Kementerian Sihir
Dolores Jane Umbridge (Inkuisitor Agung) telah menggantikan Albus Dumbledore sebagai kepala sekolah Sekolah Sihir Hogwarts.
Keputusan di atas sesuai dengan Dekrit Pendidikan Nomor Dua Puluh Delapan.
Tertanda:
Menteri Sihir
Pengumuman itu telah ditempel di mana-mana di sekolah dalam semalam, tetapi pengumuman-pengumuman itu tidak menjelaskan bagaimana setiap anak dalam kastil bisa tahu bahwa Dumbledore telah menanggulangi dua Auror, Inkuisitor Agung, Menteri Sihir, dan Asisten Junior-nya untuk meloloskan diri. Tak peduli ke mana pun Harry pergi dalam kastil, satu-satunya topik pembicaraan adalah lolosnya Dumbledore, dan meskipun beberapa detailnya mungkin jadi menyimpang dalam penceritaan kembali (Harry tak sengaja mendengar seorang anak perempuan kelas dua meyakinkan temannya bahwa Fudge sekarang terbaring di St Mungo dengan kepala berubah menjadi labu kuning), mengherankan sekali betapa tepatnya sisa informasi yang beredar. Misalnya, semua anak tahu bahwa hanya Harry dan Marietta-lah murid yang menyaksikan kejadian dalam kantor Dumbledore dan, karena Marietta sekarang di rumah sakit, Harry-lah yang dibombardir permintaan untuk memberikan laporan tangan pertama.
”Dumbledore akan kembali tak lama lagi,” kata Ernie Macmillan yakin sepulangnya mereka dari kelas Herbologi, setelah mendengarkan cerita Harry dengan tekun. ”Mereka tak bisa menyingkirkannya waktu kita kelas dua, dan kali ini pun mereka tak akan bisa. Si Rahib Gemuk memberitahuku—” dia menurunkan suaranya dalam nada rahasia, sehingga Harry, Ron, dan Hermione harus mendekat kepadanya agar bisa mendengar ”—bahwa Umbridge berusaha masuk lagi ke kantor Dumbledore semalam, setelah mereka memeriksa kastil dan halaman sekolah untuk mencari Dumbledore. Tapi dia tak bisa melewati si gargoyle. Kantor Kepala Sekolah telah menutup diri terhadapnya.” Ernie menyeringai. ”Terang saja dia marah-marah.”
”Oh, kurasa dia membayangkan dirinya duduk di kantor Kepala Sekolah,” kata Hermione sengit, ketika mereka menaiki undakan menuju Aula Depan. ”Memerintah semua guru lainnya. Dasar perempuan bego, gendut, haus-kekuasaan…”
”Wah, coba selesaikan kalimat itu, Granger!”
Draco Malfoy muncul dari balik pintu, diikuti Crabbe dan Goyle. Wajahnya yang pucat, runcing, berkilat dengki.
”Dan terpaksa aku memotong beberapa angka dari Gryffindor dan Hufflepuff,” katanya.
”Kau tak bisa mengurangi angka dari sesama Prefek, Malfoy,” kata Ernie segera.
”Aku tahu Prefek tidak bisa mengurangi angka dari Prefek lain,” kata Malfoy. Crabbe dan Goyle terkikik. ”Tapi anggota Regu Inkuisitorial…”
”Regu apa?” tanya Hermione tajam.
”Regu Inkuisitorial, Granger,” kata Malfoy, menunjuk huruf ”I” perak mungil di jubahnya, persis di bawah lencana Prefek-nya. ”Kelompok murid-murid terpilih yang mendukung Kementerian Sihir, dipilih sendiri oleh Profesor Umbridge. Nah, anggota Regu Inkuisitorial punya hak untuk mengurangi angka… jadi, Granger, kupotong lima angka karena kau kurang ajar terhadap kepala sekolah baru kita. Macmillan, lima karena menentangku. Lima karena aku tidak menyukaimu, Potter. Weasley, kemejamu tidak dimasukkan, jadi kupotong lima juga. Oh yeah, aku lupa, kau Darah-Lumpur, Granger, jadi potong sepuluh untuk itu.”
Ron mencabut tongkat sihirnya, tetapi Hermione mendorongnya jauh-jauh, seraya berbisik, ”Jangan!”
”Langkah bijaksana, Granger,” kata Malfoy. ”Kepala sekolah baru… zaman baru… baik-baiklah kalian, Potter… Weasel King…” Malfoy mengejek Ron dengan menyebutnya Weasel King, raja hewan semacam musang.
Sambil tertawa terbahak dia pergi, bersama Crabbe dan Goyle.
”Dia membual,” kata Ernie, tampak ngeri. ”Tak mungkin dia diizinkan mengurangi angka… konyol benar… itu kan sama saja dengan merusak sistem Prefek.”
Namun Harry, Ron, dan Hermione telah berbalik secara otomatis ke jam-jam-pasir raksasa yang dipasang di ceruk sepanjang dinding di belakang mereka, yang merekam angka setiap asrama. Gryffindor dan Ravenclaw unggul nyaris sama pagi tadi. Bahkan sementara mereka mengawasi, batu-batu beterbangan ke atas, mengurangi angka di gelembung bawah. Sesungguhnya, satu-satunya jam-pasir yang angkanya tak berubah hanyalah jam-pasir Slytherin.
”Kalian sudah lihat, kan?” terdengar suara Fred.
Dia dan George baru saja menuruni tangga pualam dan bergabung dengan Harry, Ron, Hermione, dan Ernie di depan deretan jam-pasir.
”Malfoy baru saja mengurangi angka kita kira-kira lima puluh,” kata Harry gusar, ketika mereka menyaksikan beberapa batu lagi terbang ke atas di jam-pasir Gryffindor.
”Yeah, Montague mencoba mengerjai kami waktu istirahat tadi,” kata George.
”Apa maksudmu, ’mencoba’?” sambar Ron.
”Dia tak berhasil menyelesaikan kata-katanya,” kata Fred, ”karena kami keburu menjejalkan kepalanya ke Lemari Pelenyap di lantai satu.”
Hermione tampak amat terguncang.
”Tapi kalian akan mendapat kesulitan besar!”
”Tidak, sampai Montague muncul kembali, dan itu masih berminggu-minggu lagi, aku tak tahu ke mana kami mengirimnya,” kata Fred tenang. ”Lagi pula… kami telah memutuskan kami tak peduli lagi soal mendapat kesulitan.”
”Memangnya kalian pernah peduli?” tanya Hermione.
”Tentu saja,” kata George. ”Kami belum pernah dikeluarkan, kan?”
”Kami selalu tahu batas,” kata Fred.
”Mungkin saja satu jari kaki melewatinya kadang-kadang,” kata George.
”Tapi kami selalu berhenti sebelum menyebabkan huru-hara yang sebenarnya,” sambung Fred.
”Tapi sekarang?” kata Ron takut-takut.
”Yah, sekarang…” kata George.
”…dengan tak adanya Dumbledore…” kata Fred.
”…kami pikir sedikit huru-hara…” kata George.
”…layak bagi kepala sekolah baru kita yang tersayang,” kata Fred.
”Jangan,” bisik Hermione. ”Sungguh, jangan! Dia akan senang punya alasan untuk mengeluarkan kalian!”
”Kau tidak paham, kan, Hermione?” kata Fred, tersenyum kepadanya. ”Kami tak peduli lagi soal tinggal di sini. Kami akan keluar sekarang juga kalau kami tidak bertekad melakukan sesuatu untuk Dumbledore. Jadi,” dia menengok arlojinya, ”fase satu sebentar lagi akan mulai. Aku akan ke Aula Besar untuk makan siang kalau aku jadi kalian, dengan demikian para guru bisa melihat kalian tak ada sangkut-pautnya dengan ini.”
”Tak ada sangkut-pautnya dengan apa?” tanya Hermione cemas.
”Kalian akan lihat nanti,” kata George. ”Pergilah sekarang.”
Fred dan George berbalik dan menghilang di antara kerumunan anak-anak yang menuruni tangga hendak makan siang. Tampak sangat bingung, Ernie bergumam soal PR Transfigurasi-nya yang belum selesai dan buru-buru pergi.
”Kurasa kita harus keluar dari sini,” kata Hermione gugup. ”Siapa tahu…”
”Yeah, baiklah,” kata Ron, dan ketiganya bergerak ke arah pintu Aula Besar. Harry baru saja melihat sekilas langit-langit yang dipenuhi awan putih berarak namun sudah ada orang yang menepuk bahunya, dan menoleh, dia nyaris bertabrakan hidung dengan Filch si pengawas sekolah. Buru-buru dia mundur beberapa langkah; Filch lebih enak dipandang dari jauh.
”Kepala Sekolah ingin ketemu kau, Potter,” Filch melirik.
”Bukan aku yang melakukannya,” kata Harry bodoh, teringat rencana Fred dan George, entah apa pun itu. Pipi Filch berguncang dengan tawa tanpa suara.
”Merasa bersalah, eh?” desisnya. ”Ikut aku.”
Harry menoleh kepada Ron dan Hermione, keduanya tampak cemas. Dia mengangkat bahu dan mengikuti Filch kembali ke Aula Depan, melawan arus murid-murid yang lapar.
Filch tampaknya sedang dalam suasana hati yang luar biasa menyenangkan; dia bersenandung parau selagi mereka menaiki tangga pualam. Setibanya di bordes pertama dia berkata, ”Keadaan di sini berubah, Potter.”
”Sudah kulihat,” kata Harry dingin.
”Sudah kubilang kepada Dumbledore selama bertahun-tahun dia terlalu lembek kepada kalian semua,” kata Filch, tertawa-tawa menyebalkan. ”Kalian anak-anak badung tidak akan menjatuhkan Peluru Bau kalau kalian tahu aku punya kekuasaan untuk mencambuk kalian sampai babak-belur, kan? Tak akan ada yang melempar Frisbee Bertaring di koridor-koridor kalau aku boleh menggantung kalian di kantorku dengan kepala di bawah, kan? Tapi kalau Dekrit Pendidikan Nomor Dua Puluh Sembilan diberlakukan, Potter, aku boleh melaksanakan hukuman kepada mereka… dan dia telah meminta Pak Menteri menandatangani perintah pengusiran Peeves… oh, keadaan akan sangat berbeda di sini dengan dia pegang kuasa…”
Umbridge jelas sudah melakukan upaya untuk menggaet Filch ke pihaknya, pikir Harry, dan celakanya, Filch akan jadi senjata penting untuknya; pengetahuannya tentang lorong-lorong rahasia dan tempat-tempat persembunyian di sekolah barangkali hanya dikalahkan oleh si kembar Weasley.
”Kita sampai,” katanya, memandang Harry sambil mengetuk tiga kali pintu Profesor Umbridge dan mendorongnya terbuka. ”Potter sudah datang, Ma’am.”
Kantor Umbridge, yang sudah sangat dikenal Harry gara-gara detensinya yang berkali-kali, masih sama seperti sebelumnya, hanya saja sekarang ada papan besar di depan mejanya, dengan tulisan huruf-huruf emas yang berbunyi: KEPALA SEKOLAH. Juga Firebolt-nya dan Cleansweep milik Fred dan George, yang dengan hati pedih dilihatnya terantai di kaitan besi yang kuat di dinding di belakang mejanya.
Umbridge duduk di belakang meja, sibuk menulis di atas perkamen merah jambunya, tetapi dia mendongak dan tersenyum lebar ketika mereka masuk.
”Terima kasih, Argus,” ujarnya manis.
”Sama-sama, Ma’am, sama-sama,” kata Filch, membungkuk serendah yang dimungkinkan rematiknya, dan mundur keluar.
”Duduk,” kata Umbridge singkat, menunjuk ke kursi. Harry duduk. Umbridge meneruskan menulis selama beberapa saat. Harry memandang beberapa anak kucing jelek melompat-lompat di sekeliling piring-piring hias di atas kepala Umbridge, bertanya-tanya dalam hati kengerian apa lagi yang akan ditimpakannya.
”Nah,” kata Umbridge akhirnya, meletakkan pena-bulunya dan memandangnya, seperti kodok yang akan menelan lalat gemuk. ”Kau mau minum apa?”
”Apa?” kata Harry, yakin dia salah dengar.
”Minum, Mr Potter,” katanya, tersenyum semakin lebar. ”Teh? Kopi? Jus labu kuning?”
Sambil menyebutkan setiap minuman, dia mengayunkan tongkat sihirnya yang pendek, dan secangkir atau segelas minuman itu muncul di mejanya.
”Tidak usah, terima kasih,” kata Harry.
”Aku mau kau minum bersamaku,” katanya, suaranya menjadi manis berbahaya. ”Pilih satu.”
”Baiklah… teh kalau begitu,” kata Harry, mengangkat bahu.
Umbridge bangkit dan sibuk menambahkan susu membelakangi Harry. Dia kemudian mengitari meja membawa teh, tersenyum manis mengerikan.
”Silakan,” katanya, menyerahkan teh kepada Harry. ”Minumlah sebelum dingin. Nah, Mr Potter… kupikir kita sebaiknya ngobrol sedikit, setelah kejadian menegangkan semalam.”
Harry diam saja. Umbridge kembali duduk di kursinya dan menunggu. Ketika telah cukup lama waktu berlalu dalam diam, dia berkata riang, ”Kau tidak minum!”
Harry mengangkat cangkir ke bibirnya dan kemudian, mendadak, menurunkannya lagi. Salah satu anak kucing yang digambar dengan jelek di belakang Umbridge memiliki mata biru bulat persis mata gaib Mad-Eye Moody, dan baru saja terlintas di benak Harry apa kata Mad-Eye kalau dia mendengar Harry minum sesuatu yang ditawarkan oleh orang yang jelas-jelas musuhnya.
”Ada apa?” tanya Umbridge, yang masih mengawasinya. ”Kau mau gula?”
”Tidak,” kata Harry. Dia mengangkat cangkir ke bibirnya lagi dan berpura-pura menghirupnya, meskipun mulutnya tertutup rapat. Senyum Umbridge melebar.
”Bagus,” bisiknya. ”Bagus sekali. Nah sekarang…” Dia sedikit membungkuk ke depan, ”Di mana Albus Dumbledore?”
”Tak tahu,” kata Harry segera.
”Minum lagi, habiskan, habiskan,” katanya, masih tersenyum. ”Nah, Mr Potter, kita tak usah memainkan permainan kekanak-kanakan. Aku tahu kau tahu ke mana dia pergi. Kau dan Dumbledore sudah berkomplot sejak awal. Pertimbangkan kedudukanmu, Mr Potter…”
”Saya tak tahu di mana dia.”
Harry berpura-pura minum lagi. Umbridge mengawasinya dengan tajam.
”Baiklah,” kata Umbridge, tampak tak senang. ”Kalau begitu, beritahu aku di mana Sirius Black.”
Perut Harry serasa terbalik dan tangannya yang memegang cangkir gemetar sampai cangkirnya bergetar di atas tatakannya. Dia memiringkan cangkir ke bibirnya dengan bibir merapat, sehingga sebagian cairan yang panas menetes-netes ke jubahnya.
”Saya tak tahu,” katanya, agak terlalu cepat.
”Mr Potter,” kata Umbridge, ”kuingatkan kau bahwa akulah yang hampir menangkap si napi Black di perapian Gryffindor bulan Oktober lalu. Kau tahu betul kaulah yang ditemuinya dan kalau saja aku punya bukti, kalian berdua tak akan bebas sekarang, kujamin. Kuulangi, Mr Potter… di mana Sirius Black?”
”Entahlah,” kata Harry keras. ”Saya benar-benar tak tahu.”
Mereka saling pandang lama sekali sampai Harry merasa matanya berair. Kemudian Umbridge bangkit.
”Baiklah, Potter, aku percaya kata-katamu kali ini, tapi kuperingatkan kau: kekuasaan Kementerian ada di belakangku. Semua saluran komunikasi ke dan dari sekolah ini dimonitor. Pengatur Jaringan Floo mengawasi semua perapian di Hogwarts—kecuali perapianku, tentu. Regu Inkuisitorial-ku membuka dan membaca semua surat yang datang maupun yang meninggalkan kastil ini. Dan Mr Filch mengawasi semua lorong rahasia dari dan ke kastil. Kalau kutemukan bukti sekecil apa pun…”
DUAAAR!
Lantai kantor itu bergetar. Umbridge tergelincir miring, menyambar mejanya agar tidak jatuh, dan tampak kaget.
”Apa i…?”
Dia memandang ke pintu. Harry menggunakan kesempatan ini untuk mengosongkan cangkir tehnya yang isinya nyaris masih penuh ke vas bunga kering terdekat. Dia bisa mendengar orang-orang berlarian dan menjerit-jerit beberapa lantai di bawah.
”Kembali ke makan siangmu, Potter!” teriak Umbridge, mengangkat tongkat sihirnya dan berlari meninggalkan kantornya. Harry membiarkan dia lari lebih dulu beberapa detik, kemudian bergegas mengikutinya untuk melihat apa sumber huru-hara ini.
Tidak sulit menemukannya. Satu lantai di bawahnya, terjadi hiruk-pikuk luar biasa. Ada orang (dan Harry tahu betul siapa) yang menyalakan satu peti besar kembang api sihir.
Naga-naga yang terdiri atas bunga api hijau dan keemasan melesat di koridor-koridor sambil menyemburkan api dan letusan-letusan keras; kembang api berbentuk roda, dengan garis tengah satu setengah meter, berputar-putar berbahaya di udara seperti barisan piring terbang; roket-roket dengan ekor bintang-bintang perak cemerlang memantul-mantul pada dinding; kembang api yang mengeluarkan percikan api, menulis sendiri kata-kata makian di udara; mercon-mercon meledak keras seperti ledakan tambang ke mana pun Harry memandang, dan alih-alih terbakar habis, memudar dari pandangan, atau mendesis padam, kembang api ajaib ini tampaknya semakin lama semakin bertambah kuat dan cepat.
Filch dan Umbridge berdiri terpaku ketakutan di tengah tangga. Selagi Harry mengawasi, salah satu roda api yang besar agaknya memutuskan dirinya membutuhkan ruang lebih luas untuk bergerak bebas. Dia berpusar ke arah Umbridge dan Filch diiringi bunyi ”whiiiiiiiiiis” mengerikan. Mereka berdua menjerit ketakutan dan menunduk, dan roda api itu melesat keluar dari jendela di belakang mereka, meluncur ke halaman. Sementara itu beberapa naga dan seekor kelelawar ungu besar yang berasap menyeramkan, menggunakan pintu terbuka di ujung koridor untuk lolos ke lantai dua.
”Cepat, Filch, cepat!” jerit Umbridge. ”Mereka akan menyebar di seluruh sekolah kalau kita tidak cepat bertindak—Stupefy!”
Kilatan cahaya merah meluncur dari ujung tongkat sihirnya dan menghantam salah satu roket. Alih-alih membeku di udara, roket itu meledak luar biasa kerasnya sampai melubangi lukisan penyihir wanita bertampang-basah di tengah padang rumput; untung si penyihir masih sempat lari, dia muncul beberapa detik kemudian di lukisan di sebelahnya; dua penyihir pria yang sedang bermain kartu buru-buru berdiri memberi tempat untuknya.
”Jangan pakai Mantra Bius, Filch!” teriak Umbridge gusar, seolah Filch yang tadi memantrainya.
”Betul, Kepala Sekolah!” decit Filch, yang sebagai Squib tak mungkin bisa memantrai kembang-kembang api itu, sama tak mungkinnya dengan kalau dia disuruh menelan mereka. Filch berlari ke lemari terdekat, menarik keluar sapu dan mulai memukul-mukul kembang api di udara; dalam sekejap saja ujung sapu sudah menyala.
Harry sudah cukup melihat. Sambil tertawa dia menunduk rendah, berlari ke pintu yang dia tahu tersembunyi di balik permadani hias tak jauh di koridor itu, dan menyelinap ke dalamnya. Ternyata Fred dan George bersembunyi di belakangnya, gemetar menahan tawa, mendengarkan Umbridge dan Filch menjerit-jerit.
”Impresif,” kata Harry pelan, nyengir. ”Sangat impresif… kalian akan membuat Dr Filibuster bangkrut, tapi tak masalah…”
”Cheers,” bisik George, mengusap air mata tawa dari wajahnya. ”Oh, kuharap berikutnya dia mencoba Mantra Pelenyap… mereka akan bertambah banyak sepuluh kali lipat setiap kali hendak dilenyapkan.”
Kembang api terus menyala dan menyebar ke seluruh sekolah sore itu. Meskipun menimbulkan kehebohan besar, terutama petasannya, guru-guru yang lain kelihatannya tidak terlalu keberatan.
”Wah, wah,” kata Profesor McGonagall tajam, ketika salah satu naga terbang mengelilingi kelasnya, mengeluarkan ledakan-ledakan keras dan menyemburkan api. ”Miss Brown, tolong beritahu Kepala Sekolah bahwa ada kembang api yang lolos masuk kelas kita.”
Hasil dari semua itu adalah Profesor Umbridge melewatkan sore pertamanya sebagai kepala sekolah dengan berlarian ke seluruh sekolah, menjawab panggilan guru-guru lain; tampaknya tak satu pun guru-guru itu bisa membebaskan kelas mereka dari kembang api tanpa bantuan Umbridge. Ketika bel terakhir berbunyi dan mereka kembali ke Menara Gryffindor dengan tas mereka, dengan kepuasan luar biasa Harry melihat Umbridge yang berantakan dan hitam kena jelaga terhuyung dengan wajah berkeringat dari dalam kelas Profesor Flitwick.
”Terima kasih banyak, Profesor!” seru Profesor Flitwick dengan suara nyaringnya. ”Aku bisa mengusir kembang api itu sendiri, tentu saja, tapi aku tak yakin apakah aku berhak melakukannya.”
Dengan wajah berseri dia menutup pintu kelas di depan wajah geram Umbridge.
Fred dan George menjadi pahlawan malam itu di ruang rekreasi Gryffindor. Bahkan Hermione menyeruak di antara kerumunan anak-anak untuk memberi selamat.
”Kembang apinya luar biasa sekali,” kata Hermione kagum.
”Terima kasih,” kata George, tampak terkejut dan senang. ”Weasleys’ Wildfire Whiz-bangs—Kebyar Kembang Api Weasley. Hanya saja kami telah menggunakan seluruh persediaan kami; kami harus mulai lagi dari awal sekarang.”
”Tapi layak,” kata Fred, yang sedang mencatat pesanan anak-anak Gryffindor yang berteriak-teriak. ”Kalau mau menambahkan namamu ke daftar tunggu, Hermione, lima Galleon untuk sekotak Dentuman Dasar dan dua puluh untuk Kebyar Konfigurasi…”
Hermione kembali ke meja tempat Harry dan Ron duduk tercenung memandang tas sekolah mereka, seakan berharap PR mereka akan melompat keluar dan menyelesaikan sendiri.
”Oh, bagaimana kalau kita libur malam ini?” kata Hermione cerah, sementara roket Weasley berekor perak meluncur melewati jendela. ”Toh liburan Paskah mulai hari Jumat, kita akan punya banyak waktu.”
”Apa kau baik-baik saja?” Ron bertanya, menatapnya tak percaya.
”Setelah kautanya,” kata Hermione gembira, ”tahu tidak… kurasa aku merasa agak… memberontak.”
Harry masih bisa mendengar letupan-letupan kembang api yang berhasil lolos di kejauhan ketika dia dan Ron pergi tidur satu jam kemudian; dan ketika dia sedang berganti pakaian ada kembang api melintasi menara, masih bertahan mengeja kata ”POO”—TINJA.
Harry naik ke tempat tidur, menguap. Tanpa kacamatanya, kembang api yang kadang-kadang melewati jendelanya menjadi samar-samar, seperti awan yang berkelap-kelip, indah dan misterius dilatarbelakangi langit malam yang gelap. Dia berbaring miring, bertanya-tanya dalam hati bagaimana perasaan Umbridge tentang hari pertamanya menggantikan Dumbledore, dan bagaimana reaksi Fudge ketika mendengar bahwa sekolah melewatkan sebagian besar hari dalam kekacauan yang luar biasa. Tersenyum, Harry memejamkan mata….
Desis dan letupan kembang api yang lolos ke halaman semakin lama semakin jauh… atau barangkali dirinya yang menjauhi mereka.
Dia terjatuh ke koridor yang menuju Departemen Misteri. Dia berlari ke arah pintu hitam sederhana… biarkan pintunya terbuka… biarkan pintunya terbuka…
Ternyata pintu itu memang terbuka. Harry berada di ruang bundar dengan banyak pintu, semua berbentuk sama… dia menyeberang ruangan, meletakkan tangannya ke salah satu pintu dan pintu membuka ke dalam…
Sekarang dia berada di ruang persegi panjang yang dipenuhi bunyi klak-klik mekanis yang aneh. Bintik-bintik cahaya menari-nari di dinding, tetapi dia tidak berhenti untuk menyelidiki… dia harus terus…
Ada pintu di ujung… pintu itu juga terbuka ketika disentuhnya…
Dan sekarang dia berada dalam ruangan temaram, setinggi dan seluas gereja, isinya hanyalah rak-rak tinggi, masing-masing penuh bola-bola kaca kecil berdebu… sekarang jantung Harry berdegup kencang penuh semangat… dia tahu ke mana harus pergi… dia berlari ke depan, tetapi langkah-langkah kakinya tidak menimbulkan suara di dalam ruangan besar yang kosong itu…
Ada sesuatu di dalam ruangan ini yang amat sangat diinginkannya…
Sesuatu yang diinginkannya… atau diinginkan oleh orang lain…
Bekas lukanya sakit…
DUAR!
Harry langsung terbangun, bingung dan marah. Kamar yang gelap itu dipenuhi tawa.
”Keren!” teriak Seamus, siluetnya tampak berlatar belakang jendela. ”Kurasa salah satu roda api itu menabrak roket, dan sepertinya mereka kawin, lihat tuh!”
Harry mendengar Ron dan Dean turun dari tempat tidur agar bisa melihat lebih jelas. Dia berbaring diam tanpa suara, sementara rasa sakit di bekas lukanya mereda dan kekecewaan melandanya. Dia merasa seakan hadiah yang sangat indah direbut darinya pada saat terakhir… dia sudah begitu dekat tadi.
Anak-anak babi bersayap, merah jambu dan perak, sekarang beterbangan melewati jendela Menara Gryffindor. Harry berbaring dan mendengarkan sorak kagum anak-anak Gryffindor di kamar-kamar di bawah mereka. Perutnya serasa ditonjok ketika dia ingat bahwa esok sore ada pelajaran Occlumency.
Harry melewatkan sepanjang hari berikutnya dengan penuh ketakutan akan apa yang dikatakan Snape kalau dia tahu sejauh mana dia berhasil masuk ke Departemen Misteri, dalam mimpinya yang terakhir. Dengan deraan rasa bersalah, dia menyadari dia tidak berlatih Occlumency satu kali pun sejak pelajaran terakhir mereka; terlalu banyak hal terjadi setelah Dumbledore pergi; dia yakin tak akan mampu mengosongkan pikiran, meskipun dia mencobanya. Walaupun demikian dia meragukan, apakah Snape mau menerima alasan itu.
Dia berusaha melakukan latihan saat-terakhir selama pelajaran-pelajaran hari itu, namun tak ada gunanya. Hermione tak hentinya bertanya, ”Ada apa?” setiap kali Harry diam, berusaha mengosongkan pikiran dan emosinya. Lagi pula, saat paling baik untuk mengosongkan pikiran bukanlah saat para guru melancarkan pertanyaan-pertanyaan tentang pelajaran di kelas.
Pasrah akan menerima yang terburuk, dia pergi ke kantor Snape setelah makan malam. Namun baru sampai di tengah Aula Depan, Cho bergegas menghampirinya.
”Di sini saja,” kata Harry, senang ada alasan untuk menunda pertemuannya dengan Snape, dan memberi Cho isyarat ke sudut Aula Depan, tempat berdirinya jam-jam-pasir. Jam-pasir Gryffindor sekarang nyaris kosong. ”Kau oke? Umbridge tidak menanyaimu tentang LD, kan?”
”Oh, tidak,” sahut Cho buru-buru. ”Tidak, cuma… yah, aku cuma mau bilang… Harry, aku tak pernah menyangka Marietta akan mengadu…”
”Yeah,” kata Harry muram. Menurut pendapatnya, Cho sebaiknya agak lebih hati-hati memilih teman; Harry sedikit terhibur bahwa yang terakhir didengarnya, Marietta masih di rumah sakit dan Madam Pomfrey sama sekali belum mendapat kemajuan dalam menyembuhkan bisulnya.
”Dia sebetulnya orang yang menyenangkan,” ujar Cho. ”Dia hanya berbuat kekeliruan…”
Harry memandangnya tak percaya.
”Orang menyenangkan yang berbuat kekeliruan? Dia mengkhianati kita semua, termasuk kau!”
”Yah… kita semua lolos, kan?” kilah Cho memohon. ”Kau tahu, ibunya bekerja di Kementerian, benar-benar susah baginya…”
”Ayah Ron juga bekerja di Kementerian!” kata Harry gusar. ”Dan kalau kau belum tahu, tak ada kata sneak yang tertulis di wajah Ron…”
”Akal Hermione Granger benar-benar licik,” kata Cho sengit. ”Harusnya dia memberitahu kita dia sudah memantrai daftar nama itu…”
”Menurutku itu ide brilian,” kata Harry dingin. Wajah Cho merah padam dan matanya berkaca-kaca.
”Oh ya, aku lupa—tentu saja, itu kan ide Hermione tersayang…”
”Jangan mulai nangis lagi,” tegur Harry.
”Aku tak akan nangis!” dia berteriak.
”Yah… bagus… kalau begitu,” katanya. ”Sudah banyak yang harus kuurusi saat ini.”
”Kalau begitu pergi dan urus sana!” jerit Cho berang, berbalik lalu pergi.
Sambil menggerutu Harry menuruni tangga menuju ruang bawah tanah Snape, dan meskipun—berdasarkan pengalaman—dia tahu Snape akan jauh lebih mudah menembus pikirannya jika dia sedang marah dan kesal, yang bisa dipikirkannya sebelum tiba di pintu kantor Snape hanyalah beberapa hal yang seharusnya disampaikannya kepada Cho tentang Marietta.
”Kau terlambat, Potter,” tegur Snape dingin, ketika Harry menutup pintu di belakangnya.
Snape berdiri memunggungi Harry, sedang memindahkan, seperti biasanya, pikiran-pikiran tertentunya dan menaruhnya hati-hati ke dalam Pensieve Dumbledore. Dia menjatuhkan benang perak terakhir ke dalam baskom batu itu dan berbalik menghadap Harry.
”Nah,” katanya. ”Kau sudah berlatih?”
”Sudah,” Harry berbohong, memandang cermat salah satu kaki meja Snape.
”Kita akan segera tahu, kan?” kata Snape pelan. ”Keluarkan tongkat, Potter.”
Harry bergerak ke posisinya yang biasa, menghadapi Snape dengan meja di antara mereka. Jantungnya berdenyut cepat dengan kemarahan terhadap Cho dan kecemasan akan berapa banyak yang bisa disedot Snape dari pikirannya.
”Pada hitungan ketiga kalau begitu,” kata Snape malas-malasan. ”Satu—dua…”
Pintu kantor Snape menjeblak terbuka dan Draco Malfoy bergegas masuk.
”Profesor Snape, Sir—oh—sori…”
Malfoy keheranan memandang Snape dan Harry.
”Tidak apa-apa, Draco,” kata Snape, menurunkan tongkat sihirnya. ”Potter di sini untuk mendapat pelajaran tambahan Ramuan.”
Harry belum pernah melihat Malfoy segirang itu sejak Umbridge muncul untuk menginspeksi Hagrid.
”Saya tidak tahu,” katanya, melirik Harry, yang tahu wajahnya panas terbakar. Harry rela mengorbankan banyak hal agar bisa meneriakkan kebenaran kepada Malfoy—atau, lebih baik lagi, menghantamnya dengan kutukan bagus.
”Nah, Draco, ada apa?” tanya Snape.
”Profesor Umbridge, Sir—dia memerlukan bantuan Anda,” kata Malfoy. ”Mereka telah menemukan Montague, Sir, dia terjepit dalam kloset di lantai empat.”
”Bagaimana dia bisa di sana?” desak Snape.
”Saya tak tahu, Sir, dia agak bingung.”
”Baiklah, baiklah. Potter,” kata Snape, ”kita teruskan pelajaran ini besok malam.”
Dia berbalik dan bergegas keluar dari kantornya. Malfoy mengucapkan tanpa suara, ”Pelajaran tambahan Ramuan?” kepada Harry di belakang punggung Snape sebelum membuntutinya.
Dengan kemarahan mendidih Harry menyelipkan kembali tongkat sihirnya di dalam jubahnya dan bergerak hendak meninggalkan ruangan. Setidaknya dia masih punya waktu 24 jam untuk berlatih; dia tahu seharusnya dia bersyukur berhasil lolos, meskipun berat karena bayarannya Malfoy akan memberitahu seluruh sekolah bahwa dia memerlukan pelajaran tambahan Ramuan.
Dia sudah di pintu kantor ketika melihatnya: seberkas kecil cahaya bergetar yang menari-nari di kusen pintu. Harry berhenti, dan berdiri mengamatinya, teringat sesuatu… kemudian dia ingat: cahaya itu mirip cahaya yang dilihatnya dalam mimpinya semalam, cahaya dalam ruang kedua yang dimasukinya dalam perjalanannya memasuki Departemen Misteri.
Harry berbalik. Cahaya itu berasal dari Pensieve yang terletak di atas meja Snape. Isinya yang putih-keperakan berpusar di dalamnya. Pikiran Snape… dia tak ingin Harry melihat pikiran-pikiran ini jika Harry berhasil memasuki pikirannya tanpa sengaja….
Harry memandang Pensieve, keingintahuan bergelora di dalam dadanya… apa yang begitu ingin disembunyikan Snape darinya?
Cahaya keperakan bergetar di dinding… Harry maju dua langkah ke meja, berpikir keras. Mungkinkah yang disembunyikan Snape itu adalah informasi tentang Departemen Misteri?
Harry menoleh, jantungnya sekarang berdegup lebih keras dan lebih kencang daripada biasanya. Berapa lama yang diperlukan Snape untuk membebaskan Montague dari kloset? Apakah dia akan langsung kembali kemari sesudahnya, atau menemani Montague ke rumah sakit? Tentu ke rumah sakit… Montague kapten tim Quidditch Slytherin. Snape pasti ingin memastikan dia baik-baik saja.
Harry berjalan beberapa langkah lagi mendekati Pensieve dan berdiri di depannya, memandang kedalamannya. Dia ragu-ragu, mendengarkan, kemudian mencabut tongkat sihirnya lagi. Ruangan kantor dan koridor di luar sunyi senyap. Harry mencelupkan ujung tongkatnya ke dalam baskom.
Isi keperakan di dalamnya mulai berpusar sangat cepat. Harry menunduk di atasnya dan melihat isinya berubah menjadi transparan. Dia, sekali lagi, memandang ke dalam ruangan seakan melalui jendela bundar di langit-langit… kecuali dia sangat keliru, sebetulnya dia sedang memandang Aula Besar.
Napasnya memburamkan permukaan pikiran Snape… otaknya kacau… gila kalau dia melakukan hal yang sangat menggodanya… dia gemetar… Snape bisa kembali setiap saat… namun Harry teringat kemarahan Cho, wajah mencemooh Malfoy, dan kenekatan melandanya.
Dia menarik napas dalam-dalam, dan memasukkan wajahnya ke permukaan pikiran Snape. Langsung saja lantai kantor menjungkit, memasukkan Harry dengan kepala-lebih-dulu ke dalam Pensieve….
Dia terjatuh ke dalam kegelapan yang dingin, berpusar cepat, dan kemudian…
Dia berdiri di tengah Aula Besar, tetapi keempat meja asrama tak ada. Sebagai gantinya ada lebih dari seratus meja yang lebih kecil, semua menghadap ke arah yang sama, di belakang masing-masing meja duduk seorang murid, kepala mereka menunduk rendah, menulis di atas segulung perkamen. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah goresan pena-bulu dan kadang-kadang bunyi gemeresik bila ada yang meluruskan perkamennya. Jelas itu waktu ujian.
Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela-jendela besar, menimpa kepala-kepala yang menunduk, yang berkilau cokelat, tembaga, atau pirang dalam cahaya terang itu. Harry memandang berkeliling dengan cermat. Snape tentunya berada di suatu tempat di sini… kan ini kenangannya….
Itu dia, di meja tepat di belakang Harry. Harry memandangnya. Snape remaja tampak kurus dan pucat, seperti tanaman yang ditaruh di tempat gelap. Rambutnya panjang berminyak dan terhampar di meja, hidung bengkoknya cuma kira-kira satu senti dari permukaan perkamen ketika dia menulis. Harry bergerak ke belakang Snape dan membaca judul kertas ujian:
PERTAHANAN TERHADAP ILMU HITAM—
ORDINARY WIZARDING LEVEL.
Jadi, Snape tentu berusia lima atau enam belas tahun, sebaya Harry. Tangannya melayang di atas perkamen; dia telah menulis paling tidak tiga puluh senti lebih panjang daripada teman-teman di sekitarnya, padahal tulisannya kecil-kecil dan rapat.
”Lima menit lagi!”
Suara itu membuat Harry terlonjak. Menoleh, dia melihat puncak kepala Profesor Flitwick bergerak di antara meja-meja, tak jauh darinya. Flitwick sedang berjalan melewati pemuda yang berambut gelap berantakan… sangat berantakan…
Harry bergerak sangat cepat, sehingga seandainya tubuhnya padat, dia pastilah sudah menabrak meja-meja dan membuat mereka terguling. Tetapi dia serasa melayang, seolah dalam mimpi, menyeberangi dua gang, dan sampai ke gang ketiga. Bagian belakang pemuda berambut gelap itu semakin dekat dan… dia meluruskan diri sekarang, meletakkan pena-bulunya, menarik gulungan perkamennya ke arahnya untuk membaca kembali apa yang telah ditulisnya….
Harry berhenti di depan meja dan memandang ayahnya yang berusia lima belas tahun.
Kegairahan menggelegak di dasar perutnya: seakan dia memandang dirinya sendiri, namun dengan beberapa kekeliruan. Mata James berwarna cokelat muda, hidungnya sedikit lebih panjang daripada hidung Harry, dan tak ada bekas luka di dahinya, tetapi mereka memiliki wajah tirus yang sama, mulut yang sama, alis yang sama. Rambut James berdiri di bagian belakang, persis rambut Harry, tangannya bisa menjadi tangan Harry, dan Harry bisa menduga bahwa kalau James berdiri, tinggi mereka paling hanya berbeda satu atau dua senti.
James menguap lebar-lebar dan mengacak rambutnya, membuatnya semakin berantakan. Kemudian, seraya mengerling Profesor Flitwick, dia berbalik di tempat duduknya dan nyengir kepada pemuda yang duduk empat meja di belakangnya.
Dengan kegairahan yang menggelora Harry melihat Sirius mengacungkan dua ibu jarinya kepada James. Sirius duduk santai di kursinya, menjungkitkannya pada dua kaki belakangnya. Dia sangat tampan, rambutnya yang gelap menjuntai ke matanya dengan indah dan luwes, hal yang tak mungkin ditiru James maupun Harry, dan gadis yang duduk di belakangnya memandangnya penuh harap, meskipun Sirius tampaknya tidak menyadarinya. Dan dua tempat duduk dari gadis ini—perut Harry kembali bergolak menyenangkan—duduk Remus Lupin. Dia tampak agak pucat dan kurang sehat (apakah saat itu menjelang bulan purnama?) dan berkonsentrasi dalam ujiannya; ketika membaca kembali jawaban-jawabannya, dia menggaruk dagunya dengan ujung pena-bulunya, sambil agak mengernyit.
Itu berarti Wormtail ada di sini juga… dan betul, Harry melihatnya dalam sekejap: pemuda kecil berambut sewarna bulu tikus, dengan hidung runcing. Wormtail tampak cemas, dia menggigiti kukunya, memandang perkamennya, jari-jari kakinya menggores-gores lantai. Sesekali dia mengerling penuh harap ke perkamen teman-teman di sampingnya. Harry memandang Wormtail selama beberapa saat, kemudian kembali ke James, yang sekarang menggambar sambil melamun di atas secarik kecil perkamen. Dia menggambar Snitch dan sekarang menuliskan huruf-huruf ”L.E.”. Singkatan apa huruf-huruf itu?
”Letakkan pena-bulu sekarang!” seru Profesor Flitwick nyaring. ”Itu berarti kau juga, Stebbins! Harap tetap duduk sementara aku mengumpulkan perkamen kalian! Accio!”
Lebih dari seratus gulungan perkamen melesat ke udara dan masuk ke dalam tangan Profesor Flitwick yang terentang, membuatnya jatuh terjengkang. Beberapa anak tertawa. Dua anak di meja depan berdiri, memegang siku Profesor Flitwick dan mengangkatnya berdiri lagi.
”Terima kasih… terima kasih…” sengal Profesor Flitwick. ”Baiklah, kalian boleh pergi!”
Harry menunduk memandang ayahnya, yang buru-buru mencoret ”L.E.” yang sedang dihiasnya, melompat bangun, menjejalkan pena-bulu dan kertas soal ujian ke dalam tasnya, yang kemudian disandangkannya ke bahu, dan menunggu Sirius bergabung dengannya.
Harry memandang berkeliling dan sekilas melihat Snape tak jauh dari situ, bergerak di antara meja-meja ke pintu yang menuju Aula Depan, masih sibuk meneliti soal ujiannya. Berbahu bulat tapi kurus, dia berjalan dengan gugup, seperti labah-labah, dan rambutnya yang berminyak menjurai-jurai di sekitar wajahnya.
Serombongan gadis yang mengobrol memisahkan Snape dari James, Sirius, dan Lupin, dan dengan menempatkan diri di antara gadis-gadis itu Harry bisa tetap melihat Snape sementara dia menajamkan telinga untuk menangkap suara James dan teman-temannya.
”Kau suka pertanyaan nomor sepuluh, Moony?” tanya Sirius ketika mereka memasuki Aula Depan.
”Suka sekali,” sahut Lupin cepat. ”Sebutkan lima tanda untuk mengenali manusia-serigala. Pertanyaan bagus.”
”Apa kau berhasil menuliskan semua tandanya?” kata James, berpura-pura cemas.
”Kurasa begitu,” jawab Lupin serius, ketika mereka bergabung dengan kerumunan anak-anak di depan pintu, ingin keluar ke halaman yang bermandi cahaya matahari. ”Satu: dia duduk di kursiku. Dua: dia memakai pakaianku. Tiga: namanya Remus Lupin.”
Wormtail satu-satunya yang tidak tertawa.
”Aku tahu bentuk moncongnya, pupil matanya, dan ekornya yang berbulu,” katanya cemas, ”tapi tak tahu lagi yang lainnya apa…”
”Tolol benar sih kau, Wormtail?” kata James tak sabar. ”Kau berlarian dengan manusia-serigala sebulan sekali…”
”Jangan keras-keras,” Lupin memohon.
Harry menoleh lagi dengan cemas. Snape tetap berada di dekat mereka, masih sibuk menyimak pertanyaan-pertanyaan ujiannya—tetapi ini kenangan Snape dan Harry yakin bahwa jika Snape berjalan ke arah lain begitu mereka di luar, Harry tak akan bisa mengikuti James lebih jauh lagi. Maka betapa leganya dia ketika James dan ketiga temannya berjalan melintasi padang rumput menuju danau, Snape mengikuti, masih membaca kertas ujiannya dan tampaknya tak sadar ke mana dia pergi. Dengan berjalan sedikit di depannya, Harry berhasil tetap mengawasi James dan yang lain.
”Menurutku ujiannya gampang sekali,” didengarnya Sirius berkata. ”Aku akan heran kalau setidaknya tidak mendapat ’Outstanding’.”
”Aku juga,” kata James. Dia memasukkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan Golden Snitch yang meronta-ronta.
”Dari mana kaudapat itu?”
”Kucuri,” kata James santai. Dia mulai bermain dengan Snitch, membiarkannya terbang sejauh tiga puluh senti sebelum menangkapnya lagi; refleksnya luar biasa bagus. Wormtail mengawasinya dengan terpesona.
Mereka berhenti dalam naungan pohon beech yang sama tempat Harry, Ron, dan Hermione pernah melewatkan hari Minggu menyelesaikan PR mereka, dan melempar diri duduk di rerumputan. Harry menoleh lagi dan dengan senang melihat Snape juga telah duduk di rerumputan, dalam bayangan rumpun semak. Dia masih terbenam dalam kertas OWL-nya, membuat Harry bebas duduk di rerumputan di antara pohon beech dan semak dan memandang keempat sahabat di bawah pohon. Sinar matahari menyilaukan di permukaan danau yang licin. Di tepi danau duduk sekelompok gadis yang tertawa-tawa, yang baru saja datang dari Aula Besar, melepas sepatu dan kaus kaki, mendinginkan kaki mereka di dalam air.
Lupin telah mengeluarkan buku dan sekarang membaca. Sirius memandang berkeliling ke arah murid-murid yang berdatangan, tampak agak angkuh dan bosan, namun sangat tampan. James masih bermain-main dengan Snitch, membiarkannya melesat makin lama makin jauh, hampir terlepas, tetapi selalu berhasil menyambarnya pada saat terakhir. Wormtail mengawasinya dengan mulut ternganga. Setiap kali James berhasil melakukan tangkapan yang sulit, Wormtail memekik dan bertepuk tangan. Setelah lima menit begitu terus, Harry bertanya-tanya dalam hati kenapa James tidak menyuruh Wormtail menguasai diri, tetapi James tampaknya menikmati perhatian itu. Harry memperhatikan bahwa ayahnya punya kebiasaan mengacak rambutnya seakan ingin rambutnya tidak terlalu rapi, dan dia juga terus-menerus memandang gadis-gadis di tepi danau.
”Singkirkan itu,” kata Sirius akhirnya, ketika James membuat tangkapan indah dan Wormtail bersorak, ”sebelum Wormtail ngompol saking girangnya.”
Wajah Wormtail agak memerah, tetapi James nyengir.
”Baiklah, kalau memang mengganggumu,” katanya, menjejalkan kembali Snitch ke dalam sakunya. Harry mendapat kesan bahwa hanya Sirius-lah yang bisa meminta James berhenti pamer.
”Aku bosan,” kata Sirius. ”Pinginnya sekarang malam purnama.”
”Maunya,” kata Lupin suram dari balik bukunya. ”Masih ada ujian Transfigurasi, dan kalau kau bosan kau boleh menanyaiku. Ini…” dan dia mengulurkan bukunya.
Namun Sirius mendengus. ”Aku tak perlu melihat sampah itu lagi, aku sudah hafal semua.”
”Ini akan membuatmu bersemangat, Padfoot,” kata James pelan. ”Lihat siapa itu…”
Sirius menoleh. Dia bergeming, seperti anjing yang telah membaui kelinci.
”Bagus sekali,” katanya perlahan. ”Snivellus.”
Harry menoleh untuk melihat apa yang dipandang Sirius.
Snape sudah berdiri lagi, dan sedang memasukkan kertas OWL ke dalam tasnya. Dan ketika dia meninggalkan keteduhan semak-semak dan berjalan menyeberangi rerumputan, Sirius dan James berdiri.
Lupin dan Wormtail tetap duduk. Lupin masih menatap bukunya, meskipun matanya tidak bergerak, dan kerut samar halus muncul di antara alisnya. Wormtail memandang dari Sirius dan James ke Snape, dengan pandangan keranjingan di wajahnya.
”Baik-baik saja, Snivellus?” sapa James keras.
Snape bereaksi begitu cepat seakan dia sudah mengira akan datangnya serangan: menjatuhkan tasnya, dia memasukkan tangan ke balik jubahnya dan tongkat sihirnya sudah separo terangkat ketika James berteriak, ”Expelliarmus!”
Tongkat sihir Snape terbang tiga setengah meter ke udara dan jatuh berdebuk pelan di rerumputan di belakangnya. Sirius terbahak.
”Impedimenta!” katanya, mengacungkan tongkatnya kepada Snape, yang terjungkal ketika baru berlari setengah jalan akan mengambil tongkatnya yang terjatuh.
Anak-anak di sekitar situ menoleh untuk menonton. Beberapa telah bangkit dan mendekat. Beberapa tampak khawatir, yang lain terhibur.
Snape tergeletak tersengal-sengal di tanah. James dan Sirius mendekatinya dengan tongkat terangkat, dan James mengerling gadis-gadis di tepi danau. Wormtail sudah berdiri sekarang, memandang dengan lapar, maju ke depan Lupin agar bisa melihat lebih jelas.
”Bagaimana ujiannya, Snivelly?” tanya James.
”Aku tadi mengawasinya, hidungnya menyentuh perkamennya,” kata Sirius keji. ”Akan ada noda-noda minyak besar di seluruh perkamen, mereka tak akan bisa membaca satu kata pun.”
Beberapa anak yang menonton tertawa; Snape jelas bukan murid yang populer. Wormtail mengikik nyaring. Snape berusaha bangun, tetapi mantranya masih bekerja; dia meronta, seakan diikat oleh tali yang tak tampak.
”Kau—tunggu saja,” sengalnya, memandang James dengan ekspresi amat benci, ”kau—tunggu saja!”
”Tunggu apa?” kata Sirius tenang. ”Apa yang akan kaulakukan, Snivelly, mengusapkan hidungmu ke kami?”
Snape melontarkan campuran makian dan mantra, tetapi dengan tongkatnya berada tiga meter jauhnya, tak ada yang terjadi.
”Cuci mulutmu,” kata James dingin. ”Scourgify!”
Gelembung sabun merah jambu langsung mengalir dari mulut Snape; busanya menutupi bibirnya, membuatnya tersedak, mencekiknya…
”Jangan ganggu DIA!”
James dan Sirius menoleh. Tangan James yang bebas langsung melompat ke rambutnya.
Yang berteriak rupanya salah satu dari gadis-gadis di tepi danau. Rambutnya tebal, merah gelap, terjuntai sampai ke bahunya, dan matanya yang berbentuk buah badam berwarna hijau cemerlang—mata Harry.
Ibu Harry.
”Kau baik-baik saja, Evans?” kata James, dan nada suaranya mendadak menyenangkan, lebih dalam, lebih dewasa.
”Jangan ganggu dia,” Lily mengulangi. Dia memandang James dengan penuh kebencian. ”Apa yang telah dilakukannya kepadamu?”
”Yah,” kata James, mempertimbangkan jawabannya, ”ini lebih karena dia ada, kalau kau tahu maksudku….”
Banyak di antara anak-anak yang berkerumun tertawa, termasuk Sirius dan Wormtail, tetapi Lupin, yang masih sibuk membaca bukunya, tidak tertawa, begitu pula Lily.
”Kaupikir kau lucu,” katanya dingin. ”Tapi kau cuma orang brengsek sombong yang suka mengganggu orang yang lebih lemah. Jangan ganggu dia.”
”Tidak, kalau kau mau keluar bersamaku, Evans,” kata James cepat. ”Ayo… kencan denganku dan aku tak akan pernah menggunakan tongkat sihirku pada Snivelly lagi.”
Di belakangnya, Mantra Perintang sudah mulai pudar. Snape mulai beringsut ke tongkat sihirnya, meludahkan busa sabun sambil merangkak.
”Aku tak sudi keluar denganmu walaupun pilihannya antara kau dan si cumi-cumi raksasa,” sahut Lily ketus.
”Kau sial, Prongs,” kata Sirius tajam, dan kembali menoleh ke arah Snape. ”HEI!”
Tetapi terlambat; Snape telah mengacungkan tongkat sihirnya pada James, cahaya meluncur dan luka muncul di pipi James, darah memerciki jubahnya. James berputar: sedetik kemudian meluncur cahaya kedua dan Snape tergantung terbalik di udara, jubahnya jatuh menutupi kepalanya, memperlihatkan kaki kurus pucat dan celana dalam kumal.
Banyak anak dalam kerumunan kecil itu bersorak; Sirius, James, dan Wormtail tertawa terbahak-bahak.
Lily, yang ekspresi marahnya sekilas berubah seolah dia hendak tersenyum, berkata, ”Turunkan dia!”
”Baiklah,” kata James, dan dia menjentikkan tongkat sihirnya ke atas. Snape jatuh terpuruk di tanah. Melepaskan diri dari belitan jubahnya, dia buru-buru bangkit, tongkatnya teracung, tetapi Sirius berkata, ”Petrificus Totalus!” dan Snape roboh lagi, kaku seperti papan.
”JANGAN GANGGU DIA!” Lily berteriak. Dia sudah mengeluarkan tongkat sihirnya sekarang. James dan Sirius memandang tongkat itu dengan waspada.
”Ah, Evans, jangan membuatku memantraimu,” ujar James bersemangat.
”Lepaskan kutukannya, kalau begitu!”
James menghela napas dalam-dalam, kemudian berpaling kepada Snape dan menggumamkan kutukan-penangkal.
”Nah, kau bebas,” katanya ketika Snape bangun dengan susah payah. ”Untung ada Evans, Snivellus…”
”Aku tidak perlu bantuan dari Darah-Lumpur kotor seperti dia!”
Lily mengerjap.
”Baik,” katanya tenang. ”Aku tak akan peduli lain kali. Dan aku akan mencuci celana kalau aku jadi kau, Snivellus.”
”Minta maaf pada Evans!” James meraung kepada Snape, tongkatnya teracung mengancam ke arahnya.
”Aku tak ingin kau menyuruhnya minta maaf,” teriak Lily, berbalik menghadapi James. ”Kau sama buruknya dengan dia.”
”Apa?” dengking James. ”Aku TAK PERNAH menyebutmu—kau-tahu-apa!”
”Mengacak-acak rambut karena kaupikir kau tampak keren kalau kelihatannya seperti baru turun dari sapumu, sok pamer dengan Snitch konyol itu, berkeliaran di koridor dan memantrai siapa saja yang menjengkelkanmu hanya karena kau mampu—aku heran sapumu tidak jatuh ke tanah saat kaunaiki dengan kepala sebesar itu. Kau membuatku MUAK!”
Lily berbalik dan pergi.
”Evans!” James memanggilnya. ”Hei, EVANS!”
Namun Lily tidak menoleh.
”Kenapa dia?” kata James, berusaha namun gagal membuat seakan ini pertanyaan yang tak penting baginya.
”Kalau membaca yang tersirat, kurasa dia menganggapmu agak sombong, sobat,” kata Sirius.
”Benar,” kata James, yang sekarang tampak gusar, ”benar…”
Ada kilatan cahaya lagi, dan Snape sekali lagi tergantung terbalik di udara.
”Siapa yang mau lihat aku mencopot celana Snivelly?”
Tetapi apakah James benar-benar mencopot celana Snape, Harry tak pernah tahu. Ada tangan yang mencengkeram lengannya kuat-kuat seperti jepitan tang. Mengernyit, Harry menoleh untuk melihat siapa yang memegangnya, dan dengan ngeri memandang Snape dewasa berdiri di sebelahnya, pucat saking murkanya.
”Senang?”
Harry merasa dirinya terangkat; hari musim panas menguap di sekitarnya; dia melayang ke atas menembus kegelapan total, tangan Snape masih mencengkeram lengannya. Kemudian, dengan perasaan seolah dia berjungkir-balik di udara, kakinya menyentuh lantai batu ruang bawah tanah Snape dan dia berdiri lagi di sebelah Pensieve di atas meja Snape, dalam kantor temaram guru Ramuan pada masa sekarang.
”Jadi,” kata Snape, mencengkeram lengan Harry begitu kuat sampai tangan Harry mulai kebas. ”Jadi… kau bersenang-senang, Potter?”
”T-tidak,” kata Harry, berusaha membebaskan lengannya.
Sungguh mengerikan: bibir Snape bergetar, wajahnya pucat pasi, giginya menyeringai.
”Orang yang menyenangkan, ayahmu itu, kan?” kata Snape, mengguncang Harry keras sekali sampai kacamatanya merosot ke hidungnya.
”Saya—tidak…”
Snape melempar Harry sekuat tenaga. Harry jatuh terbanting ke lantai ruang bawah tanah.
”Kau tak akan menceritakan apa yang kaulihat kepada siapa pun!” raung Snape.
”Tidak,” kata Harry, bangun dan menjauh dari Snape sebisa mungkin. ”Tidak, tentu saya t…”
”Keluar, keluar, aku tak ingin lagi melihatmu di kantor ini!”
Dan ketika Harry berlari ke pintu, stoples kecoak mati meledak di atas kepalanya. Dia menyambar pintu hingga terbuka dan berlari sepanjang koridor, baru berhenti setelah dia dan Snape berjarak tiga lantai. Di sana dia bersandar ke dinding, tersengal-sengal, dan menggosok lengannya yang memar.
Dia sama sekali tak ingin kembali ke Menara Gryffindor secepat ini, juga tak ingin memberitahu Ron dan Hermione apa yang baru saja dilihatnya. Yang membuat Harry merasa terpukul dan sedih bukannya karena dia dicaci atau dilempari stoples kecoak, melainkan karena dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan di tengah kerumunan penonton, tahu pasti bagaimana perasaan Snape ketika ayahnya mengejeknya, dan menimbang apa yang baru saja dilihatnya, ayahnya ternyata memang sombong seperti yang selama ini dikatakan Snape kepadanya.