9

image

DERITA MRS WEASLEY

KEPERGIAN Dumbledore yang mendadak sama sekali tak disangka Harry. Dia tetap duduk di kursi berantai, berusaha meredakan perasaannya yang bercampur antara shock dan lega. Semua anggota Wizengamot sekarang bangkit, berbicara, membereskan kertas-kertas mereka dan menyimpannya. Harry berdiri. Tak seorang pun memedulikannya, kecuali penyihir mirip kodok di sebelah kanan Fudge, yang alih-alih memandang Dumbledore, sekarang menatapnya tajam. Mengabaikan penyihir itu, Harry berusaha menatap mata Fudge atau Madam Bones, ingin bertanya kepada mereka apakah dia boleh pergi, tetapi Fudge rupanya bertekad untuk tidak mengacuhkan Harry, dan Madam Bones sibuk dengan tas kerjanya, maka Harry mencoba berjalan beberapa langkah ke pintu keluar, dan ketika tak ada yang menyuruhnya kembali, jalannya menjadi sangat cepat.

Tinggal beberapa langkah lagi dari pintu dia berlari, bergegas membuka pintu dan nyaris bertabrakan dengan Mr Weasley, yang berdiri tepat di depan pintu, tampak pucat dan cemas.

”Dumbledore tidak bilang ap…”

”Bebas,” kata Harry, menarik pintu di belakangnya sampai menutup, ”dari segala tuduhan.”

Berseri-seri, Mr Weasley menyambar bahu Harry.

”Harry, bagus sekali! Yah, tentu saja mereka tak bisa memutuskan kau bersalah, tidak dengan bukti itu, meskipun demikian, aku tak bisa berpura-pura tidak…”

Tetapi Mr Weasley tidak meneruskan kata-katanya, karena pintu ruang sidang terbuka lagi. Para anggota Wizengamot keluar.

”Jenggot Merlin!” seru Mr Weasley keheranan, menarik Harry ke tepi untuk membiarkan mereka lewat. ”Kau disidang oleh pengadilan penuh?”

”Saya rasa begitu,” kata Harry pelan.

Satu atau dua penyihir mengangguk kepada Harry ketika lewat, dan beberapa, termasuk Madam Bones, menyapa, ”Pagi, Arthur,” kepada Mr Weasley, tetapi sebagian besar membuang pandang. Cornelius Fudge dan si penyihir mirip kodok hampir terakhir meninggalkan ruang sidang bawah tanah. Fudge bersikap seakan Mr Weasley dan Harry adalah bagian dinding, tetapi sekali lagi si penyihir mirip kodok mengamati Harry seperti menilainya, ketika dia lewat. Yang terakhir lewat adalah Percy. Seperti Fudge, dia sama sekali tidak mengacuhkan ayahnya dan Harry; dia berjalan memeluk gulungan besar perkamen dan segenggam pena-bulu cadangan, punggungnya kaku dan hidungnya terangkat ke atas. Garis-garis di sekeliling mulut Mr Weasley menegang sedikit, tetapi kecuali itu tak ada tanda-tanda bahwa dia telah melihat anaknya yang ketiga.

”Aku akan langsung mengantarmu pulang supaya kau bisa menyampaikan kabar baik ini kepada yang lain,” katanya, memberi isyarat agar Harry maju setelah tumit Percy menghilang menaiki tangga ke Tingkat Sembilan. ”Sekalian aku jalan ke toilet umum di Bethnal Green. Ayo…”

”Jadi, apa yang akan Anda lakukan dengan toilet itu?” Harry bertanya, nyengir. Segala sesuatu mendadak menjadi lima kali lebih lucu daripada biasanya. Baru saja masuk dalam kesadarannya bahwa dia dibebaskan, dia akan kembali ke Hogwarts.

”Oh, cuma perlu anti-mantra sederhana,” jawab Mr Weasley, sementara mereka menaiki tangga, ”tapi persoalan utamanya bukan memperbaiki kerusakan, melainkan sikap di balik perusakan itu, Harry. Memancing-Muggle mungkin dianggap lucu oleh sebagian penyihir, tetapi ini ungkapan sesuatu yang lebih dalam dan lebih jahat, dan aku…”

Mr Weasley berhenti mendadak. Mereka baru saja tiba di koridor Tingkat Sembilan dan Cornelius Fudge berdiri beberapa meter dari mereka, berbicara pelan dengan seorang pria jangkung berambut pirang licin dan berwajah runcing pucat.

Laki-laki ini menoleh mendengar langkah-langkah kaki mereka. Dia juga menghentikan percakapannya, matanya yang dingin kelabu menyipit dan terpancang ke wajah Harry.

”Wah, wah, wah… Patronus Potter,” kata Lucius Malfoy dingin.

Harry merasa kehabisan napas, seakan dia baru saja menabrak sesuatu yang keras. Terakhir kali dia melihat mata dingin kelabu itu melalui celah di tutup kepala Pelahap Maut, dan terakhir kali mendengar suara laki-laki itu berteriak-teriak mencemoohnya di kuburan gelap sementara Lord Voldemort menyiksanya. Harry tak percaya Lucius Malfoy masih berani memandangnya, dia tak bisa percaya dia di sini, di Kementerian Sihir, atau bahwa Cornelius Fudge bercakap-cakap dengannya, padahal Harry baru beberapa minggu lalu memberitahunya bahwa Malfoy adalah Pelahap Maut.

”Pak Menteri baru saja menceritakan kepadaku soal keberuntunganmu lolos, Potter,” kata Mr Malfoy. ”Sungguh mengherankan, caramu bisa lolos dari lubang-lubang sangat sempit… seperti ular.”

Mr Weasley memegang bahu Harry untuk memperingatkan.

”Yeah,” kata Harry, ”yeah, aku pintar meloloskan diri.”

Lucius Malfoy mengangkat mata memandang wajah Mr Weasley.

”Dan Arthur Weasley juga! Apa yang kaulakukan di sini, Arthur?”

”Aku bekerja di sini,” kata Mr Weasley singkat.

”Tidak di sini, tentunya?” ejek Mr Malfoy, mengangkat alis dan mengerling ke pintu melewati bahu Mr Weasley. ”Kupikir kantormu di atas di lantai dua… bukankah kau melakukan sesuatu yang ada hubungannya dengan menyelundupkan barang-barang Muggle ke rumah lantas menyihirnya?”

”Tidak,” bentak Mr Weasley, jari-jarinya sekarang mencengkeram bahu Harry.

”Kau sendiri, apa yang kaulakukan di sini?” Harry menanyai Lucius Malfoy.

”Kurasa masalah pribadi antara aku dan Pak Menteri bukan urusanmu, Potter,” sahut Malfoy, meratakan bagian depan jubahnya. Harry dengan jelas mendengar gemerencing sesuatu yang sepertinya kantong penuh uang emas. ”Jangan mentang-mentang kau anak kesayangan Dumbledore, kau lantas mengharap kemanjaan yang sama dari orang lain… bagaimana kalau kita ke kantor Anda, Pak Menteri?”

”Mari,” kata Fudge, berbalik memunggungi Harry dan Mr Weasley. ”Jalan sini, Lucius.”

Mereka berjalan bersama, berbicara dengan suara rendah. Mr Weasley tidak melepas bahu Harry sampai mereka sudah menghilang ke dalam lift.

”Kenapa dia tidak menunggu di depan kantor Fudge kalau mereka punya urusan berdua?” sembur Harry berang. ”Apa yang dilakukannya di sini?”

”Berusaha menyelinap ke ruang sidang, kalau kau bertanya kepadaku,” kata Mr Weasley, tampak sangat gelisah dan menoleh ke kanan dan ke kiri seakan memastikan tak ada yang mendengar mereka. ”Berusaha mencari tahu apakah kau dikeluarkan atau tidak. Aku akan meninggalkan pesan kepada Dumbledore saat mengantarmu nanti, dia harus tahu Malfoy bicara dengan Fudge lagi.”

”Mereka punya urusan pribadi apa sih?”

”Emas, kukira,” kata Mr Weasley berang. ”Malfoy sudah bertahun-tahun menyumbang dengan royal segala macam… menjadikannya bisa berhubungan dengan orang-orang yang tepat… lalu dia bisa minta kemudahan… menunda hukum yang dia tak ingin diberlakukan… oh, koneksi Lucius Malfoy sangat baik.”

Lift tiba; kosong hanya berisi serombongan memo yang beterbangan mengitari kepala Mr Weasley ketika dia menekan tombol Atrium dan pintu berdentang menutup. Dia melambai, mengusir mereka dengan jengkel.

”Mr Weasley,” kata Harry perlahan, ”kalau Fudge menemui Pelahap Maut seperti Malfoy, kalau dia menemui mereka sendirian, bagaimana kita bisa tahu mereka tidak melancarkan Kutukan Imperius terhadapnya?”

”Jangan mengira itu tidak terpikir oleh kami, Harry,” kata Mr Weasley pelan. ”Tapi Dumbledore berpendapat Fudge bertindak menuruti kemauannya sendiri sekarang ini—yang, seperti kata Dumbledore, tidaklah begitu menenteramkan. Lebih baik tidak bicara soal itu lagi sekarang, Harry.”

Pintu menggeser terbuka dan mereka melangkah ke Atrium yang sekarang hampir kosong. Eric si satpam penyihir tersembunyi di balik Daily Prophet-nya lagi. Mereka sudah berjalan melewati air mancur keemasan sebelum Harry ingat.

”Tunggu…” katanya kepada Mr Weasley, dan sambil menarik kantong uang dari sakunya, dia berbalik menuju air mancur.

Dia mendongak menatap wajah si penyihir tampan, tetapi dari dekat menurut Harry dia tampak agak lemah dan bodoh. Si penyihir wanita menyunggingkan senyum hambar seperti peserta kontes kecantikan, dan berdasarkan pengetahuan Harry tentang goblin dan centaurus, sangatlah tidak mungkin mereka memandang manusia jenis apa pun dengan begitu memuja. Hanya sikap si peri-rumah yang seperti budak yang meyakinkan. Sambil tersenyum memikirkan apa yang akan dikatakan Hermione jika dia bisa melihat patung peri-rumah ini, Harry menuang isi kantong uangnya, tidak hanya sepuluh Galleon, melainkan seluruh isinya, ke dalam kolam.

”Aku sudah tahu!” teriak Ron, meninju udara. ”Kau selalu bisa meloloskan diri!”

”Mereka harus membebaskanmu,” kata Hermione, yang tampak nyaris pingsan saking cemasnya ketika Harry memasuki dapur tadi, dan sekarang menutup matanya dengan tangan gemetar, ”tak ada yang bisa dituduhkan kepadamu, sama sekali tak ada.”

”Tapi semua orang tampaknya begitu lega, mengingat kalian semua sudah tahu aku akan bebas,” kata Harry, tersenyum.

Mrs Weasley menyeka wajahnya dengan celemeknya, dan Fred, George, dan Ginny menarikan semacam tarian perang sambil menyanyikan, ”Dia bebas, dia bebas, dia bebas…”

”Sudah cukup! Berhentilah!” teriak Mr Weasley, meskipun dia juga tersenyum. ”Dengar, Sirius, Lucius Malfoy ada di Kementerian…”

”Apa?” tanya Sirius tajam.

”Dia bebas, dia bebas, dia bebas…”

”Diam, kalian bertiga! Ya, kami melihatnya bicara dengan Fudge di Tingkat Sembilan, kemudian mereka bersama-sama naik ke kantor Fudge. Dumbledore harus tahu.”

”Jelas,” kata Sirius. ”Kami akan memberitahunya, jangan khawatir.”

”Nah, sebaiknya aku berangkat, ada kloset muntah yang menungguku di Bethnal Green. Molly, aku pulang telat, aku menggantikan Tonks, tapi Kingsley mungkin mampir untuk makan malam…”

”Dia bebas, dia bebas, dia bebas…”

”Sudah cukup—Fred—George—Ginny!” teriak Mrs Weasley, sementara Mr Weasley meninggalkan dapur. ”Harry sayang, duduk sini, makanlah, kau nyaris tak makan tadi pagi.”

Ron dan Hermione duduk di seberangnya, tampak lebih gembira daripada selama ini sejak Harry tiba di Grimmauld Place, dan rasa lega Harry yang memabukkan, yang agak dicemari oleh pertemuannya dengan Lucius Malfoy, membengkak lagi. Rumah yang suram ini tiba-tiba terasa lebih hangat dan lebih ramah; bahkan Kreacher tampak tak begitu jelek ketika dia memunculkan hidungnya yang seperti moncong ke dapur untuk mencari sumber segala keributan ini.

”Tentu saja, begitu Dumbledore muncul di sebelahmu, tak mungkin mereka menghukummu,” kata Ron riang, seraya menyendokkan kentang tumbuk banyak-banyak ke piring semua orang.

”Yeah, dia menyelamatkan aku,” kata Harry. Dia merasa kedengarannya sangat tidak berterima kasih, juga kekanak-kanakan, jika dia berkata, ”Tapi aku menyesal dia tidak bicara denganku. Atau paling tidak memandangku.”

Dan saat dia berpikir begitu, bekas luka di dahinya terasa sangat panas terbakar sehingga dia menekankan tangannya ke tempat itu.

”Kenapa?” tanya Hermione, tampak khawatir.

”Bekas luka,” gumam Harry. ”Tapi tak apa-apa… terus-menerus sakit sekarang….”

Yang lain tak ada yang memperhatikan. Semua asyik makan, merasa senang atas lolosnya Harry dari lubang jarum. Fred, George, dan Ginny masih menyanyi. Hermione tampak agak cemas, tetapi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Ron sudah berkata girang, ”Pasti Dumbledore datang malam ini, untuk merayakannya bersama kita.”

”Kurasa dia tak akan sempat, Ron,” kata Mrs Weasley, meletakkan sepiring besar ayam panggang di depan Harry. ”Dia benar-benar sibuk sekali saat ini.”

”DIA BEBAS, DIA BEBAS, DIA BEBAS…”

”DIAM!” raung Mrs Weasley.

Selama beberapa hari berikutnya Harry mau tak mau memperhatikan bahwa ada satu orang di Grimmauld Place nomor dua belas, yang tidak sepenuhnya gembira dia akan kembali ke Hogwarts. Sirius telah sangat berhasil berpura-pura bahagia ketika pertama kali mendengar berita ini, meremas tangan Harry dan berseri-seri seperti yang lain. Akan tetapi, tak lama kemudian dia lebih murung dan berwajah lebih masam daripada sebelumnya, lebih jarang berbicara dengan orang-orang, bahkan dengan Harry, dan semakin banyak menghabiskan waktu mengurung diri di dalam kamar ibunya bersama Buckbeak.

”Jangan merasa bersalah!” kata Hermione tegas, setelah Harry mencurahkan sebagian perasaan hatinya kepadanya dan Ron sementara mereka menggosok lemari berjamur di lantai tiga beberapa hari kemudian. ”Kau harus kembali ke Hogwarts dan Sirius tahu itu. Aku pribadi menganggapnya egois.”

”Ucapanmu terlalu keras, Hermione,” kritik Ron, mengernyit selagi dia berusaha melepas jamur yang menempelkan diri lekat-lekat ke jarinya, ”kau tentunya tak mau terkurung di rumah ini tanpa teman.”

”Dia akan punya teman!” bantah Hermione. ”Ini Markas Besar Orde, kan? Dia telanjur berharap Harry akan tinggal di sini bersamanya.”

”Kurasa itu tidak benar,” kata Harry, memeras kain lapnya. ”Dia tak langsung mengiyakan ketika aku bertanya apa aku boleh tinggal di sini.”

”Dia tak mau melambungkan harapannya terlalu tinggi,” kata Hermione bijaksana. ”Dan dia mungkin merasa agak bersalah, karena kurasa sebagian dari dirinya benar-benar berharap kau dikeluarkan. Kemudian kalian berdua akan sama-sama jadi orang buangan.”

”Jangan ngaco!” sergah Harry dan Ron bersamaan, tetapi Hermione hanya mengangkat bahu.

”Terserah kalian. Tapi aku kadang-kadang berpikir ibu Ron benar, Sirius bingung apakah kau ini dirimu atau ayahmu, Harry.”

”Jadi menurutmu dia agak sinting?” tanya Harry panas.

”Tidak, aku cuma berpendapat dia sudah terlalu lama sangat kesepian,” jawab Hermione apa adanya.

Saat itu Mrs Weasley memasuki ruangan.

”Belum selesai?” katanya, melongokkan kepala ke dalam lemari.

”Kupikir Mum datang untuk menyuruh kami beristirahat!” keluh Ron getir. ”Tahukah Mum berapa banyak jamur yang harus kami bersihkan sejak kami tiba di sini?”

”Kalian kan sangat ingin membantu Orde,” Mrs Weasley mengingatkan, ”kalian bisa menjalankan bagian kalian dengan membuat Markas Besar ini layak dihuni.”

”Aku merasa seperti peri-rumah,” gerutu Ron.

”Nah, sekarang setelah memahami betapa sengsara hidup mereka, mungkin kau mau sedikit lebih aktif di SPEW!” kata Hermione penuh harap, ketika Mrs Weasley meninggalkan mereka. ”Mungkin bukan ide buruk menunjukkan kepada orang-orang betapa sengsaranya kalau kita harus bersih-bersih sepanjang waktu—kita bisa melakukan pembersihan bersponsor di ruang rekreasi Gryffindor, semua penghasilannya untuk SPEW, ini sekaligus bisa meningkatkan kesadaran dan menggalang dana.”

”Aku akan memberi sponsor supaya kau tutup mulut soal SPEW,” gumam Ron jengkel, tetapi pelan sehingga hanya Harry yang bisa mendengarnya.

Semakin dekat akhir liburan, Harry semakin sering melamunkan Hogwarts. Dia sudah tak sabar ingin bertemu Hagrid lagi, bermain Quidditch, bahkan berjalan-jalan di antara petak sayuran di rumah-rumah kaca Herbologi. Sungguh lega meninggalkan rumah yang berdebu dan berbau apak ini, yang separo lemari-lemarinya masih terkunci rapat dan Kreacher mendengungkan caci-maki dari tempat terlindung saat kau lewat. Meskipun demikian, Harry berhati-hati agar semua ini tidak terdengar Sirius.

Kenyataannya adalah, tinggal di Markas Besar gerakan anti-Voldemort tidaklah semenarik dan seseru yang dibayangkannya sebelum dia mengalaminya sendiri. Meskipun anggota-anggota Orde Phoenix datang dan pergi secara rutin, kadang-kadang tinggal untuk makan, kadang-kadang hanya berbisik-bisik selama beberapa menit, Mrs Weasley memastikan semua itu tidak terdengar telinga mereka (baik yang normal maupun yang Terjulur) dan tak seorang pun—bahkan Sirius juga—yang merasa bahwa Harry perlu tahu lebih banyak daripada yang telah didengarnya pada malam kedatangannya.

Pada hari terakhir liburan, Harry sedang menyapu kotoran Hedwig dari atas lemari pakaian ketika Ron masuk kamar membawa dua amplop.

”Daftar buku sudah datang,” katanya, melempar satu amplop kepada Harry, yang berdiri di atas kursi. ”Memang sudah waktunya, kupikir mereka lupa, biasanya tiba jauh lebih awal….”

Harry menyapu sisa kotoran terakhir ke dalam kantong sampah dan melemparkan kantong itu melewati kepala Ron ke keranjang sampah di sudut, yang menelannya dan bersendawa keras. Dia kemudian membuka amplopnya. Isinya dua lembar perkamen; yang satu surat pemberitahuan biasa bahwa tahun ajaran baru dimulai pada tanggal satu September, satunya lagi memberitahu buku yang diperlukannya untuk tahun ajaran mendatang.

”Cuma dua buku baru,” katanya, membaca daftarnya. ”Kitab Mantra Standar, Tingkat 5, oleh Miranda Goshawk, dan Teori Pertahanan Sihir, oleh Wilbert Slinkhard.”

Dar!

Fred dan George ber-Apparate di sebelah Harry. Dia sudah terbiasa menyaksikan mereka melakukannya sekarang, sehingga dia bahkan tak terjatuh dari kursinya.

”Kami bertanya-tanya siapa yang memilih buku Slinkhard,” kata Fred sambil lalu.

”Karena itu berarti Dumbledore sudah menemukan guru baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam,” kata George.

”Dan sudah waktunya juga,” kata Fred.

”Apa maksud kalian?” Harry bertanya, melompat turun ke sebelah mereka.

”Yah, kami mendengar Mum dan Dad bicara lewat Telinga Terjulur beberapa minggu lalu,” Fred memberitahu Harry, ”dan dari apa yang mereka katakan, Dumbledore benar-benar kesulitan mendapatkan orang yang mau mengajar mata pelajaran itu tahun ini.”

”Tidak aneh kan, mengingat apa yang terjadi pada empat guru Pertahanan sebelumnya?” komentar George.

”Satu dipecat, satu mati, satu kehilangan ingatan, dan satu terkunci dalam peti selama sembilan bulan,” jelas Harry, menghitung mereka dengan jarinya. ”Yeah, aku paham maksudmu.”

”Kenapa kau, Ron?” tanya Fred.

Ron tidak menjawab. Harry berpaling. Ron berdiri diam dengan mulut sedikit terbuka, ternganga memandang surat dari Hogwarts.

”Ada apa?” tanya Fred tak sabar, bergerak ke belakang Ron untuk ikut melihat perkamen dari balik bahunya.

Mulut Fred ikut ternganga juga.

”Prefek?” katanya, menatap surat tak percaya. ”Prefek?”

George melompat maju, menyambar amplop di tangan Ron yang lain dan membalikkannya. Harry melihat sesuatu berwarna merah tua dan keemasan jatuh ke telapak tangan George.

”No way,” kata George dengan suara pelan.

”Pasti ada kekeliruan,” kata Fred, menyambar surat yang dipegang Ron dan menerawangnya di lampu seakan memeriksa kalau-kalau ada bekas airnya. ”Tak ada orang waras yang akan mengangkat Ron menjadi Prefek.”

Kepala si kembar menoleh bersamaan dan keduanya memandang Harry.

”Kami pikir kau pasti jadi Prefek!” kata Fred, dengan nada menuduh seakan Harry telah mempermainkan mereka.

”Kami pikir Dumbledore pasti memilihmu!” tukas George marah.

”Kau memenangkan Triwizard dan segalanya itu!” seru Fred.

”Kurasa semua hal gila-gilaan itu malah merugikannya,” kata George kepada Fred.

”Yah,” ujar Fred perlahan. ”Yah, kau telah menimbulkan terlalu banyak kesulitan, sobat. Nah, paling tidak salah satu dari kalian punya prioritas yang benar.”

Dia melangkah mendekati Harry dan menepuk punggungnya seraya melempar pandang mengejek kepada Ron.

Prefek… si Ronnie jadi Prefek.”

”Oh, Mum pasti jadi menyebalkan nanti,” ratap George, mengulurkan kembali lencana Prefek kepada Ron, seakan lencana itu bisa mencemari tangannya.

Ron, yang masih belum berkata apa-apa, mengambil lencana itu, memandangnya beberapa saat, kemudian mengulurkannya tanpa kata pada Harry seakan minta konfirmasi apakah ini asli. Harry mengambilnya. Huruf timbul ”P” besar terpampang di atas singa Gryffindor. Dia telah melihat lencana persis seperti ini di dada Percy pada hari pertamanya di Hogwarts.

Pintu menjeblak terbuka. Hermione menyerbu masuk, pipinya merah dan rambutnya terburai-burai. Ada amplop di tangannya.

”Apakah kau—apakah kau menerima…?”

Dia melihat lencana di tangan Harry dan menjerit.

”Sudah kuduga!” katanya bergairah, melambai-lambaikan suratnya. ”Aku juga, Harry, aku juga!”

”Tidak,” kata Harry cepat-cepat, mengembalikan lencana ke tangan Ron. ”Ron, bukan aku.”

”A-apa?”

”Ron yang Prefek, bukan aku,” kata Harry.

Ron?” tanya Hermione, mulutnya terbuka. ”Tapi… kau yakin? Maksudku…?”

Wajahnya berubah merah ketika Ron berpaling kepadanya dengan ekspresi menantang.

”Namaku yang ada di surat,” katanya.

”Aku…” desah Hermione, tampak bingung sekali. ”Aku… yah… wow! Bagus sekali, Ron! Sungguh…”

”Tak terduga,” sambung George, mengangguk.

”Bukan,” kata Hermione, wajahnya semakin merah, ”bukan itu… Ron telah melakukan banyak… dia benar-benar…”

Pintu di belakang Hermione menguak lebih lebar dan Mrs Weasley berjalan mundur, masuk membawa setumpuk jubah yang baru disetrika.

”Kata Ginny daftar buku sudah datang akhirnya,” katanya, mengerling memandang amplop-amplop sambil berjalan ke tempat tidur dan mulai memisahkan jubah-jubah menjadi dua tumpukan. ”Kalau kalian berikan padaku, aku akan membawanya ke Diagon Alley sore ini dan membelikan buku kalian sementara kalian mengepak koper. Ron, aku harus membelikan piama baru untukmu, yang ini kependekan paling tidak lima belas senti. Sulit dipercaya kau cepat sekali bertambah tinggi… kau mau warna apa?”

”Belikan piama merah dan keemasan supaya serasi dengan lencananya,” kata George, menyeringai.

”Serasi dengan apanya?” kata Mrs Weasley sambil lalu, menggulung sepasang kaus kaki merah tua dan meletakkannya di atas tumpukan pakaian Ron.

Lencananya,” ulang Fred, dengan gaya seolah cepat-cepat menyelesaikan sesuatu yang paling tidak menyenangkan. ”Lencana Prefek-nya yang bagus, baru, berkilau.”

Perlu beberapa saat sebelum kata-kata Fred menembus pikiran Mrs Weasley yang masih disibukkan dengan piama.

”Len… tapi… Ron, kau tidak…?”

Ron mengacungkan lencananya.

Mrs Weasley menjerit seperti Hermione.

”Aku tak percaya! Aku tak percaya! Oh, Ron, sungguh menyenangkan! Prefek! Seperti semua anak dalam keluarga kita!”

”Fred dan aku apa dong kalau begitu? Tetangga?” tukas George jengkel, ketika ibunya mendorongnya minggir dan memeluk putranya yang terkecil.

”Tunggu sampai ayahmu dengar! Ron, aku bangga sekali padamu, sungguh kabar menyenangkan, kau bisa jadi Ketua Murid seperti Bill dan Percy, ini langkah pertama! Oh, betapa menyenangkan terjadi di tengah segala kecemasan ini, aku gembira sekali, oh, Ronnie…”

Fred dan George membuat suara seperti orang muntah di belakangnya, tetapi Mrs Weasley tidak memper hatikan; lengannya terkalung erat di leher Ron, dia menciumi wajah Ron, yang sudah berubah lebih merah daripada lencananya.

”Mum… jangan… Mum, sudah…” Ron bergumam, berusaha mendorongnya.

Mrs Weasley melepasnya dan berkata terengah, ”Nah, apa ya? Kami memberi Percy burung hantu, tapi kau sudah punya, tentu saja.”

”A-apa maksud Mum?” tanya Ron, seakan tak berani mempercayai telinganya.

”Kau harus mendapat hadiah untuk ini!” seru Mrs Weasley penuh sayang. ”Bagaimana kalau satu setel jubah resmi baru?”

”Kami sudah membelikannya beberapa,” kata Fred masam, tampaknya seakan dia menyesali kemurahhatian ini.

”Atau kuali baru, kuali bekas Charlie sudah berkarat, atau tikus baru, kau kan sayang sekali pada Scabbers…”

”Mum,” kata Ron penuh harap, ”boleh aku minta sapu baru?”

Keceriaan di wajah Mrs Weasley berkurang sedikit. Sapu mahal harganya.

”Tak usah yang bagus sekali!” Ron buru-buru menambahkan. ”Yang penting… yang penting baru, sekali-sekali.”

Mrs Weasley bimbang, kemudian tersenyum.

”Tentu saja boleh… nah, lebih baik aku berangkat sekarang kalau aku harus membeli sapu juga. Sampai nanti, anak-anak… si kecil Ronnie jadi Prefek! Dan jangan lupa mengepak koper kalian… Prefek… oh, aku akan sibuk sekali!”

Sekali lagi dia mencium pipi Ron, menyedot hidung keras-keras, dan bergegas meninggalkan kamar.

Fred dan George bertukar pandang.

”Kau tak keberatan kalau kami tidak menciummu, kan, Ron?” kata Fred dengan suara cemas dibuat-buat.

”Kami bisa membungkuk memberi hormat, kalau kau mau,” lanjut George.

”Oh, tutup mulut,” bentak Ron, memandang marah mereka.

”Kalau tidak, kenapa?” kata Fred, seringai jail menghiasi wajahnya. ”Memberikan detensi kepada kami?”

”Coba saja, aku mau lihat,” George terkikik.

”Dia bisa menjatuhkan detensi kalau kalian tidak hati-hati!” kata Hermione marah.

Fred dan George tertawa terbahak dan Ron bergumam, ”Sudahlah, Hermione.”

”Kita harus hati-hati bertindak sekarang, George,” kata Fred, berpura-pura gemetar, ”diawasi oleh dua anak ini…”

”Yeah, kelihatannya hari-hari pelanggaran-peraturan kita sudah berakhir,” kata George, menggelengkan kepala.

Dan dengan bunyi dar keras, si kembar ber-Disapparate.

”Dua anak itu!” seru Hermione berang, mendongak menatap langit-langit, dari mana mereka bisa mendengar Fred dan George terbahak-bahak di kamar atas. ”Jangan pedulikan mereka, Ron, mereka cuma iri!”

”Kurasa tidak,” kata Ron meragukan, juga memandang langit-langit. ”Mereka selalu berkata, hanya orang bego yang jadi Prefek… tapi,” dia menambahkan dengan nada lebih riang, ”mereka belum pernah punya sapu baru! Sayang aku tak bisa ikut Mum untuk memilih sendiri… dia tak akan sanggup membeli Nimbus, tapi ada Cleansweep—alias Sapu Bersih—model terbaru yang baru keluar, bagus kalau bisa dapat ini… yeah, kurasa aku akan menyusul dan memberitahunya bahwa aku suka Cleansweep, supaya dia tahu…”

Ron bergegas meninggalkan kamar, meninggalkan Harry dan Hermione berdua saja.

Entah kenapa, Harry tidak ingin memandang Hermione. Dia berbalik ke tempat tidurnya, mengambil tumpukan jubah bersih yang tadi diletakkan Mrs Weasley, dan menyeberang ruangan menuju kopernya.

”Harry?” kata Hermione takut-takut.

”Bagus, Hermione,” puji Harry, begitu bersungguh-sungguh sehingga kedengarannya seperti bukan suaranya, dan dia masih belum memandang gadis itu, ”brilian. Prefek. Hebat.”

”Terima kasih,” kata Hermione. ”Ehm—Harry—boleh aku pinjam Hedwig supaya aku bisa memberitahu Mum dan Dad? Mereka pasti akan senang—maksudku, Prefek adalah sesuatu yang bisa mereka pahami.”

”Yeah, boleh saja,” kata Harry, masih dengan suara aneh yang bukan suaranya. ”Pakai saja!”

Dia membungkuk di atas kopernya, meletakkan jubah-jubah itu di dasar koper dan berpura-pura mencari sesuatu sementara Hermione berjalan ke lemari pakaian dan memanggil turun Hedwig. Beberapa saat berlalu, Harry mendengar pintu tertutup tetapi tetap membungkuk, mendengarkan. Satu-satunya suara yang bisa didengarnya adalah lukisan kosong di dinding yang terkikik lagi dan keranjang sampah di sudut yang tersedak kotoran burung hantu.

Harry menegakkan diri dan menoleh ke belakang. Hermione sudah pergi dan Hedwig tak ada. Harry perlahan kembali ke tempat tidurnya dan duduk, memandang kaki lemari pakaiannya dengan tatapan kosong.

Dia lupa sama sekali bahwa Prefek dipilih pada tahun kelima. Dia sangat mencemaskan kemungkinan dia dikeluarkan sampai tak sempat memikirkan fakta bahwa lencana pastilah sedang beterbangan ke orang-orang tertentu. Tetapi seandainya dia ingat… seandainya dia memikirkannya… apa yang diharapkannya?

Bukan ini, kata suara kecil dan jujur dalam kepalanya.

Harry mengerutkan wajah dan membenamkannya dalam tangannya. Dia tak bisa berbohong kepada dirinya sendiri; seandainya dia tahu lencana Prefek sedang dalam perjalanan, dia akan mengharapkan lencana itu datang kepadanya, bukan kepada Ron. Apakah ini menjadikannya sama sombongnya seperti Draco Malfoy? Apakah dia menganggap dirinya lebih hebat daripada anak lain? Apakah dia benar-benar percaya bahwa dirinya lebih baik daripada Ron?

Tidak, kata suara kecil dengan nada menantang.

Betulkah itu? Harry membatin, dengan cemas memeriksa perasaannya sendiri.

Aku lebih baik dalam bermain Quidditch, kata suara itu. Tetapi aku tidak lebih baik dalam hal lain.

Itu benar, pikir Harry, dia tak lebih baik daripada Ron dalam pelajaran. Tetapi bagaimana dengan di luar pelajaran? Bagaimana dengan petualangan-petualangan yang dialaminya bersama Ron dan Hermione sejak pertama menjadi murid Hogwarts, yang kadang-kadang risikonya lebih buruk daripada sekadar dikeluarkan dari sekolah?

Ron dan Hermione bersamaku dalam sebagian besar petualangan, kata suara dalam kepala Harry.

Tetapi tidak dalam semua kejadian, Harry membantah dirinya sendiri. Mereka tidak ikut melawan Quirrell bersamaku. Mereka tidak menghadapi Riddle dan Basilisk. Mereka tidak mengusir semua Dementor itu pada malam Sirius melarikan diri. Mereka tidak berada di makam bersamaku, pada malam Voldemort kembali….

Dan perasaan diperlakukan tak adil yang melandanya pada malam dia tiba di sini, kini muncul lagi. Aku jelas telah berbuat lebih banyak, pikir Harry marah. Aku telah berbuat lebih dibanding mereka berdua!

Tetapi mungkin, kata suara kecil itu adil, mungkin Dumbledore tidak memilih seseorang menjadi Prefek karena mereka telah melibatkan diri dalam banyak situasi berbahaya… mungkin dia memilih mereka karena alasan lain… Ron pastilah punya sesuatu yang kau tak punya….

Harry membuka mata dan memandang kaki lemari berbentuk cakar melalui sela-sela jarinya, teringat apa yang tadi dikatakan Fred, ”Tak ada orang waras yang akan mengangkat Ron menjadi Prefek…”

Harry mendengus tertawa. Sedetik kemudian dia merasa sebal dengan dirinya.

Ron tidak meminta Dumbledore agar memberinya lencana Prefek. Ini bukan salah Ron. Apakah dia, Harry, sahabat terbaik Ron di dunia, akan bersungut-sungut karena dia tak punya lencana, menertawakannya bersama si kembar di belakang punggung Ron, merusak kebahagiaan Ron ketika untuk pertama kalinya dia mengalahkan Harry dalam suatu bidang?

Pada saat itu Harry mendengar langkah-langkah Ron di tangga lagi. Dia bangkit berdiri, meluruskan kacamatanya, dan memasang seringai di wajahnya ketika Ron masuk.

”Berhasil mengejarnya sebelum berangkat!” katanya girang. ”Mum bilang dia akan membeli Cleansweep kalau bisa.”

”Cool,” sambut Harry, dan dia lega mendengar suaranya sudah tidak aneh lagi. ”Dengar—Ron—hebat sekali, sobat.”

Senyum memudar di wajah Ron.

”Tak pernah terpikir bahwa aku akan terpilih!” katanya, menggelengkan kepala. ”Kupikir pasti kau!”

”Tidak, aku sudah menimbulkan terlalu banyak masalah,” Harry berkata, menirukan Fred.

”Yeah,” kata Ron, ”yeah, kurasa… yah, lebih baik kita mulai mengepak koper kita, kan?”

Sungguh aneh betapa barang-barang mereka seolah menebarkan diri ke mana-mana sejak mereka tiba. Mereka menghabiskan hampir sepanjang sore untuk mengambil buku-buku dan barang-barang mereka dari berbagai tempat di rumah dan memasukkannya kembali ke koper sekolah. Harry memperhatikan bahwa Ron tak hentinya memindahkan lencana Prefek-nya. Mula-mula lencana itu ditaruhnya di meja di sebelah tempat tidur, kemudian dimasukkan ke saku celana jinsnya, kemudian dikeluarkan lagi dan diletakkan di atas lipatan jubahnya, seakan ingin melihat warna merahnya di atas warna hitam. Baru setelah Fred dan George datang dan menawarkan untuk menempelkannya di dahinya dengan Mantra Perekat Permanen, dia membungkusnya dengan hati-hati dalam kaus kaki merahnya dan menguncinya di dalam kopernya.

Mrs Weasley pulang dari Diagon Alley sekitar pukul enam, membawa setumpuk buku dan menenteng bungkusan panjang kertas cokelat tebal yang langsung diambil Ron dengan keluhan penuh kerinduan.

”Jangan dibuka sekarang, orang-orang sudah datang untuk makan malam, aku ingin kalian semua ke bawah,” kata Mrs Weasley, tetapi begitu dia berlalu, Ron merobek kertas bungkusnya dengan membabi buta dan mengamati setiap senti sapu barunya, wajahnya luar biasa bahagia.

Di dapur bawah tanah Mrs Weasley telah memasang spanduk merah di atas meja makan yang dipenuhi makanan berlimpah, dengan tulisan:

SELAMAT

RON DAN HERMIONE

PREFEK BARU

Suasana hati Mrs Weasley tampak lebih baik daripada yang pernah dilihat Harry sepanjang liburan ini.

”Kupikir kita sebaiknya mengadakan pesta kecil, dan tidak duduk di sekitar meja seperti biasanya,” dia memberitahu Harry, Ron, Hermione, Fred, George, dan Ginny ketika mereka memasuki ruangan. ”Ayahmu dan Bill sedang dalam perjalanan ke sini, Ron. Aku sudah mengirim burung hantu kepada mereka berdua, dan mereka senang sekali,” dia menambahkan, wajahnya berseri-seri.

Fred membelalakkan mata.

Sirius, Lupin, Tonks, dan Kingsley Shacklebolt sudah berada di sana dan Mad-Eye Moody berjalan timpang, muncul tak lama setelah Harry mengambil Butterbeer untuk dirinya sendiri.

”Oh, Alastor, aku senang kau datang,” sambut Mrs Weasley gembira, ketika Mad-Eye membuka mantel perjalanannya. ”Kami sudah lama ingin minta bantuanmu—bisakah kau memeriksa meja tulis di ruang keluarga dan memberitahu kami apa yang ada di dalamnya? Kami belum membukanya, siapa tahu isinya sesuatu yang tidak menyenangkan.”

”Tak masalah, Molly….”

Mata biru-elektrik Moody berputar ke atas dan menatap tajam menembus langit-langit dapur.

”Ruang keluarga…” katanya menggeram, ketika pupil matanya berkontraksi. ”Meja di sudut? Yeah, aku melihatnya… yeah, isinya Boggart… kau ingin aku naik dan mengusirnya, Molly?”

”Tidak, tidak, biar kuusir sendiri nanti,” senyum Mrs Weasley, ”kau minum saja dulu. Kami mengadakan pesta kecil…” Dia menunjuk ke spanduk merah. ”Prefek keempat dalam keluarga!” katanya penuh sayang sambil mengacak rambut Ron.

”Prefek, eh?” geram Moody, matanya yang normal menatap Ron sementara mata sihirnya berputar untuk menatap ke samping kepalanya. Perasaan tak nyaman mengalir dalam diri Harry, merasakan mata itu tengah memandangnya, dan dia bergerak ke arah Sirius dan Lupin.

”Yah, selamat kalau begitu,” ucap Moody, masih memandang Ron dengan matanya yang normal, ”tokoh-tokoh yang berkuasa biasanya selalu didatangi masalah, tapi kukira Dumbledore menilaimu bisa bertahan terhadap sebagian besar mantra jahat, kalau tidak tentu dia tidak akan menunjukmu….”

Ron tampak agak terkejut mendengar cara pandang persoalan ini, tetapi diselamatkan dari kewajiban menjawab oleh kedatangan ayah dan kakak sulungnya. Mrs Weasley sedang gembira sehingga dia bahkan tidak mengeluh mereka membawa serta Mundungus. Mundungus memakai mantel panjang yang tampak berbenjol-benjol aneh di tempat-tempat yang tidak biasa dan menolak ketika dipersilakan membuka mantelnya dan menaruhnya bersama mantel perjalanan Moody.

”Nah, kurasa kita perlu bersulang,” kata Mr Weasley, ketika semua sudah memegang minuman. Dia mengangkat pialanya. ”Untuk Ron dan Hermione, Prefek baru Gryffindor!”

Ron dan Hermione tersenyum ketika semua minum untuk mereka, dan kemudian bertepuk tangan.

”Aku sendiri belum pernah jadi Prefek,” kata Tonks ceria dari belakang Harry ketika semua bergerak ke meja untuk mengambil makanan. Hari ini rambutnya berwarna merah-tomat dan panjang sampai ke pinggang; dia tampak seperti kakak Ginny. ”Kepala asramaku berkata aku tak memiliki kualitas-kualitas tertentu yang diperlukan.”

”Apa misalnya?” tanya Ginny, yang memilih kentang panggang.

”Misalnya kemampuan bersikap baik,” kata Tonks.

Ginny tertawa. Hermione tampaknya tak tahu dia harus tersenyum atau tidak dan memilih meneguk Butter-beer-nya banyak-banyak, dan langsung tersedak.

”Bagaimana dengan kau, Sirius?” Ginny bertanya, seraya menepuk-nepuk punggung Hermione.

Sirius, yang berdiri tepat di sebelah Harry, mengeluarkan tawanya yang mirip gonggongan.

”Tak ada yang akan memilihku sebagai Prefek, aku menghabiskan terlalu banyak waktu didetensi bersama James. Lupin-lah si anak baik, dia yang mendapat lencana.”

”Kurasa Dumbledore mungkin berharap aku bisa mengendalikan sahabat-sahabatku,” kata Lupin. ”Tak perlu kukatakan bahwa aku gagal total.”

Kemurungan Harry mendadak sirna. Ayahnya juga bukan Prefek. Tiba-tiba saja pesta ini rasanya lebih menyenangkan. Dia mengambil makanan banyak-banyak, merasa dua kali lebih menyukai orang-orang dalam ruangan itu.

Ron sedang memuji-muji sapu barunya kepada siapa saja yang mau mendengarkan.

”…nol sampai tujuh puluh dalam waktu sepuluh detik, tidak buruk, kan? Apalagi kalau mengingat Comet Two Ninety hanya nol sampai enam puluh dan itu pun harus cukup mendapat dorongan angin dari belakang, seperti dikatakan buku Sapu yang Mana?”

Hermione sedang bicara penuh semangat kepada Lupin tentang pandangannya terhadap hak-hak asasi peri-rumah.

”Maksudku, ini sama omong kosongnya dengan segregasi manusia serigala, kan? Semuanya berakar dari pemikiran menyebalkan para penyihir yang menganggap mereka lebih hebat daripada makhluk-makhluk lain…”

Mrs Weasley dan Bill seperti biasa sedang adu argumen soal rambut Bill.

”…benar-benar tak dapat dikendalikan, dan kau begitu tampan, akan jauh lebih baik kalau pendek, iya kan, Harry?”

”Oh… entahlah…” kata Harry, agak kaget dimintai pendapat. Dia menyelinap menjauh dari mereka, menghampiri Fred dan George yang berkerumun di sudut bersama Mundungus.

Mundungus berhenti bicara ketika melihat Harry, tetapi Fred mengedip dan memberi isyarat agar Harry mendekat.

”Tidak apa-apa,” dia berkata kepada Mundungus, ”kita bisa mempercayai Harry, dia pendukung finansial kami.”

”Lihat apa yang dibawakan Dung untuk kami,” kata George, mengulurkan tangannya ke arah Harry, yang penuh sesuatu yang tampak seperti kacang polong hitam yang sudah kisut. Bunyi derik samar terdengar dari kacang polong hitam itu, meskipun mereka sama sekali tak bergerak.

”Biji Tentakula Berbisa,” kata George. ”Kami memerlukannya untuk Kudapan Kabur, tetapi ini termasuk Barang Tak-Diperjualbelikan Kelas C, jadi kami kesulitan mendapatkannya.”

”Sepuluh Galleon semuanya, kalau begitu, Dung?” Fred menawar.

”Dengan segala kesulitan yang kualami untuk mendapatkannya?” kata Mundungus, mata merahnya yang berkantong melebar. ”Maaf, anak-anak, tapi aku tak bisa menerima kurang dari dua puluh, kurang satu Knut pun tidak.”

”Dung ini suka bergurau,” Fred berkata kepada Harry.

”Yeah, penawaran terbaiknya sejauh ini adalah enam Sickle untuk sekantong pena-bulu Knarl,” kata George.

”Hati-hati,” Harry pelan memperingatkan mereka.

”Apa?” kata Fred. ”Mum sedang sibuk mengurus Prefek Ron, kami aman.”

”Tapi Moody bisa saja sedang memandangmu,” Harry menjelaskan.

Mundungus menoleh gelisah.

”Betul juga,” gerutunya. ”Baiklah, anak-anak, sepuluh, kalau kalian ambil cepat-cepat.”

”Cheers, Harry!” kata Fred girang, ketika Mundungus telah mengosongkan saku-sakunya ke tangan si kembar yang terjulur dan berjalan dengan kaki terseret ke meja makan. ”Lebih baik kami bawa ke atas….”

Harry memandang mereka pergi, merasa agak gelisah. Baru saja terpikir olehnya bahwa Mr dan Mrs Weasley tentu ingin tahu bagaimana Fred dan George memodali toko lelucon itu begitu mereka tahu tentangnya. Toh suatu hari toko itu pasti akan terungkap. Memberikan hadiah Triwizard-nya kepada si kembar waktu itu terasa sederhana saja, tetapi bagaimana kalau nantinya mengakibatkan pertengkaran keluarga dan pemutusan hubungan seperti yang terjadi pada Percy? Apakah Mrs Weasley masih akan menganggapnya sebagai anak sendiri kalau dia tahu Harry-lah yang menyebabkan Fred dan George bisa memulai karier yang dianggapnya tak cocok bagi mereka?

Masih berdiri di tempat si kembar meninggalkannya, hanya ditemani perasaan bersalah, Harry mendengar namanya disebut. Suara dalam Kingsley Shacklebolt terdengar jelas, bahkan di antara ramainya obrolan di sekitarnya.

”…kenapa Dumbledore tidak mengangkat Potter sebagai Prefek?” tanya Kingsley.

”Dia pasti punya alasan,” jawab Lupin.

”Tapi itu akan membuatnya percaya diri. Kalau aku, itu yang akan kulakukan,” Kingsley bertahan, ”apalagi dengan Daily Prophet mengolok-oloknya tiap beberapa hari sekali….”

Harry tidak menoleh, dia tak ingin Lupin atau Kingsley tahu dia mendengar percakapan mereka. Meskipun sama sekali tidak lapar, dia mengikuti Mundungus kembali ke meja makan. Kegembiraannya di pesta ini telah menguap sama cepatnya dengan kedatangannya. Dia ingin sekali berada di tempat tidurnya di atas.

Mad-Eye Moody sedang mengendus-endus kaki ayam dengan sisa hidungnya. Rupanya dia tak mendeteksi adanya racun, karena kemudian dia merobek selapis dagingnya dengan giginya.

”…pegangannya terbuat dari kayu ek Spanyol dengan pernis anti-kutukan dan alat kendali getaran otomatis…” Ron sedang berkata kepada Tonks.

Mrs Weasley menguap lebar-lebar.

”Kurasa aku akan menangani Boggart itu sebelum pergi tidur… Arthur, aku tak mau anak-anak tidur terlalu malam, oke? ’Mat tidur, Harry.”

Dia meninggalkan dapur. Harry meletakkan piringnya dan bertanya-tanya dalam hati apakah dia bisa mengikuti Mrs Weasley tanpa menarik perhatian.

”Kau baik-baik saja, Potter?” gerutu Moody.

”Yeah, baik,” Harry berbohong.

Moody minum dari tempat minum di pinggulnya, mata biru-elektriknya melirik memandang Harry.

”Sini, aku punya sesuatu yang mungkin menarik untukmu,” katanya.

Dari saku dalam jubahnya dia mengeluarkan foto tua yang sudah robek-robek.

”Pelopor Orde Phoenix,” geram Moody. ”Kutemukan semalam waktu aku mencari Jubah Gaib cadanganku, mengingat Podmore tak punya sopan santun untuk mengembalikan jubahku yang terbaik… kupikir orang mungkin senang melihatnya.”

Harry mengambil foto itu. Sekelompok kecil orang, beberapa melambai kepadanya, yang lain mengangkat kacamata mereka, membalas memandangnya.

”Ini aku,” kata Moody, menunjuk dirinya sendiri. Tak perlu sebenarnya. Tak diragukan lagi memang dirinya di foto itu, meskipun uban di rambutnya lebih sedikit dan hidungnya masih utuh. ”Dan ini Dumbledore di sebelahku, Dedalus Diggle di sebelah yang lain… ini Marlene McKinnon, dia terbunuh dua minggu setelah foto ini diambil, mereka membunuh seluruh keluarganya. Ini Frank dan Alice Longbottom…”

Perut Harry, yang sejak tadi sudah tak enak, mengejang ketika melihat Alice Longbottom; dia kenal sekali wajahnya yang bulat ramah, meskipun belum pernah bertemu dengannya, karena dia persis sekali dengan putranya, Neville.

”…kasihan,” geram Moody. ”Lebih baik mati daripada mengalami apa yang terjadi pada mereka… dan ini Emmeline Vance, kau sudah bertemu dengannya, dan di sana itu Lupin, jelas… Benjy Fenwick, dia juga terbunuh, kami hanya menemukan sisa-sisa kecil tubuhnya… hei, kau minggir dulu,” dia menambahkan, menekan foto dengan jarinya, dan orang-orang kecil dalam foto itu menepi, sehingga mereka yang semula tersembunyi sebagian bisa maju ke depan.

”Ini Edgar Bones… kakak Amelia Bones, mereka juga menangkap dia dan keluarganya, dia penyihir hebat… Sturgis Podmore, astaga, dia tampak begitu belia… Caradoc Dearborn, menghilang enam bulan sesudah ini, kami tak pernah menemukan tubuhnya… Hagrid, tentu saja, tampangnya tak pernah berubah… Elphias Doge, kau sudah bertemu dengannya, aku sudah lupa dia dulu suka memakai topi bloon itu… Gideon Prewett, perlu lima Pelahap Maut untuk membunuh dia dan adiknya, Fabian, mereka melawan bagai pahlawan… minggir, minggir….”

Orang-orang kecil dalam foto itu dorong-mendorong dan mereka yang tersembunyi di belakang kini muncul di deret paling depan.

”Itu adik Dumbledore, Aberforth, hanya sekali aku bertemu dengannya, orang aneh… itu Dorcas Meadowes, Voldemort sendiri yang membunuhnya… Sirius, waktu rambutnya masih pendek… dan… ini dia, kupikir ini akan menarik bagimu!”

Jantung Harry berjungkir-balik. Ibu dan ayahnya tersenyum kepadanya, duduk di kanan-kiri laki-laki kecil bermata berair yang dikenali Harry sebagai Wormtail, orang yang mengkhianati orangtua Harry dengan membocorkan tempat keberadaan mereka kepada Voldemort, dan dengan demikian membantu membawa mereka menuju kematian.

”Eh?” kata Moody.

Harry mendongak memandang wajah Moody yang berbintik-bintik dan penuh bekas luka. Jelas Moody mengira dia baru saja memberi Harry sesuatu yang menyenangkan.

”Yeah,” kata Harry, sekali lagi berusaha tersenyum. ”Eh… saya baru ingat, saya belum mengemas…”

Dia tak perlu bersusah payah memikirkan barang yang belum dikemasnya, karena Sirius bertanya, ”Apa itu, Mad-Eye?” dan Moody berpaling kepadanya. Harry menyeberang dapur, menyelinap keluar dari pintu, dan menaiki tangga sebelum ada yang sempat menyuruhnya kembali.

Dia tak tahu kenapa foto tadi membuatnya sangat terpukul. Dia toh sudah pernah melihat foto orangtuanya, dan dia sudah bertemu Wormtail… tetapi kalau mereka mendadak disodorkan kepadanya seperti itu, saat dia sama sekali tidak menduganya… tak akan ada yang suka, pikirnya marah….

Lagi pula, melihat mereka dikelilingi wajah-wajah gembira… Benjy Fenwick, yang ditemukan sudah jadi potongan-potongan, dan Gideon Prewett, yang meninggal seperti pahlawan, dan suami-istri Longbottom, yang disiksa sampai menjadi gila… semua melambai gembira dari foto, selamanya, tak tahu bahwa mereka akan tertimpa bencana… Moody mungkin menganggapnya menarik… tapi Harry menganggap itu sangat meresahkan….

Harry berjingkat menaiki tangga, melewati kepala-kepala peri-rumah, senang bisa sendiri lagi, tetapi ketika mendekati bordes pertama, dia mendengar suara-suara. Ada yang terisak di ruang keluarga.

”Halo?” sapa Harry.

Tak ada yang menjawab, tetapi isakan terus berlanjut. Harry menaiki anak tangga yang tersisa dua-dua sekaligus, menyeberangi bordes dan membuka pintu ruang keluarga.

Sesosok tubuh gemetar ketakutan di dekat dinding yang gelap, tongkat sihir di tangannya, seluruh tubuhnya berguncang oleh isaknya. Menelentang di karpet tua berdebu disinari seberkas cahaya bulan, jelas telah mati, adalah Ron.

Semua udara seakan lenyap dari paru-paru Harry; dia merasa seakan jatuh terjeblos dari lantai; otaknya menjadi sedingin es—Ron mati, tidak, tak mungkin…

Tetapi tunggu dulu, tak mungkin—Ron ada di bawah…

”Mrs Weasley?” panggil Harry parau.

”R-r-riddikulus!” isak Mrs Weasley, mengacungkan tongkat sihirnya yang gemetar ke tubuh Ron.

Dar.

Tubuh Ron berubah menjadi Bill, menelentang, matanya terbuka lebar dan kosong. Mrs Weasley terisak semakin hebat.

”R-riddikulus!” isaknya lagi.

Dar.

Tubuh Mr Weasley menggantikan Bill, kacamatanya miring, darah mengalir di wajahnya.

”Tidak!” ratap Mrs Weasley. ”Tidak… riddikulus! Riddikulus! RIDDIKULUS!”

Dar. Si kembar yang mati. Dar. Percy mati. Dar. Harry mati….

”Mrs Weasley, cepat keluar dari sini!” teriak Harry, menatap mayatnya sendiri di lantai. ”Biar orang lain…”

”Ada apa?”

Lupin datang berlari-lari, diikuti Sirius, Moody tertimpang-timpang di belakang mereka. Lupin memandang Mrs Weasley, lalu mayat Harry di lantai dan tampaknya langsung paham. Mencabut tongkat sihirnya sendiri, dia berkata, sangat tegas dan jelas,

”Riddikulus!”

Tubuh Harry lenyap. Bola keperakan menggantung di udara, di atas tempat tubuh Harry tadi tergeletak. Lupin melambaikan tongkatnya sekali lagi dan bola perak itu lenyap membentuk gumpalan asap.

”Oh-oh-oh!” isak Mrs Weasley, dan dia menangis tersedu-sedu, wajahnya tersembunyi di tangan.

”Molly,” kata Lupin muram, berjalan mendekatinya. ”Molly, jangan…”

Detik berikutnya Mrs Weasley menangis di bahu Lupin.

”Molly, itu cuma Boggart,” katanya menenangkan, membelai-belai kepalanya. ”Cuma Boggart tolol…”

”Aku melihat mereka m-m-mati semua!” Mrs Weasley meratap ke bahu Lupin. ”M-m-mati semua! Aku terus-terusan m-m-mimpi mereka m-m-mati….”

Sirius memandang karpet, tempat si Boggart, yang berpura-pura jadi Harry, tadi terbaring. Moody memandang Harry, yang menghindari pandangannya. Dia punya perasaan aneh mata sihir Moody telah mengikutinya sejak keluar dapur.

”J-j-jangan bilang Arthur,” Mrs Weasley masih terisak, panik mengusap matanya dengan lengan jubahnya. ”Aku t-t-tak ingin dia tahu… aku bodoh sekali…”

Lupin mengulurkan saputangan dan Mrs Weasley membersit hidungnya.

”Harry, maaf. Entah apa pendapatmu tentangku,” katanya bergetar. ”Mengusir Boggart pun tak bisa…”

”Jangan bodoh,” kata Harry, berusaha tersenyum.

”Aku cemas s-s-sekali,” katanya, air matanya membanjir lagi. ”Separo k-k-keluarga ikut Orde, s-s-sungguh keajaiban kalau kami semua bisa selamat… dan P-P-Percy tidak bicara dengan kami… bagaimana kalau sesuatu yang m-m-mengerikan terjadi dan kami belum b-b-berdamai dengannya? Dan apa yang akan terjadi kalau Arthur dan aku terbunuh, siapa yang akan m-m-memelihara Ron dan Ginny?”

”Molly, sudahlah,” kata Lupin tegas. ”Ini tidak seperti dulu. Orde sudah jauh lebih siap, kita sudah menang langkah, kita tahu apa yang akan dilakukan Voldemort…”

Mrs Weasley mengeluarkan jerit ketakutan pelan mendengar nama itu.

”Oh, Molly, ayolah, sudah waktunya kau terbiasa mendengar namanya—aku tak bisa menjanjikan tak akan ada yang terluka, tak ada yang bisa menjanjikan itu, tetapi kami jauh lebih siap daripada dulu. Kau belum ikut Orde waktu itu, kau tak mengerti. Dulu kita kalah jumlah, dua puluh banding satu dengan para Pelahap Maut, dan mereka menangkapi kami satu demi satu….”

Harry teringat foto tadi lagi, mengingat orangtuanya yang berseri-seri. Dia tahu Moody masih mengawasinya.

”Jangan khawatir soal Percy,” kata Sirius tiba-tiba. ”Dia akan sadar. Tinggal tunggu waktu sebelum Voldemort bergerak terang-terangan. Begitu dia beraksi, seluruh Kementerian akan memohon agar kita memaafkan mereka. Dan aku tak yakin aku akan menerima permohonan maaf mereka,” tambahnya getir.

”Dan soal siapa yang akan memelihara Ron dan Ginny kalau kau dan Arthur meninggal,” kata Lupin, tersenyum kecil, ”kaupikir apa yang akan kami lakukan, membiarkan mereka kelaparan?”

Mrs Weasley tersenyum gemetar.

”Aku bodoh,” dia bergumam lagi, menyeka matanya.

Namun Harry, menutup pintu kamarnya sepuluh menit kemudian, tidak menganggap Mrs Weasley bodoh. Dia masih bisa melihat orangtuanya tersenyum kepadanya dari foto tua yang sudah robek-robek, tak sadar bahwa hidup mereka, seperti juga hidup banyak orang di sekitar mereka, hampir berakhir. Bayangan Boggart yang berbentuk mayat masing-masing anggota keluarga Mrs Weasley terus berkelebatan di depan matanya.

Tanpa peringatan, bekas luka di dahinya mendadak sakit sekali dan perutnya bergolak.

”Sudahlah,” katanya tegas, menggosok bekas lukanya sementara sakitnya mereda.

”Tanda pertama kegilaan, bicara kepada kepalamu,” kata suara licik lukisan kosong di dinding.

Harry tidak mengacuhkannya. Dia merasa lebih tua daripada yang pernah dirasakannya selama ini, dan baginya sungguh luar biasa bahwa belum satu jam yang lalu dia mencemaskan soal toko lelucon dan siapa yang memperoleh lencana Prefek.