image
image
image

Bab 4

Jalan Hidup

image

DALAM ilmu golok atau ilmu pedang seorang ahli persilatan, sering kali orang yang memilih menggunakan dua golok atau dua pedang dianggap sebagai orang yang sangat tolol.

Karena di mata seorang ahli silat, dua tidak dapat dibandingkan dengan satu. Dalam hal persilatan, juga dalam banyak hal lain di dunia ini, lebih banyak belum tentu berarti lebih baik.

Jika seseorang memiliki 7 jari, kelincahan tangannya belum tentu lebih baik daripada orang yang berjari lima. Orang yang benar-benar lincah, punya satu jari pun sudah cukup.

Tapi orang yang menggunakan dua golok atau dua pedang pun mempunyai pandangan lain. ‘Orang kan dilahirkan dengan sepasang tangan, mengapa ia hanya menggunakan satu senjata?’

Entah pendapat mana yang lebih tepat, tapi yang jelas, tidak ada yang bisa mengatakan bahwa Gao Li tampak bodoh. Tombak gandanya menari-nari bagaikan sayap naga yang buas, bagaikan sayap elang yang membumbung tinggi.

Ia menyerang Ximen Yu dengan tombaknya. Pertarungan yang penuh darah telah dimulai, namun Qiu Feng-wu belum beranjak sedikitpun.

Karena Ximen Yu juga belum bergerak. Bahkan sedikitpun tidak menoleh ke arah Gao Li. Matanya menatap lurus ke arah tangan Qiu Feng-wu. Tangan yang menggenggam pedang.

Qiu Feng-wu merasa keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.

Tiba-tiba Ximen Yu tersenyum dan berkata, “Jika aku jadi engkau, aku akan meletakkan pedangku.”

“Oh?”

“Karena jika kau meletakkan pedangmu sekarang, mungkin kau masih punya kesempatan untuk pergi hidup-hidup dari sini.”

“Berapa besar kemungkinannnya?”

Sahut Ximen Yu, “Tidak besar, tapi masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.”

Kata Qiu Feng-wu, “Dan bagi Gao Li, tidak ada kemungkinan sama sekali?”

Kata Ximen Yu, “Ia seorang pesilat tangguh. Sangat hebat dalam ilmu tombak, mungkin yang paling hebat saat ini.”

Kata Qiu Feng-wu, “Kau memang orang yang jujur.”

“Aku telah melihat cara dia bertempur, cara dia membunuh orang. Di dunia ini, akulah yang paling memahami ilmu silatnya.”

Kata Qiu Feng-wu, “Aku tahu kau memperhatikan dia dengan seksama.”

Kata Ximen Yu, “Aku pun memahami Mao Zhan dan Ding Gan.”

“Kau pikir mereka dapat mengalahkan Gao Li?”

“Ya, cukuplah.”

“Bagaimana dengan aku?”

Kata Ximen Yu, “Sudah pasti aku memahamimu dengan baik.”

“Kau dan Ma Feng dapat mengalahkan aku?”

Ximen Yu tersenyum. “Aku tidak suka terlalu banyak orang terlibat.”

“Kau telah memperhitungkannya dengan seksama. Oleh sebab itu kau pun mau datang.”

“Dari pengalaman hidupku, jika aku tidak yakin bahwa 90% aku pasti menang, aku tidak mungkin mau datang.”

Akhirnya Qiu Feng-wu menghela nafas lega. Bagaikan seseorang yang berhari-hari terapung-apung di laut, saat hampir tenggelam, tiba-tiba menemukan daratan.

Ia yakin 90% Ximen Yu telah salah perhitungan. Ximen Yu tidak memperhitungkan Jin Kai-jia. Ia tidak mungkin bermimpi bahwa Si Dewa Besar Halilintar, jago kelas atas tempo dulu, juga ada di sini sebagai lawannya.

‘Suatu kesalahan, besar atau pun kecil, bisa merupakan kesalahan yang fatal.’

Kali ini, kesalahan Ximen Yu luar biasa besarnya.

Qiu Feng-wu mengangguk perlahan, katanya, “Kau memang telah memperhitungkan segala sesuatu dengan seksama. Empat orang sudah pasti lebih dari cukup untuk menghadapi kami berdua.”

Walaupun ia belum melihat Jin Kai-jia, ia yakin bahwa Jin Kai-jia akan muncul pada saat yang tepat. Ia hampir tidak bisa menahan senyumnya.

Tombak ganda itu masih menari-nari di udara. Kelebat cahaya perak menyinari muka Qiu Feng-wu. Ia belum pernah merasa tenang seperti sekarang ini.

Ximen Yu terus menatap wajahnya. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Masih ada seorang lagi.”

Tanya Qiu Feng-wu, “O ya?”

Sahut Ximen Yu, “Oleh sebab itu kami datang hanya berempat.”

Qiu Feng-wu mendesah dan berkata, “Aku belum melihatnya, namun aku dapat merasakan kehadirannya.”

“Oh?”

Tombak dan pedang meliuk-liuk di balik punggungnya. Mereka yang bertempur hanya berada kurang dari satu meter di belakangnya. Suara nyaring pedang dan tombak yang beradu menggetarkan jiwa, dan angin dingin yang bergelombang mengacaukan rambutnya. Namun wajahnya tepat tenang dan datar.

Mau tidak mau Qiu Feng-wu harus mengaguminya. Belum pernah ditemuinya orang setenang ini. Lalu ia pun bertanya, “Masih ada seorang lagi? Yang akan membakar dari arah belakang?”

Sahut Ximen Yu pendek, “Ya.”

“Jadi kau akan membakar rumah itu terlebih dahulu untuk menutup jalan, lalu bergerak ke depan untuk mengepung kami.”

“Kelihatannya kau sudah paham betul.”

Kata Qiu Feng-wu, “Aku cepat menangkap.”

Ximen Yu mengeluh, “Sungguh, kau seharusnya menjadi tangan kananku.”

Tiba-tiba pandangannya beralih dari Qiu Feng-wu ke arah Shuang Shuang. Gadis itu masih berdiri di depan pintu. Tubuhnya bercahaya, bermandikan sinar matahari. Tangannya yang lemah menahan pintu tetap terbuka. Seolah-olah, kapan pun diperlukan ia akan segera maju.

Sungguh mengejutkan, ia masih bisa berdiri tegak. Tubuhnya tampak kaku dan wajahnya tampak aneh, mengandung ekspresi yang sulit diungkapkan. Walaupun tubuhnya masih berdiri tegak, seolah-olah seluruh jiwanya telah hancur luluh. Selamanya kau tidak akan bisa membayangkan wajah dan keadaan tubuhnya saat itu.

Qiu Feng-wu tidak tahan untuk terus memandangnya. Ia berpaling dan bertanya pada Ximen Yu, “Jadi apinya sudah siap?”

“Belum.”

“Mengapa belum?”

“Apakah kau menguatirkan keadaanku?”

“Aku hanya kuatir ia tidak sanggup membakar rumah itu.”

“Mengapa?”

Kata Qiu Feng-wu, “Hanya ada satu macam orang yang tidak dapat melakukannya.”

Sahut Ximen Yu, “Orang mati.”

Qiu Feng-wu tersenyum.

Saat itulah Ximen Yu akhirnya bergerak, melesat ke arah Shuang Shuang. Ma Feng yang sejak tadi terus berbaring di bawah pohon pun melompat bangun dan bergerak maju dengan cepat. Sekejap saja kilatan pedang telah menusuk ke arah leher Qiu Feng-wu.

Namun di saat yang sama, terlihat bayangan dua orang di belakang rumah.

‘Bruk!’ Ximen Yu tidak perlu melihat lebih dekat lagi karena ia sudah tahu, ia telah salah perhitungan.

Oleh sebab itu, kini ia menuju ke arah Shuang Shuang. Ia bisa melihat perasaan Gao Li terhadap Shuang Shuang. Kalau ia bisa menawan gadis itu, walaupun ia tidak bisa menang, ia masih bisa melarikan diri dengan selamat.

Shuang Shuang diam tidak bergerak, tidak berusaha menghindar. Namun di belakangnya tiba-tiba muncul seseorang. Seseorang yang bertubuh tinggi besar dengan otot-otot yang kekar.

Jin Kai-jia seolah-olah sedang kebetulan lewat di situ. Seakan-akan ia tidak menyadari ada sesuatu yang terjadi. Namun siapa pun pasti tahu tidaklah mungkin untuk mengabaikannya.

Wajahnya juga tidak memancarkan ekspresi apa pun juga. Matanya kelabu, seperti mata ikan mati, menatap lurus ke arah Ximen Yu. Ia tidak menyerang, namun Ximen Yu merasa perlu untuk berhenti. Seolah-olah ia terhadang oleh sebuah dinding batu yang kokoh.

Orang ini bertangan sebelah dengan wajah kaku. Ia tidak kelihatan siap tempur, namun postur tubuhnya membuat otot-otot Ximen Yu terasa kejang. Ximen Yu menatapnya, dan akhirnya bertanya, “Nama Tuan yang terhormat?”

“Jin.”

“Jin? Jin yang artinya emas?”

Baru ia menyadari orang bertangan satu ini menggenggam kapak besi di tangannya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menggigil.

Si Dewa Besar Halilintar berkata, “Kau tidak menyangka?”

Ximen Yu mendesah. Ia tersenyum pahit. “Aku telah salah perhitungan. Seharusnya aku tidak datang.”

Kata Jin Kai-jia, “Namun kau sudah datang.”

“Sekarang, bisakah aku pergi?”

“Tidak bisa.”

“Aku bisa memberikan kepadamu satu tangan lagi.”

“Satu saja sudah cukup.”

“Ada yang lain yang kau inginkan?”

“Nyawamu.”

“Tidak ada yang lain?”

“Tidak ada.”

Ximen Yu mengeluh panjang. “Baiklah.”

Tiba-tiba ia menyerang. Sasarannya adalah Shuang Shuang. Melindungi orang lain selalu lebih sulit daripada melindungi diri sendiri. Mungkin Shuang Shuang adalah satu-satunya kelemahan Jin Kai-jia. Satu-satunya kesempatan bagi Ximen Yu.

Jin Kai-jia maju melindungi Shuang Shuang. Namun ia pun tahu, perlindungan yang paling efektif adalah dengan menyerang.

Kapak besinya terayun membacok ke depan. Kapak ini sederhana, lugas dan tegas. Kapak bukanlah senjata dengan banyak variasi. Kapak besi membacok lurus ke arah musuh. Ilmu silat yang paling sederhana.

Namun gerakan ini memiliki lebih dari seratus macam gerakan lanjutan, penuh tipuan. Lalu kapak itu pun kembali ke posisi semula. Tidak seorang pun dapat menggambarkan keanehan jurus kapak ini, tidak seorang pun dapat memahaminya.

Tidak juga Ximen Yu. Ketika ia melihat kapak itu membacok ke depannya, ia bisa merasakan dinginnya kapak besi itu, ia dapat mendengar bunyi tulang-belulangnya remuk. Ia hampir tidak bisa percaya bahwa ini adalah kenyataan.

Apakah kematian itu begitu semu? Tidak ada rasa sakit, tidak ada rasa takut. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan mati, namun dengan begitu cepat kematian telah merenggutnya. Dan kegelapan yang tidak berujung telah menyelimuti dirinya untuk selama-lamanya.

Shuang Shuang diam tidak bergerak. Namun air mata bergulir setetes demi setetes .....

Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan. Qiu Feng-wu telah berhasil menemukan celah di antara serangan Ma Feng yang sangat mematikan. Ma Feng telah membuat satu kesalahan fatal. Ia mengangkat pedangnya sedikit terlalu tinggi, sehingga perutnya terbuka untuk serangan.

Wajah Qiu Feng-wu tidak menggambarkan apa-apa saat ujung pedangnya menembus perut lawan. Saat Ma Feng merasakan ujung pedang itu di perutnya, ia bagaikan seekor ikan yang kena pancing. Ketika ia roboh ke tanah, darah pun sudah muncrat keluar. Ia mati dengan cepat.

Mao Zhan jadi seperti kesurupan. Ia telah mencium darah, bau amis darah. Ia seperti kesetanan, seperti seekor rusa yang tanduknya terjepit di pohon jati, berusaha membebaskan diri dari kematian. Ia tidak bisa melihat orang lain. Yang terlihat hanyalah tombak Gao Li yang menari-nari.

Selangkah demi selangkah Ding Gan mundur. Lalu tiba-tiba ia memutar badan dan lari sekuat tenaga. Sungguh ketrampilan yang luar biasa.

Namun Qiu Feng-wu telah menanti. Katanya dingin, “Mau lari?”

Ding Gan membasahi bibirnya yang terasa kering. “Aku telah mengatakan apa yang kuinginkan.”

Kata Qiu Feng-wu, “Kau bilang bahwa demi bisa terus hidup, kau akan melakukan apa pun juga.”

“Memang begitu.”

“Sekarang kau boleh melakukan sesuatu untukku.”

Mata Ding Gan bersinar penuh harap. Segera ia bertanya, “Apa?”

“Bukankah Mao Zhan sahabat karibmu?”

Sahut Ding Gan, “Aku tidak punya sahabat.”

“Bagus. Bunuh dia, maka aku tidak akan membunuhmu.”

Ding Gan tidak mengatakan apa-apa. Tangannya teracung. Tiga sabetan golok telah dilancarkannya, tiga tusukan ke arah dada kiri Mao Zhan.

Mao Zhan meraung keras dan menoleh. Ia tidak melihat Gao Li, ia tidak melihat tombak perak yang meliuk-liuk di udara. Tarian tombak perak telah berhenti. Ia menatap Ding Gan dan berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah. Darah terus mengalir dari dadanya.

Wajah Ding Gan memucat seperti kehabisan darah. Ia melangkah mundur perlahan. Lalu dengan suara keji ia berkata, “Kau tidak bisa menyalahkan aku. Sekalipun aku menemanimu mati, apa keuntungannya?”

Mao Zhan mengertakkan giginya. Darah pun mengalir perlahan dari sudut bibirnya.

Ding Gan tersenyum mengejek, katanya, “Kau pun jangan berpikir bahwa aku takut padamu. Kini aku bisa membunuhmu hanya dengan menjentikkan jariku saja.” Ia mengangkat tangannya.

Namun wajahnya tiba-tiba meringis. Kedua belah tangannya disergap oleh seseorang.

Mao Zhan terus berjalan ke arahnya.

Ding Gan tidak bisa bergerak. Tidak bisa mundur.

Tangan Qiu Feng-wu bagaikan sepasang belenggu baja mencengkeram tangannya.

Wajah Ding Gan semakin pucat. Suaranya bergertar. “Lepaskan aku. Kau sudah berjanji akan membiarkan aku pergi.”

Qiu Feng-wu berkata dengan ringan, “Aku berjanji tidak akan membunuhmu.”

“Tapi dia.....”

“Jika dia membunuhmu, itu bukan urusanku.”

Ding Gan berteriak marah. Ia meronta-ronta bagaikan kuda liar. Lalu nafasnya seolah-olah berhenti.

Ketika Mao Zhan sampai di hadapannya, ia mengangkat goloknya dan perlahan-lahan menusuk dada Ding Gan tiga kali. Lalu ia pun meraung lantang.

Mao Zhan terus mengawasi Ding Gan sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya. Ia membungkuk dalam-dalam di hadapan Qiu Feng-wu. Ia tidak berkata apa-apa. Lalu dia mengangkat tangannya dan menggorok lehernya sendiri.

Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara.

Darah perlahan-lahan meresap ke dalam bumi. Matahari masih bersinar terang. Mayat-mayat itu telah layu.

Akhirnya Shuang Shuang tersungkur.

Qiu Feng-wu memandangnya. Ia seperti setangkai bunga mekar yang terkulai perlahan.

***

image

Cahaya sang surya menerangi bumi.

Jin Kai-jia memegang kapaknya dan mencangkul tanah dengan irama tenang. Seolah-olah ia ingin menyalurkan rasa duka nestapanya ke dalam bumi ini.

Bumi tidak dapat membalas dengan kata-kata. Ia dapat memberikan kehidupan, ia pun dapat menerima kematian. Mungkin di tempat di mana mayat-mayat itu membusuk akan tumbuh bunga-bunga yang mekar berseri.

Liang kubur telah tergali. Jin Kai-jia meletakkan mayat Ximen Yu di dalamnya.

Apakah suka cita dan harapan manusia pun bisa dikubur semudah ini? Yang ia tahu hanyalah bahwa suka cita dan harapan Shuang Shuang telah terkubur dan dalam pandangan matanya akan segera membusuk di dalam tanah.

Kadang-kadang mengambil nyawa seseorang merupakan hal yang lebih murah hati dari pada mengambil harapannya. Ia sungguh tidak berani membayangkan bagaimana kehidupan seseorang yang hilang harapan. Dirinya sendiri, walaupun ia tidak bisa bersuka cita, sebenarnya ia masih punya harapan.

Sedangkan Shuang Shuang?

Ia tidak pernah menitikkan air mata. Namun setiap kali ia teringat akan sikap Shuang Shuang sebelumnya, yang selalu penuh suka cita dan rasa percaya diri, hatinya bagaikan ditusuk oleh beribu-ribu jarum.

Kini ia hanya bisa berharap bahwa kedua pemuda itu bisa menghibur hati Shuang Shuang, bisa membantunya terus bertahan hidup. Ia sendiri sudah terlalu tua. Menghibur hati seorang wanita adalah tugas para pemuda. Tugas orang tua adalah menggali kubur bagi yang sudah mati.

Ia terus bekerja. Ia membungkukkan badannya untuk mengangkat mayat Ma Feng.

Tak disangka, mayat Ma Feng tiba-tiba bergerak! Ternyata dia belum mati! Memang perut bukanlah bagian yang berbahaya. Walaupun perutnya tertusuk, seseorang masih mungkin tidak mati.

Perut adalah bagian yang berbahaya, itu hanyalah tipuan saja. Dan Ma Feng telah menggunakan tipuan itu. Ia sengaja membiarkan perutnya tertusuk oleh pedang Qiu Feng Wu.

Jin Kai-jia baru saja menggendong Ma Feng, saat pedang itu menembus pinggangnya.

Pedang itu masih tertancap di tubuh Jin Kai-jia. Ma Feng sudah lari jauh. Ia menggunakan kesempatan yang baik itu untuk segera melarikan diri. Karena ia tahu bahwa Gao Li dan Qiu Feng-wu pasti akan berusaha menolong Jin Kai-jia terlebih dahulu sebelum mengejar dia. Oleh sebab itulah, ia tidak menusuk Jin Kai-jia sampai mati.

Sewaktu Gao Li dan Qiu Feng-wu tiba, nafas Jin Kai-jia tinggal satu-satu. Dengan tersengal-sengal ia bertanya dengan suara serak, “Shuang Shuang?”

Bahkan saat hampir mati pun ia masih memperhatikan orang lain.

Dengan berat hati Gao Li menjawab walaupun enggan, “Tubuhnya masih lemah. Ia belum lagi sadar.”

Kata Jin Kai-jia, “Biarkanlah dia tidur. Setelah dia bangun, katakan saja padanya bahwa aku sudah pergi.”

Ia terbatuk-batuk lama, baru kemudian melanjutkan, “Jangan sekali-kali mengatakan padanya bahwa aku sudah mati. Aku sungguh tidak ingin.....”

Kata Gao Li memotong, “Kau tidak akan mati. Kau tidak mungkin mati.”

Jin Kai-jia tersenyum kecut, katanya, “Mati bukanlah hal yang luar biasa. Jangan persoalkan hal itu. Kau hanya membuatku tidak nyaman.”

Qiu Feng-wu pun tersenyum pahit. Sebenarnya ia ingin mengatakan kata-kata penghiburan, namun kenyataannya, ia tidak sanggup mengatakannya.

Kata Jin Kai-jia, “Kalian tidak bisa lagi terus di sini. Sebaiknya kalian segera pergi.

Sahut Qiu Feng-wu, “Ya.”

“Gao Li, kau harus segera membawa Shuang Shuang pergi.”

Kata Qiu Feng-wu, “Tenanglah. Ia tidak mungkin meninggalkan Shuang Shuang.”

Kata Jin Kai-jia, “Aku pun ada permintaan kepadamu.”

“Mengenai apa?”

“Pulanglah. Aku ingin kau pulang.”

Qiu Feng-wu mengertakkan giginya. “Mengapa kau ingin aku pulang?”

Sahut Jin Kai-jia, “Jika kau pulang, mereka tidak akan mungkin menemukanmu. Mereka tidak akan pernah menyangka bahwa kau adalah Tuan Muda Perkampungan Merak.”

“Tapi.....”

Jin Kai-jia melanjutkan, “Jika mereka tidak dapat menemukanmu, mereka pun tidak akan dapat menemukan Gao Li. Oleh sebab itu, demi menyelamatkan Gao Li, kau harus pulang."

Qiu Feng-wu terdiam sesaat, lalu tiba-tiba berkata, “Aku akan membawa mereka bersamaku.”

“Jangan.”

“Kenapa?”

“Ada banyak orang tinggal di Perkampungan Merak, jadi ada banyak lidah. Jika mereka tahu kau pulang membawa dua orang teman, cepat atau lambat kabarnya pasti akan tersebar luas.”

Kata Qiu Feng-wu, “Aku yakin tidak ada orang di Perkampungan Merak yang berani berbuat begitu.”

Sahut Jin Kai-jia, “Aku tahu kau adalah orang yang tidak takut kena masalah, namun aku juga tahu sifat Gao Li.”

Lalu ia terbatuk-batuk cukup lama. Dan ia pun melanjutkan, “Ia tidak akan mau membuat masalah bagi sahabatnya. Dan kau adalah sahabatnya yang terdekat. Kau harus membiarkan dia pergi membawa Shuang Shuang. Biarkan mereka menghabiskan sisa hidup mereka dengan tenang.”

“Tapi....”

“Jika kau memaksanya pergi ke Perkampungan Merak, kau pasti akan menyesal.”

“Mengapa?”

Kata Jin Kai-jia, “Tidak perlu bertanya kenapa. Percayalah padaku.....”

Ia semakin sulit bicara. Nafasnya semakin pendek-pendek dan sesak.

Ia terdiam beberapa saat untuk menghimpun tenaganya, lalu berkata sepatah demi sepatah, “Jika kau tidak mau berjanji, aku tidak akan mati dengan tenang.”

Qiu Feng-wu mengatupkan tangannya. “Baik, aku berjanji. Tapi berjanjilah padaku kau akan terus hidup, supaya kita bisa berjuang bersama-sama menumpas Partai Naga Hijau.”

Ia mengertakkan giginya dan menambahkan, “Kita baru bisa hidup tenang, jikalau Partai Naga Hijau sudah hancur.”

Sahut Jin Kai-jia, “Kau akan menumpas mereka di kemudian hari, namun yang pasti kau tidak akan dapat menahan aku.”

Ia tersenyum pahit dan melanjutkan, “Tapi kau harus ingat bahwa menumpas Partai Naga Hijau tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Tidak juga seorang Tuan dari Perkampungan Merak.”

“Kau.....”

“Aku pun tidak lebih baik. Jika kau ingin menumpas Partai Naga Hijau, kau harus ingat 5 kata ini.”

“Lima kata apa?”

Kata Jin Kai-jia, “Bekerja bersama, hati dan jiwa.”

Dengan lima kata itu, pesilat tangguh itu akhirnya mewariskan ilmunya. Selama hidup, ia bebas datang dan pergi, berkelana ke seluruh dunia. Menjelang kematiannya, yang tinggal adalah lima kata ini.

Karena baru saat itulah ia sungguh mengerti. Tidak ada yang lebih agung di dunia ini dari pada ‘bekerja bersama, hati dan jiwa’.

Kini ia telah mengatakan apa yang harus dikatakannya. Ia tahu bahwa kematiannya tidak sia-sia. Menjadi orang yang berguna bukanlah pekerjaan mudah. Demikian juga, mati demi suatu tujuan, tidak mungkin datang begitu saja.

***

image

Senja.

Matahari senja menerangi kamar itu melalui jendelanya yang bersih.

Dua tikus kecil mengintip dari lubang di sudut kamar, ragu-ragu. Karena sepertinya dalam kamar itu tidak ada seorang pun, namun sebenarnya ada beberapa orang di sana. Tiga orang.

Gao Li dan Qiu Feng-wu berdiri kaku di kaki tempat tidur, memandangi Shuang Shuang yang masih tertidur lelap.

Tikus-tikus itu lewat dekat kaki mereka, tapi mereka tetap diam. Tidak bergerak, tidak juga ingin duduk. Seakan-akan mereka sedang menghukum diri sendiri.

Bukankah merekalah yang telah membawa seluruh kemalangan ini?

Saat mereka memandangi tanah yang menutupi tubuh Jin Kai-jia, mereka tidak meneteskan air mata, karena mereka ingat perkataan Si Dewa Besar, ‘Mati bukanlah masalah besar.’

Memang bukan. Karena ada sebagian orang yang walaupun sudah mati, semangat mereka terus hidup. Hidup dalam hati orang banyak! Oleh sebab itu, kematian bukanlah hal yang menyakitkan. Hanya orang hidup yang harus menderita kesakitan.

Kini mereka memandangi Shuang Shuang. Mau tidak mau, air mata mereka meleleh.

Tiba-tiba Shuang Shuang bergerak dan terjaga. Ia langsung memanggil nama Gao Li.

Segera Gao Li maju dan meraih tangannya. Dengan lembut ia berkata, “Aku di sini. Aku akan selalu di sini bersamamu.”

Kata Shuang Shuang, “Aku tahu. Aku tahu kau tidak akan meninggalkanku begitu saja.”

Kata Gao Li, “Aku....aku juga ingin menerangkan sesuatu kepadamu.”

“Aku sudah paham.”

Shuang Shuang mengangkat tangannya dan membelai wajah Gao Li. Wajahnya begitu lembut dan penuh kasih. Ia melanjutkan, “Aku tahu kau tidak mau aku kuatir. Tapi aku sudah tahu aku ini seperti apa. Aku tidak perlu diberitahu lagi oleh orang-orang itu.”

Hati Gao Li tercekat. Ia memaksakan seulas senyum dan berkata, “Tapi perkataan mereka tidak benar!”

“Kau pikir aku ini masih bayi? Kau pikir yang mereka katakan itu tidak benar....”

Gao Li merasa hatinya semakin berat. Hampir tenggelam sampai ke dasar lautan.

Kata Shuang Shuang lagi, “Kau tidak perlu kuatir aku akan bersedih. Oleh sebab itu, janganlah kau bersedih karena aku. Sudah lama aku tahu bahwa aku ini hanya seorang gadis buta yang berwajah menggelikan.”

Suaranya begitu tenang. Wajahnya tidak kelihatan bersedih ataupun mengasihani diri sendiri.

Katanya lagi dengan tenang, “Mulanya, aku memang merasa sangat galau, sangat sedih. Namun lama-kelamaan, aku bisa menerima kenyataan. Tiap-tiap orang punya jalan hidup masing-masing. Oleh sebab itu, manusia harus bisa menerima dirinya apa adanya dan hidup damai sejahtera.”

Ia terus membelai wajah Gao Li. Lanjutnya lagi, “Mungkin wajahku tampak menggelikan bagi sebagian orang, namun aku tidak akan menyalahkan Tuhan atau siapapun juga. Karena aku jauh lebih beruntung dari orang yang malang. Aku punya orang tua yang mengasihiku. Terlebih lagi, aku memiliki engkau.”

Qiu Feng-wu mendengar semuanya dari sudut ruangan. Sulit baginya untuk menjaga agar matanya tetap kering.

Waktu ia memandang Shuang Shuang ia tidak lagi merasa kasihan atau simpati. Ia memandang Shuang Shuang dengan penuh kekaguman dan hormat. Ia sungguh tidak menyangka bahwa di dalam tubuh yang lemah dan cacad seperti itu, ada hati yang begitu tegar, begitu mulia.

Kata Gao Li dengan sedih, “Kalau kau sudah tahu, mengapa kau tidak mengatakan apa-apa?”

“Aku kuatir akan dirimu.”

“Diriku?”

Jawab Shuang Shuang, “Aku tahu kau sangat baik kepadaku. Aku berharap bahwa setiap kali kau ada bersamaku, kau merasakan suka cita. Tapi kalau aku mengatakan padamu bahwa aku sudah tahu akan keadaanku yang sebenarnya, aku kuatir kau akan merasa sedih dan kasihan kepadaku.”

Ia mendesah dan menambahkan, “Kau begitu baik, bagaimana mungkin aku membuatmu bersedih.”

Gao Li memandangi Shuang Shuang. Air mata mengalir ke pipinya.

Ia baru menyadari bahwa di antara mereka berdua, ialah yang lebih lemah. Ialah yang egois. Ia berusaha merawat gadis itu, menjaganya, tapi itu hanyalah topeng untuk membuat dirinya sendiri berbahagia. Demi membangkitkan semangatnya, demi mendapatkan kedamaian dalam hatinya.

Ia selalu berharap dapat melihat senyumnya, demi menghapuskan bau amis darah yang menodai tangannya. Ia terus menerus menghindar dari orang lain, menghindar dari dirinya sendiri, menghindari hati nuraninya. Hanya saat bersama Shuang Shuang, ia merasa lega.

Shuang Shuang berkata dengan lembut, “Oleh sebab itu kuharap kau tidak bersedih karena aku, karena aku tidak bersedih akan keadaan diriku sendiri. Selama kita bisa hidup bahagia bersama-sama, untuk apa kita permasalahkan penampilan?”

Bukankah kalimat itu seharusnya adalah bagian dialog Gao Li? Tapi malah Shuang Shuang yang menyuarakannya. Ia menyadari sekarang bahwa selama ini, Shuang Shuanglah yang telah merawat dia, menjaganya. Jika ia kehilangan gadis ini, mungkin ia akan menjadi gila sampai mati.

Tanya Shuang Shuang, “Kini kau mengerti?”

Gao Li tidak perlu menjawab. Ia berlutut, sungguh-sungguh berlutut di hadapan gadis itu.

Qiu Feng-wu memandangi mereka berdua. Wajahnya telah basah oleh air mata. Ia pun baru menyadari sesuatu.

Tuhan itu adil. Walaupun wajah dan tubuh Shuang Shuang begitu buruk, ia memiliki hati yang luar biasa cantiknya.

***

image

Kubur baru.

Sebenarnya, itu pun tidak tampak seperti kubur. Tanahnya sudah sangat pepat, bahkan di atasnya telah dihamparkan rerumputan untuk menyamarkannya. Kini tidak ada lagi yang akan menyangka bahwa di bawah sana telah terkubur seorang pahlawan dari generasi lampau.

Ini memang yang diinginkan oleh Gao Li dan Qiu Feng-wu. Mereka tidak ingin siapapun juga mengusik ketenangan tubuh Jin Kai-jia di bawah sana.

Mereka pun tidak meletakkan nisan. Karena batu nisannya telah teguh terpatri dalam hati mereka, ‘Ia bukan Dewa, ia manusia sejati’.

Seorang manusia yang berbudi luhur, seorang sahabat sejati. Mungkin ilmu silatnya pernah menggetarkan dunia dan tidak mungkin dilupakan orang yang pernah mengalaminya. Namun apa yang telah diperbuatnya bagi mereka berdua akan terus hidup dalam hati kedua pemuda ini, sepanjang hayat mereka.

***

image

Waktu senja tiba, mereka mengeluarkan beberapa guci arak.

Semua arak yang dapat mereka temukan.

Mereka minum bergiliran dan sisanya dicurahkan ke atas kepala Gao Li dan Shuang Shuang yang sedang berlutut di tanah.

‘Ini adalah arak pernikahan kami. Aku tahu kau sangat ingin menikmatinya.’

‘Aku akan segera pergi membawa Shuang Shuang dan akan menjaganya dengan jiwaku. Ke mana pun aku pergi, tidak akan pernah kutinggalkan dia.”

Dalam hidupnya sesudah ini, ia berharap bahwa istrinya akan menjadi inti hidupnya dan mereka akan terus hidup berbahagia bersama. Segala sesuatu akan mereka lalui dengan kehormatan, kesetiaan dan harga diri mereka.

Lalu Shuang Shuang sengaja berlalu, membiarkan kedua orang ini berbicara dengan bebas. Dua orang yang telah melalui hidup dan mati bersama-sama. Dua orang yang memiliki musuh dan sahabat yang sama.

***

image

Senja beranjak semakin gelap. Burung-burung gagak berkoar-koar dari dalam hutan, seolah-olah meratapi kehidupan yang sedih dalam dunia ini.

Qiu Feng-wu menatap Gao Li. Gao Li menatap Qiu Feng-wu. Masihkah perlu kata-kata diucapkan?

Setelah terdiam lama, akhirnya Qiu Feng-wu memaksakan seulas senyum dan berkata, “Tahukah kau bahwa kau adalah orang yang sangat beruntung?”

Gao Li pun tersenyum pahit. “Ya, aku tahu.”

“Kini kita harus berpisah.”

“Kau harus pulang?”

Sahut Qiu Feng-wu, “Aku sudah berjanji. Aku harus pulang.”

“Aku mengerti.”

“Ke mana kau akan pergi?”

Kata Gao Li, “Dunia bergitu luas. Akan selalu ada tempat bagi kami berdua.”

Qiu Feng-wu mengangguk perlahan. “Namun ke mana pun kalian pergi, kapan pun juga kau bisa datang mengunjungi aku.”

“Ya, pasti.”

“Dan bawa serta dia bersamamu.”

“Sudah tentu.”

Tiba-tiba Qiu Feng-wu mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Gao Li kuat-kuat. “Aku pun ingin kau berjanji padaku.”

“Katakan saja.”

“Jika kau menemui kesulitan, berjanjilah untuk datang padaku.”

***

image

Keremangan malam sudah tiba.

Bayangan Qiu Feng-wu yang berdiri tegak telah lenyap ditelan kegelapan. Gao Li membantu Shuang Shuang untuk berdiri. Hatinya merasa gembira, namun juga sedih.

Kata Shuang Shuang, “Kau adalah orang yang sangat beruntung.”

Gao Li mengangguk.

Kata Shuang Shuang lagi, “Tidak banyak orang bisa memiliki sahabat seperti dia.”

Sahut Gao Li, “Lebih sedikit lagi orang yang dapat menikah dengan wanita sebaik engkau.”

Ia sungguh merasa bahagia. Ia memiliki sahabat sejati dan istri yang baik. Bagi siapapun juga, itu sudah cukup. Tapi entah mengapa, tiba-tiba hatinya merasa penuh dengan kesedihan dan ketakutan, kesedihan dan ketakutan akan masa depan. Karena ia sungguh tidak pasti bahwa mereka bisa hidup dengan sejahtera di kemudian hari.

Shuang Shuang bergerak maju. Tanyanya tiba-tiba, “Kau tidak merasa takut?”

Gao Li tersenyum kecut. “Aku takut? Buat apa?”

“Takut bahwa kita tidak dapat hidup sejahtera, takut bahwa orang-orang itu suatu hari nanti akan menemukan kita, takut akan keselamatan kita dalam perjalanan.”

Gao Li terdiam. Ia sungguh mengerti bahwa terkadang hidup memang kejam dan penuh dengan beban yang berat.

Kata Shuang Shuang, “Seharusnya kau tidak perlu takut. Jika seseorang berjuang dengan sepenuh hati, pasti akan ada jalan kemenangan baginya.”

“Tapi....”

Shuang Shuang segera menyela, “Aku tidak takut menderita. Selama kita bisa terus hidup bersama, sedikit penderitaan tidak ada masalah.”

Kata Gao Li, “Tapi aku harus merawatmu dengan baik. Aku ingin kau hidup senang.”

Shuang Shuang malah bertanya, “Hari apakah yang bisa disebut sebagai hari baik?”

Gao Li tidak menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Kata Shuang Shuang, “Hari saat seseorang bisa makan kenyang, berpakaian dengan layak, punya atap di atas kepalanya, dan yang lebih penting lagi, memiliki hati yang penuh suka cita. Itulah hari yang baik. Aku tidak perlu yang lain lagi.”

Di wajahnya yang lembut tersirat suatu semangat dan keteguhan hati yang begitu rupa, yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Perlahan Gao Li membusungkan dadanya dan meraih tangan Shuang Shuang. Tiba-tiba hatinya sendiri pun penuh dengan semangat dan cita-cita. Ia tahu bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa membuat dia merasa takut dan kuatir.

Karena ia tidak lagi sendiri. Perasaan itu hanya dapat dirasakan oleh orang yang pernah kesepian. Dan kini ia tahu betapa indahnya hidup bersama dengan belahan jiwanya.

Mereka tidak pergi ke pegunungan yang terpencil, mereka pun tidak pergi ke kota-kota perbatasan. Mereka mencari sebuah desa yang tenteram. Orang-orang yang tinggal di sana adalah orang-orang yang baik. Mereka adalah orang-orang sederhana, namun terhormat. Seorang petani dengan istri yang lemah tidak akan menjadi bahan perbincangan di sini.

Saat matahari terbit mereka bekerja. Saat matahari terbenam mereka beristirahat.

Hari-hari mereka sungguh tenang dan bahagia. Sayangnya, ini bukanlah akhir kisah ini.

Gao Li kembali dari sawah. Tubuhnya penat dan penuh lumpur. Tangan Shuang Shuang yang lemah telah siap dengan makanan hangat baginya. Ia juga menyiapkan arak hangat untuk suaminya.

Shuang Shuang telah terbiasa dengan rumah ini. Perlahan-lahan, ia menggantikan matanya dengan tangannya. Ia pun terlihat lebih sehat. Hidup yang penuh kebahagiaan dan sukacita adalah obat yang paling mujarab untuk penyakit apapun juga.

Gao Li memandang makanan dan arak di atas meja. Ia tersenyum gembira seperti anak kecil, “Wah, tumben hari ini ada arak!”

Shuang Shuang tersenyum manis. “Belakangan ini kau kelihatan sangat letih. Sekali-sekali boleh kan kalau aku mempersiapkan hidangan istimewa untukmu.”

Gao Li segera duduk. Ia segera minum arak hangat dan berkata, “Hari ini aku akan membayar uang sewa. Kuharap akan ada cukup sisa uang untuk membeli beras dan gelang yang cantik untukmu.”

Mata Shuang Shuang berkedip-kedip dan seperti anak yang manja ia duduk di pangkuan Gao Li. Katanya, “Tapi aku tetap ingin yang itu.”

“Yang mana?”

“Kau!”

Tangannya yang kecil memijit hidung Gao Li. Gao Li megap-megap, pura-pura tidak bisa bernafas. Shuang Shuang tertawa geli. Gao Li meletakkan cawannya dan mengambil sumpit. Disumpitnya sepotong daging panggang dan dijejalkannya ke mulut Shuang Shuang.

Tiba-tiba sumpitnya jatuh. Tangan Gao Li terasa dingin bagai es. Ternyata yang disumpitnya bukan daging panggang, melainkan seekor kaki seribu. Panjangnya hampir 20 cm.

Tanya Shuang Shuang, “Ada apa?”

Wajah Gao Li memucat, namun ia berusaha menutupinya. Ia memaksakan untuk tersenyum dan menjawab, “Tidak apa-apa. Ada serangga dalam mangkok daging panggang. Mungkin jatuh dari atas atap. Sayang sekali, daging panggangnya jadi tidak bisa dimakan.”

Shuang Shuang terdiam cukup lama. Lalu ia pun tersenyum dan berkata, “Untungnya masih ada telur di dapur. Aku akan menggorengnya.”

Ia berdiri, dan Gao Li pun segera berdiri. “Aku ikut ke dapur.”

Kata Shuang Shuang, “Aku saja yang pergi. Kau duduk saja di sini dan minum arak.”

“Tidak, aku ikut. Aku suka melihatmu menggoreng telur.”

Shuang Shuang tersenyum. “Apa sih istimewanya menggoreng telur?”

Gao Li pun tersenyum. “Aku suka memandangmu.”

Walaupun bibir mereka tersenyum, hati mereka diselimuti oleh kabut yang kelabu.

Dapur itu sangat bersih. Sungguh tidak disangka bahwa wanita seperti Shuang Shuang dapat membereskan ruangan dengan begitu rapi. Sungguh, cinta memang adalah sumber kekuatan, cinta dapat meraih segalanya, cinta bahkan dapat membuat mujizat.

Shuang Shuang masuk ke dapur. Gao Li pun ikut di belakangnya. Shuang Shuang mengambil beberapa butir telur, Gao Li pun mengambil telur. Apapun yang dilakukan Shuang Shuang, Gao Li pun melakukannya. Shuang Shuang menyiapkan kayu bakar, Gao Li menyalakan apinya. Shuang Shuang mengambil panci, Gao Li membuka tutupnya.

Tiba-tiba tutup panci itu lepas dari pegangannya. Keringat dingin membasahi tangan Gao Li. Panci itu tidak kosong. Ada guntingan kertas berbentuk orang di dalamnya. Dua orang tanpa kepala. Dan di bagian lehernya diberi warna merah dengan darah segar.

Api menyala berkobar-kobar. Kedua potongan kertas itu perlahan terbakar dan tergulung. Kelihatan sangat mengerikan.

Wajah Shuang Shuang terlihat semakin pucat, seperti mau pingsan. Ia seakan-akan memiliki indra ke enam dan dapat merasakan ketakutan Gao Li. Tapi ia tidak pingsan, karena ia tahu bahwa mereka harus kuat dalam saat seperti ini.

Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah masalah yang dulu lagi?”

Gao Li mengangguk. Hatinya terasa seperti tertusuk. Karena ia mau tidak mau ia harus mengakui bahwa hidup mereka yang tenang sudah berakhir! Sangat menyakitkan.

Tapi Shuang Shuang malah terlihat sangat tenang. Ia menggenggam tangan Gao Li dan berkata, “Kita sudah tahu bahwa cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan kita, bukan?”

Gao Li menjawab kering, “Ya.”

“Oleh sebab itu, kau tidak perlu menguatirkan aku, karena aku telah siap.” Suara Shuang Shuang terdengar semakin lembut. “Aku telah mengalami dua tahun hidup yang sangat bahagia. Jika aku harus mati sekarang, tidak ada yang harus disesali. Dan lagi, belum tentu kita akan mati.”

Gao Li membusungkan dadanya dan menjawab dengan tegas, “Kau pikir aku takut?”

“Aku tahu kau tidak takut. Kau adalah seorang pria dengan semangat dan mental baja. Mana mungkin kau takut terhadap penjahat kecil seperti mereka?”

Wajahnya begitu cerah, begitu bangga akan suaminya. Semangat Gao Li pun membubung tinggi. Jika kau pernah merasakan cinta sejati, kau pasti tahu bagaimana rasanya.

Kata Shuang Shuang, “Sekarang katakan padaku sejujurnya, apa yang ada dalam panci itu?”

Gao Li menjawab dengan enggan, “Cuma....cuma potongan kertas berbentuk orang.”

“Potongan kertas berbentuk orang?”

Gao Li tersenyum sinis. “Mereka berusaha menakut-nakuti kita. Mereka tidak tahu bahwa kita tidak pernah takut akan apapun juga.”

Serangga yang mati dan potongan kertas memang tidak akan membunuh siapapun juga. Itu hanya ancaman. Semacam peringatan. Sudah tentu mereka tidak mau ia mati dengan segera.

Shuang Shuang menggigit bibirnya. Setelah terdiam lama, tiba-tiba ia berkata, “Cucilah panci itu dan aku akan merebus telur untuk kita makan. Aku akan merebus enam, empat untukmu, dua untukku.”

Kata Gao Li dengan heran, “Kau....kau bisa makan?”

“Mengapa aku tidak bisa makan? Jika seseorang tidak bisa makan, itu sama saja dengan mengakui bahwa ia ketakutan. Oleh sebab itu, kita harus makan. Lebih dari itu, kita harus makan sampai kenyang.”

Gao Li pun tersenyum. “Baiklah, aku makan empat, kau makan dua.”

Telur adalah makanan yang paling aman.

Kata Shuang Shuang, “Telur ini sangat lezat.”

“Ya, bahkan lebih lezat daripada daging panggang.”

“Jika mereka berani datang terang-terangan, aku akan menyisakan dua butir telur ini untuk mereka.”

Kata Gao Li, “Sayangnya mereka itu semuanya pengecut. Mereka hanya berani berbuat jahat sembunyi-sembunyi.”

Tiba-tiba terdengar suara dengus dari luar jendela.

Gao Li segera berdiri. “Siapa itu?”

Tidak ada jawaban.

Gao Li ingin segera keluar, tapi ia mengurungkan diri. Ia malah duduk kembali dan berkata dengan ringan, “Sungguh memalukan.”

Kata Shuang Shuang, “Tahukah kau cara yang terbaik untuk menghadapi orang seperti ini?”

“Apa?”

“Tidak usah dipedulikan.”

Gao Li tersenyum. “Kau benar. Kita tidak usah kaget akan hal-hal yang aneh. Itu akan mengurangi rasa cemas kita. Memang itu cara yang terbaik.”

Dan Gao Li tertawa keras-keras. Tapi apakah ia benar-benar tertawa?

***

image

Di luar sana, hari sudah gelap. Kegelapan yang tiada berujung. Dalam kegelapan, entah berapa banyak hal yang menakutkan yang tersembunyi. Entah berapa banyak orang yang ketakutan yang bersembunyi.

Tapi dalam ruangan ini, ada dua orang. Kamar yang sempit, pasangan yang muda belia. Kegelapan dan ketakutan menyelimuti mereka.

Benarkah ia tidak merasa takut?

Tombak perak telah diambilnya dari bawah tempat tidur. Tombak itu sudah berdebu, namun tidak berkarat. Ada hal-hal yang tidak akan pernah berkarat. Demikian juga halnya dengan ingatan.

Gao Li teringat akan Qiu Feng-wu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah mereka juga telah menemukan dia? Semoga saja tidak.

Ia berharap bahwa masalah ini selesai sampai di sini saja dan habis bersama dengan dirinya. Ia tidak bisa tidur. Hanya Shuang Shuang yang bisa. Tapi kalau ia tidur, bisakah Shuang Shuang terus tidur? Ia telah menjadi seorang wanita yang lebih kuat, lebih berani. Namun saat ia tidur, ia tampak seperti seorang anak kecil. Bagaimana mungkin ia begitu kejam dan meninggalkan dia? Mungkinkah ia melakukannya?

Di luar angin bertiup menderu-deru. Malam semakin kelam. Gao Li menggenggam tombaknya erat-erat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Namun akhirnya, air mata mengalir ke pipinya.

Shuang Shuang membalikkan badannya. “Mengapa kau tidak tidur?” Ternyata ia juga tidak tidur.

Sahut Gao Li, “Ak....aku tidak mengantuk.”

“Jangan lupa bahwa besok kau harus bangun pagi-pagi dan bekerja di sawah.”

Gao Li tersenyum kecut dan berkata, “Tidak bisakah aku tinggal di rumah saja dan bermalas-malasan?”

“Boleh. Tapi bagaimana dengan lusa? Seminggu lagi? Sebulan lagi?” Shuang Shuang mendesah dan melanjutkan, “Jika mereka tidak muncul, apakah kau akan terus menerus di sini? Maksudku, apakah kau akan mengeram dalam rumah seumur hidupmu?”

“Mengapa tidak?”

Kata Shuang Shuang, “Lalu bagaimana kita bisa hidup?”

“Kita bisa bertahan sampai mereka muncul. Kita tunggu sampai mereka datang dan menyerang.”

“Tapi kapan mereka akan menyerang?”

“Mereka sudah tiba, buat apa mereka menunggu terlalu lama?”

Sahut Shuang Shuang, “Mereka melakukan ini untuk mencekikmu perlahan-lahan. Mereka akan menungggu sampai kau kelelahan, baru mereka muncul.”

Kata Gao Li dengan pahit, “Mereka tidak perlu menunggu.”

“Mengapa?”

“Apakah ini sudah waktunya berkata jujur?”

“Ya.”

“Kalau begitu, aku ingin kau berjanji satu hal untukku.”

“Apa?”

Kata Gao Li perlahan sambil membelai wajah Shuang Shuang, “Apapun yang akan terjadi padaku, aku mau kau berjanji untuk tetap menjaga diri baik-baik.”

“Ap...apa...apa maksudmu?”

“Kau tahu apa maksudku.”

Tanya Shuang Shuang, “Kau takut terhadap mereka.”

“Mau tidak mau, aku harus takut.”

“Mengapa?”

Gao Li meringis, seperti kesakitan, “Kita harus takut. Merekalah yang mencari dan menemukan kita. Sudah tentu mereka berada di atas angin.”

Shuang Shuang terdiam. Seolah-olah ia sedang menenangkan diri. Setelah sekian lama, akhirnya ia berkata perlahan, “Jika mereka berada di atas angin, mengapa mereka tidak segera mulai?”

Jawab Gao Li, “Karena mereka sengaja ingin membuat aku menderita.”

“Bukankah setelah menangkapmu mereka tetap bisa membuatmu menderita?”

Gao Li terhenyak. Lalu matanya sedikit demi sedikit menjadi semakin terang. Lalu ia melompat dan berseru, “Aku tahu.”

“Apa?”

“Orang dari Partai Naga Hijau belum lagi tiba.”

“Lalu siapa yang datang?”

“Baru satu orang yang tiba. Oleh sebab itu ia hanya bisa membuatku kelelahan sendiri, membuatku ketakutan sampai gila, lalu barulah ia dapat membereskan aku.”

“Kau tahu siapa dia?”

“Ma Feng! Sudah tentu Ma Feng!”

Ma Feng tidak membunuh banyak orang. Namun kalau ia hendak membunuh, ia tidak akan gagal. Ia membunuh dengan perlahan, sangat perlahan, karena ia berpikir ‘Jika kau membunuh orang seperti itu, sampai ia menjadi setan pun ia tidak akan berani membalas dendam.’

Wajah Gao Li merah karena begitu bersemangat. “Aku tahu cepat atau lambat ia pasti datang. Aku sudah tahu!”

“Kenapa?”

“Ia ingin membalas dendam.”

“Membalas dendam?”

Kata Gao Li, “Mungkin ada banyak orang yang berbuat salah kepada kita, namun kita tidak mengingat-ingatnya. Tapi dia bukan orang seperti itu. Ia selalu akan membalas.”

Ia mengertakkan gigi dan menambahkan, “Ia sudah lupa bahwa aku pun mencari dia!”

Siapa yang bisa lupa bahwa ialah pembunuh Jin Kai-jia.

Tanya Shuang Shuang, “Bagaimana kau tahu bahwa ia tidak membawa orang-orang Partai Naga Hijau?”

“Ia tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena ia ingin membalas dengan membunuh, dan ia tidak akan membawa orang lain untuk menikmatinya bersama-sama.”

Shuang Shuang menggenggam tangan Gao Li erat-erat. “Ia......ia sangat mengerikan.”

Gao Li tersenyum mengejek. “Memang. Tapi aku tidak takut padanya.”

Tiba-tiba suaranya terputus, karena terdengar ketukan di pintu. Ketukannya sangat halus, dan sangat lambat. Namun tiap ketuk seakan-akan menancapkan paku ke dalam hati mereka.

Nafas Gao Li serasa hampir putus. Ia baru menyadari bahwa ia jauh lebih ketakutan daripada yang dibayangkannya. Dua tahun ini, ia hanya sibuk dengan cangkulnya, bukan dengan tombaknya.

Ketukan di pintu terus terdengar. Begitu lembut, begitu perlahan....

Tangan Shuang Shuang sedingin es. Gao Li pun baru menyadari bahwa keberanian Shuang Shuang ternyata jauh lebih kurang daripada yang diperlihatkannya.

Akhirnya Shuang Shuang berkata, “Sepertinya ada orang mengetuk pintu di luar.”

Kata Gao Li, “Aku mendengarnya.”

“Apakah kau akan membukakan pintu?”

Gao Li tersenyum kecut. “Jika ia ingin masuk, sekalipun aku tidak membuka pintu, ia tetap bisa masuk.”

Sebenarnya itu hanya alasan saja. Ia sangat takut bahwa akan terjadi seperti ini. Ia tidak boleh mati, sebab itu ia jadi takut mati. Takut mati bukanlah suatu hal yang memalukan. Sama sekali bukan! Jika kau adalah seorang ksatria, dan kau memiliki seorang wanita seperti Shuang Shuang yang membutuhkan perlindunganmu, kau pun pasti akan takut mati.

Hati Shuang Shuang serasa ditusuk beribu-ribu jarum. Ia tahu, tidak ada yang memahami Gao Li seperti dia. Dari matanya yang kelabu tiba-tiba meleleh setets air mata, bagai sebutir kristal bening.

“Kau....kau menangis?”

Shuang Shuang mengangguk. “Kau tahu bahwa aku selalu bangga akan engkau, tapi.....”

Gao Li memotongnya, “Ya, aku tahu.”

Shuang Shuang tetap melanjutkan, “Tapi sekarang aku tidak merasa seperti itu.”

Gao Li menundukkan kepalanya. Ia mengerti perasaan Shuang Shuang. Seorang wanita tidak menginginkan pria yang pengecut, namun ia juga tidak menginginkan kekasihnya menantang mara bahaya.

Dengan sedih Shuang Shuang berkata, “Aku tahu kau ingin terus di sini untuk melindungi aku. Aku pun ingin kau terus di sini bersamaku. Namun aku tahu bahwa kau pasti menderita, karena kau bukan seorang pengecut.”

“Tapi kau.....”

Kata Shuang Shuang, “Janganlah kau kuatir akan aku. Apapun yang terjadi, kau harus melakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Kalau tidak, mungkin aku akan jadi lebih menderita daripada engkau sendiri.”

Gao Li memandangnya. Hanya seorang wanita sejati yang dapat berkata seperti ini. Ia merasa begitu bangga akan istrinya. Ia membungkukkan tubuhnya dan mengecup air mata di pipinya. Lalu ia memutar tubuhnya dan berjalan ke luar.

Shuang Shuang membenamkan wajahnya di bantal. Ia hanya mendengar suara langkah suaminya.

Setiap pagi ia selalu menghitung langkah suaminya. Dari tempat tidur, ia berjalan 13 langkah sampai ke pintu.

Satu, dua.....empat, lima,.....

Kali ini, akankah ia kembali? Ia tidak tahu. Ia tidak berani memikirkannya. Walaupun ia tidak mungkin kembali, ia tidak mungkin menahan suaminya, karena persoalan ini harus diselesaikan. Ia tidak dapat terus menghindar.