image
image
image

Bab 1

Empat Tuan Muda

image

PERTENGAHAN musim dingin, dan hawa terasa amat dingin menggigit. Lembah itu tertutup oleh salju.

Sejauh mata memandang, yang tampak cuma es, dan bumi kelihatan berwarna putih keperakan. Di lembah bersalju itu, seorang laki-laki sedang sibuk menggali sebuah lubang berukuran lebar tiga kaki, dalam lima kaki dan panjangnya tujuh kaki.

Dia masih muda, kuat, bertubuh tinggi dan berwajah tampan. Lebih dari itu, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar dan berasal dari keluarga berada. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan yang mahal, dengan mantel berbulu tebal yang berharga seribu tael emas. Dia menggenggam sebilah tombak perak yang berkilauan di tangannya, dan gagang tombak terbuat dari perak murni.

Di atas gagang tombak terukir beberapa huruf berbunyi: “Hong Seng, Gin-jio, Khu”.

Pemuda seperti ini seharusnya bukan seorang penggali tanah. Tombak perak sebagus itu juga seharusnya tidak digunakan untuk menggali tanah.

Tempat itu adalah sebuah lembah yang indah di bawah naungan langit biru yang cerah. Tumpukan salju berwarna putih keperakan. Bunga bwe bermekaran dengan warna yang merah menyala.

Dia datang ke sini dengan menaiki kuda, menempuh perjalanan yang jauh. Kuda itu merupakan turunan kuda jempolan yang ternama, harganya pasti amat mahal.

Kuda jempolan. Pelana yang bagus dan mengkilap. Bahkan sanggurdinya pun terbuat dari perak murni.

Mengapa pemuda segagah ini, dengan kuda sebagus ini, mau menempuh perjalanan jauh datang ke sini dan menggunakan senjatanya untuk menggali tanah?

Lubang itu sudah selesai digali. Dia lalu berbaring di dalamnya seperti sedang mengukur besar-kecilnya, apakah sudah cukup nyaman baginya untuk rebah di sana. Apakah pemuda ini menggali lubang itu untuk dirinya sendiri?

Cuma orang mati yang menggunakan lubang seperti ini. Padahal dia masih muda dan sehat, agaknya dia masih bisa hidup selama beberapa puluh tahun lagi. Mengapa dia menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri? Apakah dia ingin mati? Manusia mana pun pasti ingin hidup. Kenapa dia ingin mati? Dan kenapa harus mati di tempat ini?

Hujan salju sudah berhenti sejak tadi malam dan cuaca sudah menjadi cerah. Dia melepaskan pelana kudanya dan menepuk leher kudanya dengan perlahan. Lalu dia berkata, “Pergilah. Carilah seorang majikan yang baik.” Kuda yang gagah itu meringkik pelan dan segera berlari keluar dari lembah bersalju itu. Pemuda itu lalu duduk di atas pelana yang ditaruh di atas salju dan mendongak ke angkasa. Entah apa yang sedang dilamunkannya, sorot matanya tampak resah dan sedih.

Saat itulah serombongan orang datang ke lembah bersalju itu. Ada yang membawa kotak makanan. Ada yang memanggul meja dan kursi. Juga ada yang memikul dua guci arak. Mereka semua datang dari luar lembah. Orang yang berjalan di depan tampaknya seperti seorang pengurus rumah makan. Dia datang menghampiri pemuda tadi dan bertanya sambil tersenyum, “Maafkan hamba, Kongcu. Apakah tempat ini Han-bwe-kok?”

Pemuda penggali tanah itu mengangguk. Dia bahkan tidak melirik ke arah mereka.

Orang itu bertanya lagi, “Apakah Toh-siauwya yang mengundang Kongcu ke mari?”

Pemuda penggali tanah itu diam saja.

Pengurus rumah makan itu menghela napas. Dia lalu menggerutu sendiri, “Aku tidak paham. Kenapa Toh-kongcu menyuruh kami mengantarkan makanan dan arak ke sini?”

Seorang temannya tertawa dan berkata, “Anak-anak keluarga kaya kan tingkahnya aneh-aneh. Orang miskin seperti kita tentu saja tidak bakal mengerti.”

Segera mereka mengatur meja dan kursi di bawah sebatang pohon bwe, menyiapkan makanan dan arak di atas meja, dan kemudian bergegas pulang.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dari luar lembah terdengar suara senandung dengan nada yang tinggi,

“Langit cerah, salju bertumpuk. Bunga bwe mekar semerbak di mana-mana. Naik keledai melintasi jembatan. Keleningannya berbunyi nyaring.”

Bunyi keleningan memang berkumandang nyaring dan merdu. Seorang yang menaiki keledai hitam dan seorang lagi menunggang kuda putih lalu memasuki lembah itu. Si penunggang keledai berwajah pucat, seperti orang berpenyakitan. Tapi wajahnya selalu dihiasi senyuman yang hangat dan pakaiannya pun perlente.

Temannya berpakaian indah, dengan sebilah pedang panjang yang tergantung di pinggangnya, sebuah topi berbulu rase di kepalanya, dan sebuah mantel berbulu rase warna perak. Dengan menunggang seekor kuda putih yang gagah dan besar, sekujur badannya kelihatan berwarna putih keperakan. Dia tampak amat angkuh. Tentu saja dia pantas untuk bersikap angkuh. Memang tidak banyak pemuda yang setampan dia.

Agaknya ketiga pemuda ini semuanya berasal dari keluarga berada, berkumpul di sini tanpa perjanjian sebelumnya. Tapi jelas tujuan mereka berbeda. Kedua pemuda yang baru datang ini sedang berjalan-jalan menelusuri salju, mengagumi bunga-bunga bwe yang sedang mekar, dan menikmati pemandangan alam sambil minum arak. Pemuda yang menggali tanah itu sedang menunggu ajalnya.

Di bawah pohon bwe sudah tersedia arak. Pemuda yang selalu tersenyum tadi lalu menuangkan secawan dan menenggaknya. Lalu dia berkata, “Arak bagus.”

Di depan arak tumbuh kembang, dan bunga-bunga itu sedang mekar. Pemuda tadi menghabiskan secawan arak lagi dan berkata, “Kembang bagus!”

Warna kembang terpantul di salju, merah menyala. Dia menenggak secawan lagi dan berkata, “Salju bagus.”

Setelah tiga cawan arak masuk ke dalam perutnya, wajahnya yang pucat pun bersemu merah. Dia seolah-olah hendak melayang – semangatnya pun berkobar-kobar.

Walaupun tubuhnya lemah karena penyakitan, dia bisa menghargai kesenangan hidup. Agaknya dia tertarik pada segala sesuatu, dan karenanya dia hidup dalam aneka ragam kesenangan.

Pemuda tampan yang menunggang kuda putih, berbaju bulu dan membawa pedang panjang itu, ekspresi wajahnya justru tampak kelam dan kaku, seolah-olah tak ada yang bisa menarik perhatiannya.

Sambil tersenyum tipis, pemuda berpenyakitan tadi bertanya, “Salju bagus, kembang bagus, arak bagus. Kenapa kau tidak minum secawan?”

“Aku tidak minum arak,” jawab pemuda tampan itu.

Pemuda berpenyakitan berkata, “Kita jauh-jauh datang ke sini, dan kau tidak mau minum arak. Kau tidak memperdulikan lembah bersalju yang indah dan ribuan bunga bwe yang sedang mekar di sini.”

Dia lalu menghela napas dan bergumam, “Orang ini benar-benar kelewatan. Sungguh menyebalkan, kenapa aku berteman dengan dia?”

Si pemuda penggali tanah masih duduk melamun. Pemuda berpenyakitan itu tiba-tiba bangkit berdiri, berjalan menghampiri dan mengelilingi lubang itu beberapa kali. Lalu dia berkata, “Lubang bagus.”

Si pemuda penggali tanah cuma diam saja.

Pemuda berpenyakitan lalu meneruskan, “Lubang ini digali dengan bagus.”

Pemuda penggali tanah tetap diam tak memperdulikannya.

Maka pemuda berpenyakitan itu lalu beranjak ke hadapannya dan bertanya, “Apa kau yang menggali lubang ini?”

Pemuda penggali tanah itu tidak bisa diam lagi. Dia terpaksa berkata, “Ya.”

Pemuda berpenyakitan bertanya pula, “Tadi kubilang lubang ini digali dengan bagus. Apa kau tahu maksudku?”

“Kau ingin aku minum arak denganmu,” jawab pemuda penggali tanah.

Sambil tertawa, pemuda berpenyakitan berkata, “Kau bukan cuma bisa menggali tanah, tapi kau juga bisa menebak maksud hati orang lain.”

“Sayangnya, aku tidak mau minum,” kata pemuda penggali tanah.

Pemuda berpenyakitan tertawa lebar dan bertanya, “Kau tidak pernah minum?”

Pemuda penggali tanah menjawab, “Jika sedang senang, aku minum. Tapi jika tidak, buat apa minum?”

Pemuda berpenyakitan bertanya, “Dan sekarang, kenapa kau tidak mau minum?”

“Karena sekarang aku sedang susah, aku tidak mau minum,” jawab si pemuda penggali tanah ketus.

Walaupun demikian, pemuda berpenyakitan itu tetap tertawa dan berkata, “Sekarang aku tahu siapa kau. Sudah sering kudengar orang mengatakan bahwa watak Gin-jio Kongcu persis seperti tombaknya, lurus dan keras. Kau tentu Khu Hong-seng.”

Pemuda penggali tanah itu tidak menghiraukannya lagi.

Pemuda berpenyakitan tadi berkata, “Aku she Toh, namaku Ceng-lian (Teratai Hijau).”

Khu Hong-seng tetap tidak memperdulikannya, seolah-olah belum pernah mendengar nama itu.

Padahal dia mengenal nama itu. Di antara orang-orang yang berkelana di dunia Kang-ouw, amat sedikit yang tidak mengenal nama ini.

Di dalam Bu-lim, di jaman ini tentu tidak ada orang yang tidak kenal nama Bu-lim-si-toakongcu, empat kongcu ternama – Gin-jio (Tombak Perak), Pek-ma (Kuda Putih), Ang-yap (Daun Merah) dan Ceng-lian (Teratai Hijau). Dia juga tahu bahwa si pemuda tampan yang menunggang kuda putih, bermantel bulu dan membawa pedang panjang itu adalah Pek-ma Kongcu, Ma Ji-liong. Tapi dia pura-pura tidak mengenalnya.

Toh Ceng-lian menghela napas dan berkata, “Agaknya kau telah memutuskan untuk tidak minum hari ini.”

Mendadak terdengar sebuah suara yang nyaring dari luar lembah, “Kalau mereka tidak mau minum, biar aku saja.”

Orang yang gemar minum pun tiba. Setelah hujan salju berhenti, hawa malah lebih dingin dari sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian berbulu, tapi tetap saja merasa dingin. Sebaliknya orang ini memakai baju tipis, dan walaupun bahannya bagus, baju itu tidak cocok dipakai dalam udara sedingin ini. Maka dia pun menggigil kedinginan. Tapi, walau udara teramat dingin, dia malah memegang sebuah kipas lempit di tangannya. Guci arak berada di atas meja, begitu pula dengan cawan-cawannya. Mereka melihat dia berjalan ke sana dan mengangkat sebuah guci dengan kedua tangannya. Lalu dia menenggak beberapa teguk. Setelah itu, sambil menghela napas dia berkata, “Arak bagus.”

Toh Ceng-lian tertawa.

Lalu orang itu menenggak sekali lagi dan berkata, “Bukan hanya arak dan kembangnya yang bagus, tapi saljunya juga bagus.” Setelah minum beberapa teguk, dia pun tidak menggigil lagi. Wajahnya mulai bersemu merah.

Walaupun orang ini miskin, dia tidak tampak menyebalkan. Dia justru mampu menarik simpati orang. Alisnya yang panjang lentik dan bola matanya yang cemerlang tampak menyenangkan. Bila tersenyum, sudut mulutnya terangkat, dua lesung pipi pun tampak menghiasi wajahnya. Toh Ceng-lian mulai menyukainya.

Orang ini benar-benar menyenangkan.

Orang ini juga berkata, “Dengan perasaan seperti ini, pemandangan yang seperti ini, di saat seperti ini, orang yang tidak mau minum seharusnya.....”

Toh Ceng-lian berkata, “Seharusnya.... apa?”

“Seharusnya dipukul pantatnya,” jawab orang itu.

Toh Ceng-lian tertawa terbahak-bahak. Pemuda penggali tanah itu tetap pura-pura tidak mendengar dan membisu. Kecuali orang yang sedang dia khawatirkan dan persoalan yang sedang membuatnya bingung dan gundah, dia tidak perduli pada urusan lain.

Walaupun Ma Ji-liong mengerutkan keningnya karena gusar, namun dia masih menahan sabar. Bukannya dia tidak berani. Dia cuma tidak mau menurunkan martabatnya dan bersikap kasar seperti orang ini.

Tapi pemuda yang baru datang itu justru mendekati dirinya. Sambil menepuk guci arak, dia berkata, “Ayo, kau pun minum secawan.”

“Kau tidak setimpal,” kata Ma Ji-liong dengan dingin.

Orang itu bertanya, “Oh, orang macam apa yang cukup setimpal untuk minum denganmu?”

“Orang macam apakah kau?” kata Ma Ji-liong.

Orang itu tidak menjawab. Malah, “sret!”, dia membuka lebar-lebar kipas di tangannya. Di kipas itu tertulis beberapa huruf. Tulisan itu sangat indah, amat berseni, persis seperti dirinya sendiri.

“Daun-daun di musim gugur lebih merah daripada bunga-bunga di bulan dua.”

Walaupun orang ini miskin, kipasnya itu jelas merupakan barang berkualitas tinggi. Selain itu, huruf-huruf di kipasnya pun tentu ditulis oleh seorang seniman ternama.

Toh Ceng-lian menenggak secawan arak lagi dan berkata, “Tulisan yang bagus.”

Orang itu mengangkat guci arak dan menenggak isinya. Lalu dia berkata, “Pandanganmu tajam juga.”

Toh Ceng-lian berkata, “Siapa yang menulis huruf-huruf itu?”

Orang itu menjawab, “Kecuali aku, siapa lagi yang bisa menulis sebagus itu?”

“Sekarang aku juga tahu siapa kau,” kata Toh Ceng-lian sambil tertawa tergelak.

Orang itu berseru, “Oh, benarkah begitu?”

Toh Ceng-lian melanjutkan, “Kecuali Sim Ang-yap, siapa lagi yang segila dirimu?”

Di antara Bu-lim-si-toakongcu itu, yang paling angkuh adalah Pek-ma (Kuda Putih) Ma Ji-liong. Yang paling keras wataknya adalah Gin-jio (Tombak Perak). Toh Ceng-lian adalah yang berhati paling hangat. Dan yang paling edan adalah Sim Ang-yap.

Tiga orang pertama – Ma, Khu dan Toh – berasal dari keluarga ternama. Sementara Kuda Putih, Tombak Perak dan Teratai Hijau adalah kongcu-kongcu yang berasal dari keluarga terkenal dan baik-baik, asal-usul Sim Ang-yap sendiri benar-benar misterius.

Menurut cerita, dia adalah keturunan dari pendekar nomor satu di jaman dulu, Sim Long.

Juga dikabarkan bahwa sahabat karib Siau Li Tam-hoa (Li Sun-hoan) – dan jago pedang tercepat di dunia – Ah Fei, adalah leluhurnya.

Sejarah hidup Ah Fei sendiri merupakan teka-teki, dan karena itu pula kisah hidup Sim Ang-yap juga merupakan teka-teki. Dia sendiri tidak pernah bercerita tentang asal-usulnya. Orang mencantumkan dirinya dalam Bu-lim-si-toa-kongcu karena dia dibesarkan dalam keluarga Yap. Keluarga Yap yang dimaksud tentu saja keluarga Yap Kay. Dan Yap Kay adalah murid Siau Li Tam-hoa. - Siapakah Siau Li si Pisau Terbang? Siapa yang tidak tahu tentang pendekar besar itu?

Saat ini Bu-lim-si-toakongcu sudah datang semua. Tapi bukan maksud mereka untuk bertemu di sini. Tempat ini letaknya ribuan li dari rumah mereka. Toh Ceng-lian memiliki selera yang tinggi, tidak mungkin dia mau menempuh perjalanan ribuan li hanya untuk menikmati panorama bunga bwe yang indah dan minum arak.

Khu Hong-seng juga tidak mungkin menempuh perjalanan jauh dan hanya duduk di situ untuk menunggu ajalnya. Jika orang ingin mati, di tempat mana pun bisa. Kenapa mereka semua datang ke sini? Untuk apa?

Dengan sikap dingin, Ma Ji-liong duduk di sana, bertingkah seolah-olah nama Sim Ang-yap tidak berarti apa-apa buat dirinya. Tapi tangannya telah bergerak meraba gagang pedangnya. Dia menatap Sim Ang-yap dengan dingin dan mendadak berkata, “Bagus sekali.”

Sim Ang-yap bertanya, “Apanya yang bagus sekali?”

“Kau adalah Sim Ang-yap. Itu bagus sekali,” jawab Ma Ji-liong.

Sim Ang-yap bertanya, “Kenapa begitu?”

“Mulanya aku menganggap dirimu tidak berharga, tidak setimpal bagiku untuk mencabut pedangku. Pedangku tidak pernah membunuh seorang badut,” jawab Ma Ji-liong.

Sim Ang-yap melanjutkan, “Dan sekarang?”

Ma Ji-liong berkata, “Sim Ang-yap bukan badut. Maka, jika sekarang kau menyemprotkan kata-kata kotor, di antara kau dan aku akan terjadi pertumpahan darah dan harus ada yang mati.”

Sambil tersenyum pahit, Sim Ang-yap menghela napas dan berkata, “Aku cuma meminta kau untuk minum arak denganku, dan kau sudah sebegitu marahnya!”

Toh Ceng-lian menyela, “Dia tidak mau minum. Tapi aku mau.” Lalu dia merebut guci arak dari tangan Sim Ang-yap, membuka mulutnya dan menenggak beberapa teguk. Sambil terbatuk, dia berkata, “Arak bagus.”

Sim Ang-yap merampas guci itu kembali dari tangannya dan minum beberapa teguk. Sambil menghela napas, dia berkata, “Arak seperti ini, biarpun diracuni juga akan tetap kuminum sampai mati.”

Toh Ceng-lian terkekeh dan berkata, “Benar sekali. Jika kita bisa mati di sini sekarang, itulah nasib kita yang bagus.”

Sim Ang-yap bertanya, “Kenapa begitu?”

“Karena... di sini sudah ada orang yang menggali liang lahatnya,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap bertanya lagi, “Baguskah liang lahat itu?”

“Bagus sekali,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap mendadak bangkit, sambil membawa guci arak dengan kedua tangannya, dia mengelilingi lubang di tanah itu beberapa kali. Lalu dia bergumam, “Benar, ini liang yang amat bagus. Jika orang mati dan dikuburkan dalam liang yang bagus seperti ini, dia benar-benar bernasib mujur.”

“Sayangnya dia bukan menggali liang ini untuk kita,” kata Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap berkata, “Cuma orang mati yang menggunakan liang seperti ini. Apakah dia ingin mati?”

“Agaknya begitu,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap tampak kaget dan berkata, “Orang ini kenapa ingin mati?”

“Karena, seperti kita, dia sudah menerima sepucuk surat yang mengundangnya untuk datang ke sini hari ini.”

Sim Ang-yap bertanya, “Apakah surat yang dikirimkan oleh Bik-giok Hujin itu?”

Toh Ceng-lian menjawab, “Tentu saja.”

Sim Ang-yap berkata, “Bik-giok Hujin mengundang kita semua datang ke sini. Apakah karena dia ingin agar salah seorang dari kita menjadi menantunya?”

“Benar,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap melanjutkan, “Bik-giok Hujin adalah jago kosen yang paling terkenal di dunia. Di Bik-giok-san-ceng, semua penghuninya adalah perempuan-perempuan yang amat cantik. Saat menerima surat itu, aku merasa begitu senangnya hingga tidak bisa tidur.”

“Aku bisa membayangkannya,” balas Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap berkata, “Jika dia memilihku sebagai menantunya, kurasa aku bisa gila saking senangnya.”

“Sebaiknya kau jangan menjadi gila. Bik-giok Hujin tidak mau menantunya menjadi gila,” kata Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap bertanya, “Apakah dia mau mengambil orang mati sebagai menantunya?”

“Tentu saja tidak,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap bertanya lagi, “Kalau begitu, kenapa Khu-kongcu kita mendadak ingin mati di sini?”

Toh Ceng-lian berkata, “Karena dia adalah pemuda yang romantis. Ia sudah bertunangan dengan seorang nona muda yang cantik dan bersumpah setia sampai mati.” Ia menghela napas dan meneruskan, “Jika Bik-giok Hujin memilih dia menjadi menantunya, dia tidak akan bisa hidup bersama nona itu lagi.”

“Jadi, jika Bik-giok Hujin mengambilnya sebagai menantu, maka dia akan mati di sini,” tebak Sim Ang-yap.

“Benar sekali,” jawab Toh Ceng-lian.

“Tapi persoalan ini masih bisa dilihat dari sudut pandang lain,” kata Sim Ang-yap setelah berpikir sejenak.

Toh Ceng-lian bertanya, “Sudut pandang apa?”

Sim Ang-yap berkata, “Apakah menurutmu Bik-giok Hujin bisa melihat liang ini?”

Toh Ceng-lian terkekeh dan berkata, “Liang ini begitu besar. Walaupun orang tidak ingin melihatnya, rasanya hal itu sulit untuk dihindari.”

“Jika dia melihat liang ini, dia akan menyadari bahwa Khu-kongcu sudah bertekad untuk mati. Tidak mustahil dia akan membebaskannya pergi dan memilihku sebagai menantu Bik-giok-san-ceng,” kata Sim Ang-yap.

Sambil menghela napas, Toh Ceng-lian menjawab, “Kau benar-benar orang yang cerdas. Sudut pandang orang cerdas memang selalu berbeda dengan orang lain, apalagi dengan orang romantis.”

“Orang romantis belum tentu tidak cerdas,” kata Sim Ang-yap sambil tertawa tergelak.

Rona muka Khu Hong-seng sudah berubah. Tiba-tiba dia berdiri dan menatap Toh Ceng-lian. Lalu dia bertanya, “Kenapa kau bisa tahu semua ini?” Ini adalah rahasia, dan cuma dua orang yang tahu tentang hal ini. Tapi ucapannya itu telah mengukuhkan bahwa kata-kata Toh Ceng-lian memang benar.

Sambil menghela napas, Toh Ceng-lian berkata, “Kau tidak menyangka kalau aku pun tahu hal ini, bukan?”

“Ya, aku tidak mengira, kau tahu dari siapa?” tanya Khu Hong-seng.

“Semula aku juga tidak tahu, sayangnya nona cantik itu...”

Dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Mendadak muncul mimik yang aneh di wajahnya. Mukanya yang semula pucat mendadak berubah menjadi gelap. Dia menatap Sim Ang-yap dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar.

Sim Ang-yap berkata, “Apakah kau...” Suaranya pun mendadak hilang setelah beberapa patah kata itu.

Mimik mukanya tampak aneh. Kedua orang itu berdiri saling berpandang-pandangan, sorot mata mereka menampilkan perasaan takut yang teramat sangat.

“Plok!”, guci arak Sim Ang-yap terlepas dari genggaman tangannya dan jatuh ke dalam liang, pecah berantakan.

Mendadak, dengan senyum yang sedih dan misterius di wajahnya, sepatah demi sepatah kata dia berujar dengan serak, “Agaknya nasibku lebih baik darimu. Aku berdiri di pinggir liang ini...” Ini adalah kata-kata terakhirnya. Dan belum habis bicara, tubuhnya sudah jatuh ke dalam liang. Walaupun liang lahat itu bukan dipersiapkan untuknya, tapi dia sudah masuk lebih dulu. Memangnya orang hidup mau berebut liang lahat dengan orang mati?