperti ini dapat membunuh dengan begitu kejam?

Bahkan saat ini ia sedang tersenyum. Ia berdiri di tengah pekarangan dan menunggu. Ia tidak tergesa-gesa, tidak tampak gelisah, sekalipun ia harus menunggu 3 hari.

Namun Gao Li dan Qiu Feng-wu tahu bahwa inilah saatnya mereka keluar. Mereka saling pandang.

Qiu Feng-wu mengambil pedangnya yang tergantung di dinding. Gao Li pun meraih tombaknya yang tersandar di sudut ruangan.

Tiba-tiba Shuang Shuang berkata, “Kedengarannya ada beberapa orang di luar sana. Apakah itu teman-teman yang kau undang untuk merayakan pernikahan kita?”

Gao Li mengertakkan giginya. “Mereka bukan teman!”

Shuang Shuang bertanya ragu, “Kalau bukan teman, lalu siapa?”

Sahut Gao Li singkat, “Perampok.”

Wajah Shuang Shuang yang pucat semakin memutih, seolah-olah hampir pingsan. Gao Li segera berkata dengan lembut, “Aku akan minta tolong Si Gajah untuk membawamu ke dalam kamar untuk beristirahat. Aku akan mengusir para perampok itu dengan segera.”

Shuang Shuang bertanya, “Tidak lama, kan?”

Kata Gao Li tegas, “Sangat cepat.”

Ia menahan perasaannya kuat-kuat, jangan sampai air mata turun. Ia berharap inilah terakhir kalinya ia berbohong kepada Shuang Shuang. Atau mungkin inilah terakhir kalinya untuk segalanya.

Mao Zhan masih terus membersihkan kukunya. Ding Gan mengelus-elus jenggotnya. Ma Feng berbaring di bawah pohon, sedikitpun tidak mengangkat wajahnya saat Gao Li dan Qiu Feng-wu keluar.

Di mata mereka, Gao Li dan Xiao Wu adalah dua orang mati.

Namun Ximen Yu menyambut mereka dengan senyum lebar. “Kalian pasti cukup lelah dua hari belakangan ini.”

Qiu Feng-wu pun tersenyum. Jawabnya, “Ya, untunglah.”

“Kalian tidur nyenyak semalam?”

“Ya, kami pulang dan tidur. Kami pun sudah makan sampai kenyang.”

Ximen Yu tetap tersenyum, katanya lagi, “Orang yang bisa makan kenyang dan tidur nyenyak adalah orang yang sangat beruntung. Uang yang kuberikan pada kalian pun sudah kalian pakai?”

Sahut Qiu Feng-wu, “Sudah, sebagian.”

Kata Ximen Yu, “Sudah tentu. Dan yang kudengar, Baili Zhang-qing adalah orang yang sangat murah hati.”

“Betul sekali. Ia telah memberi kami masing-masing 50,000 tael. Baru kali ini aku tahu bahwa menyelamatkan orang ternyata lebih besar upahnya daripada membunuh orang itu.”

Ximen Yu mengangguk. “Ini mengingatkanku bahwa suatu hari nanti aku pun harus beralih profesi.”

“Kenapa tidak sekarang saja?”

Ximen Yu tersenyum dan menjawab, “Kali ini aku akan membunuh orang dengan gratis.”

Qiu Feng-wu mengeluh. Katanya, “Aku juga ingin membunuh seseorang, namun sayangnya kulitnya terlalu tebal. Aku pun sayang menghabiskan tenagaku untuk orang seperti itu.”

Tanya Ximen Yu, “Maksudmu Ding Gan?”

Kata Qiu Feng-wu, “Yang tidak kumengerti hanyalah bagaimana seseorang dengan kulit setebal itu bisa memiliki jenggot begitu panjang.”

Kata Ximen Yu, “Ya, dia memang kasar, tidak sopan, lagi pula ia sudah membunuh dua orang rekan kerjanya. Kau tahu bagaimana aku memperlakukan dia?”

Sahut Qiu Feng-wu, “Aku tidak bisa menebak!”

Kata Ximen Yu, “Aku akan memberinya 500 tael karena ia bersedia kembali dan menunjukkan di mana kalian berada.” Ia tersenyum santai dan menambahkan, “Betul kan, sistem upah dan hukumanku selalu sangat adil.”

Sahut Qiu Feng Wu, “Ya, memang sangat adil.”

Akhirnya Ximen Yu mendesah, katanya, “Aku tahu sekarang ini kau sedang mengobrol denganku. Namun sesungguhnya kau sedang menanti kesempatan yang baik untuk membunuhku. Aku sungguh menyadari bahwa kau adalah seorang yang paling mengerti bagaimana membunuh orang dengan efektif. Oleh sebab itu, sayang, sungguh sayang.”

Tanya Qiu Feng-wu, “Apalagi yang kau tahu?”

“Aku juga tahu bahwa kalian sedang menantikan kami di sini.”

“Mengapa?”

“Karena sulit untuk melarikan diri bersama-sama dengan seorang wanita. Wanita itu pasti tidak akan suka.”

Ia tersenyum ke arah Gao Li dan melanjutkan, “Betul kan?”

Sahut Gao Li dingin, “Omong kosong.”

Ximen Yu terus tersenyum. “Sudah lama kudengar bahwa kekasihmu adalah seorang yang cantik mempesona bagaikan bidadari. Mengapa tidak kau perkenalkan dia kepada kami?”

Sahut Gao Li, “Ia hanya berteman dengan orang-orang tertentu, bukan orang macam kalian....”

Tubuhnya mengejang, suaranya menjadi serak. Karena tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki Shuang Shuang. Shuang Shuang berjalan tertatih-tatih, kadang-kadang harus berhenti sesaat untuk menenangkan nafasnya.

Lalu mata semua orang terbuka lebar, seolah-olah sedang menyaksikan kedatangan seseorang yang berkaki tiga.

Dan Mao Zhan pun tertawa tergelak, katanya, “Lihatlah, inilah perempuannya si Gao Li.”

Ding Gan pun berseru keras dengan senyum lebar, “Perempuan? Ini lebih tepat disebut monster. Dari segala sudut, benar-benar seorang monster.”

Mao Zhan terus menyambut, “Kalau aku harus menikahi seorang monster seperti ini, aku lebih baik mencukur rambut menjadi pendeta, atau lebih baik dipukuli sampai mati!”

Wajah Gao Li merah dan berkerut karena sakit hati. Ia tidak sanggup untuk memandang ke arah Shuang Shuang.

Ia merasa seperti seekor binatang buas yang terluka, dan yang terjebak di antara pembunuh-pembunuh yang sadis.

Ia merasa lebih baik mati, lebih baik mati 1000 kali, bahkan 10000 kali, daripada membiarkan Shuang Shuang dihina seperti itu.