image
image
image

Bab 6

Mangkok Pecah

image

GADIS ini bernama Toa-hoan. Walaupun mukanya galak dan buruk, tangannya ternyata lebih indah daripada tangan sebagian besar gadis. Dan walaupun matanya kecil dan sipit, bila tersenyum, mata itu ternyata amat lembut, seperti air mata air yang mengalir dalam sinar matahari.

Kata-katanya pendek dan lugas, tapi jika orang benar-benar memikirkannya, kata-kata itu seperti menyampaikan pesan yang mendalam.

Dan meskipun dia bisa membuat orang “tak bisa tertawa tak bisa menangis” dan sikapnya sering tak masuk di akal, orang-orang kemudian akan menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Jika dia tidak memakai mantel bulu Ma Ji-liong dan membawa pergi kuda putihnya, dia mungkin tidak bisa hidup sampai sekarang.

Mungkin sekali dia sudah mendengar persoalan ini dari Pang Tio-hoan. Tapi dia tetap tidak memperlakukan pemuda itu sebagai pembunuh berdarah dingin. Jika sekarang ada orang yang bersedia menjadi temannya di dunia ini, mungkin dialah orangnya. Tapi sebenarnya, siapakah dia?

Mendadak Ma Ji-liong berkata, “Kau orang yang baik.”

Dia menghela napas lagi, “Sebelumnya aku selalu menganggapmu aneh. Baru sekarang aku tahu bahwa kau adalah orang yang baik.”

“Bagaimana kau tahu kalau aku orang yang baik?” Toa-hoan bertanya.

“Aku belum bisa mengatakannya, tapi aku tahu,” jawab Ma Ji-liong.

Lalu dia menuangkan semangkok arak untuk si nona. Dia berkata, “Ayo, aku pun menggunakan mangkok besar (toa hoan) untuk menghormatimu.”

Anehnya, Toa-hoan benar-benar meminum semangkok besar arak itu. Dia minum dengan gembira.

Tiba-tiba Ma Ji-liong bertanya lagi, “Kau bernama Toa-hoan. Apakah ada hubungannya dengan Siau-hoan?”

“Tidak,” jawab Toa-hoan.

“Sayang,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan bertanya, “Kenapa? Apakah karena kau ingin bertemu dengan Siau-hoan?”

“Aku benar-benar ingin bertemu dengannya,” jawab Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, “Sayangnya kau tidak bisa menemukannya.”

Ma Ji-liong tersenyum dipaksa dan berkata, “Sayangnya dia bukan bernama Toa-hoan.”

“Kenapa harus disayangkan?” Toa-hoan berkata.

Ma Ji-liong menjawab, “Jika namanya adalah Toa-hoan, tentu mudah menemukannya. Sayangnya dia bernama Siau-hoan.”

Lalu dia menjelaskan, “Tidak mungkin banyak gadis yang bernama Toa-hoan, tapi yang bernama Siau-hoan pasti lebih sedikit lagi. Aku cuma tahu bahwa namanya Siau-hoan. Bagaimana aku bisa menemukannya?”

Toa-hoan berkata, “Walaupun kau tidak bisa menemukannya, tapi selalu ada orang yang bisa.”

“Siapa yang bisa menemukannya?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan tidak menjawab. Dia malah bertanya, “Berapa banyak yang sudah kau minum hari ini?”

Ma Ji-liong berkata, “Delapan mangkok, delapan mangkok besar.”

“Kau masih bisa minum semangkok lagi?” Toa-hoan bertanya.

“Tak tahu,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, “Apa kau masih sanggup minum banyak lagi?”

Ma Ji-liong berkata, “Entahlah... Biasanya aku minum tidak menggunakan mangkok.”

“Apa yang kau gunakan?” Toa-hoan bertanya.

“Aku minum dari guci arak,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan tertawa.

“Kau kira aku membual?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan berkata, “Jika kemampuan minum arakmu benar-benar hebat, aku bisa membawamu menemui seseorang.”

“Siapa?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan menjawab, “Seseorang yang tidak minum dari mangkok kecil (siau hoan) tapi pasti bisa menemukan Siau-hoan itu.”

“Lalu dia minum pakai apa?” Ma Ji-liong bertanya.

“Mangkok pecah,” Toa-hoan menjawab.

Ma Ji-liong berkata, “Jika dia minum dari mangkok pecah, maka dia bernama Boa-hoan (Mangkok Pecah), bukan?”

“Aku terkejut melihatmu semakin cerdas,” kata Toa-hoan dengan senang.

Dengan mata bersinar-sinar, Ma Ji-liong berkata, “Mangkok pecahmu ini, apakah dia bukannya Boa-hoan Ji Ngo?”

“Siapa lagi kalau bukan dia?” Toa-hoan berkata.

***

image

Selain dia, memang tidak ada orang lain. Pasti tidak ada orang lain seperti dia. Tidak ada orang yang bisa minum seperti dia, dan tidak ada orang yang memahami arak lebih baik darinya. Tak seorang pun yang bisa menandingi kemampuannya makan, dan tak seorang pun yang sangat pilih-pilih soal makanan seperti dia.

Tapi dia bukan cuma terkenal dengan kemampuan makan dan minumnya. Dulu, jago nomor satu di dunia Kang-ouw – Yap Kay – pernah menguraikan dirinya sebagai berikut, “Semiskin debu, sekaya satu negara, terkenal ke seluruh dunia, tapi tidak seorang pun yang bisa mengenalinya.”

Menggunakan kata-kata ini untuk menjelaskan tentang dirinya adalah yang paling tepat. Garam adalah sumber kekayaan terbesar di dunia, dan perdagangan yang paling cepat menghasilkan uang adalah yang berhubungan dengan minyak dan beras, sutera, kayu dan toko gadai. Keluarga Ji di Kanglam bukan hanya merupakan pedagang garam terbesar, keluarga ini juga terkenal dalam keempat usaha lainnya. Mereka tentu saja termasuk orang terkaya di antara orang-orang kaya. Kekayaan mereka sama dengan kekayaan satu negara.

Keluarga Ji dari Kanglam terdiri dari lima bersaudara, dan Ji Ngo adalah orang kelima.

Orang paling miskin di dunia tentu saja pengemis. Ji Ngo juga salah seorang dari tetua para pengemis, dan ketua partai pengemis yang sekarang. Walaupun namanya menonjol di dalam Bulim, tapi tidak banyak orang yang pernah bertemu dengannya, dan dia biasanya tidak dikenal orang. Tapi anak-buahnya adalah pengemis-pengemis di seluruh dunia, baik yang berada di sebelah utara dan selatan sungai Tiangkang. Dan karena itu, jika orang ingin menemukan seseorang yang tidak bisa ditemukan, maka orang itu harus pergi mencarinya.

“Kau bisa menemukan dia?” Ma Ji-liong bertanya.

“Jika aku tidak bisa, lalu siapa yang bisa?” Toa-hoan menjawab.

Ma Ji-liong bertanya, “Kau tahu di mana dia berada?”

Toa-hoan berkata, “Seharusnya kau tahu. Dia tentu saja berada di sebuah tempat di mana dia bisa makan dan minum.”

Bagi pengemis, seluruh dunia adalah rumah mereka. Di mana ada makanan, maka mereka pun makan di sana. Tempat mana pun adalah tempat yang baik untuk makan, dan tempat mana pun juga baik untuk minum. Banyak tempat yang bisa dipakai untuk makan dan minum, dan di mana-mana juga ada warung makanan dan warung arak yang kecil.

Toa-hoan membawanya ke sebuah rumah makan yang sangat kecil. Itulah rumah makan yang benar-benar sempit, cuma ada dua buah meja rusak dan beberapa buah kursi yang berantakan di dalamnya.

Ma Ji-liong melangkah melewati ambang pintu dan tercium olehnya bau yang busuk. Di atas salah satu meja kecil tersedia beberapa macam sayur asin yang warnanya sudah berubah. Selain itu sayur itu pun tampak kering dan keras seperti setumpuk batu yang diambil dari selokan. Meskipun orang yang hampir mati kelaparan, dia tentu tidak berani mencicipinya. Dengan melihat sayur asin ini saja, orang bisa membayangkan bagaimana rumah makan ini dijalankan. Walaupun Ji Ngo seorang pengemis, dia adalah ketua partai pengemis yang paling bersih dan paling pilih-pilih soal makanan. Dalam urusan makan, dia tidak pernah sembarangan. Bagaimana mungkin dia mau datang ke tempat ini untuk makan dan minum?

Di tempat ini tidak ada tamu, dan seorang pelayan tua tampak sedang tidur lelap. Toa-hoan berjalan menghampiri dan membisikkan beberapa patah kata ke telinganya. Dia segera bangun, sepasang matanya yang tadi seperti linglung tiba-tiba tampak bersinar dengan terangnya. Dunia kang-ouw memang penuh dengan harimau mendekam dan naga bersembunyi. Mungkinkah orang tua ini juga seorang jago Bulim yang sedang menyamar?

Dia terus mengawasi Toa-hoan dengan cara yang amat aneh. Jelas dia bersikap setengah hormat dan setengah gembira, seperti seorang bocah yang tiba-tiba bertemu dengan seorang idola yang sudah lama dikaguminya. Ma Ji-liong berwajah tampan, dan di seluruh dunia Kang-ouw orang yang tampan seperti dirinya adalah langka. Biasanya dia akan menarik perhatian orang ke mana pun dia pergi. Tetapi, anehnya, orang tua ini bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Berdiri di samping Toa-hoan, dia seperti dianggap tidak ada. Ma Ji-liong merasa pengalaman ini sangat menarik.

Orang tua itu tiba-tiba menghela napas dalam-dalam. Lalu dia bergumam, “Aku tidak mengira, aku tidak menyangka. Aku sama sekali tidak menduga.”

Toa-hoan berkata, “Kau tidak menyangka aku akan berada di sini?”

Orang tua itu menjawab, “Hamba mendapat kesempatan untuk bertemu dengan nona, hidupku ini tidak akan sia-sia.”

Tiba-tiba dia berlutut, menjatuhkan dirinya ke lantai, dan merangkak untuk mencium kaki Toa-hoan. Sikapnya amat mirip dengan seorang pejabat pemerintah setia yang sedang memberi hormat pada kaisarnya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkata, “Ji Ngo sedang berada di dapur, di belakang. Silakan ikuti hamba.”

Ma Ji-liong merasa sangat aneh. Bagaimanakah asal-usul gadis buruk rupa yang aneh ini? Orang itu memberinya hormat seperti ini. Dia pun menerimanya tanpa canggung sedikit pun, seolah-olah dia sudah menduganya.

Toa-hoan tahu apa yang sedang dia pikirkan, maka ia berkata dengan lembut, “Dulu orang tua ini pernah bekerja untuk kami sebagai pelayan di dapur. Adat-istiadat di dalam keluarga kami memang selalu ketat.”

Ma Ji-liong ingin bertanya, “Jadi pelayan dalam keluarga kalian harus mencium kakimu bila mereka melihatmu? Bahkan di istana kaisar tidak ada adat-istiadat seperti itu.” Tapi dia tidak sempat mengatakannya karena mereka telah berjalan memasuki dapur.

Tidak seorang pun bisa menduga bahwa rumah makan kecil dan bau ini akan mempunyai dapur seperti ini. Ruangan dapur itu luas, bersih dan berkilauan. Semuanya tertata rapi. Piring dan mangkok lebih mengkilap daripada cermin, dan bahkan tidak setitik debu pun yang terlihat di tungku pembakaran. Thian-ma-tong adalah rumah milik keluarga bangsawan, di mana orang-orangnya tidak mau makan sembarangan. Tetapi dapurnya bahkan tidak sebersih dan seluas ini.

Tampak seseorang sedang memasak makanan di dapur. Bila orang sedang menggoreng sesuatu, sikapnya tentu tidak kelihatan agung. Tapi orang ini merupakan kekecualian. Di tangannya tergenggam sebuah sudip, tapi dia terlihat seperti Bu Tau-ji – pelukis terbesar sepanjang masa – yang sedang memegang kuas, atau Sebun Jui-soat – jago pedang yang unik dan termasyur itu – sedang memegang pedangnya. Sikap dan gerak-geriknya bukan saja indah, dia pun benar-benar asyik dengan masakannya.

Dia sedang menggoreng tahu, tahu isi udang. Karena sekarang tahu-tahu itu belum selesai digoreng, maka orang tua tadi hanya berdiri saja di belakangnya, tidak berani mengusik. Anehnya Toa-hoan juga tidak mengganggunya. Orang itu bertubuh sedang, dengan wajah yang halus dan cerah. Dan meskipun penuh dengan tambalan, bajunya yang panjang itu bersih tak bernoda. Dia seperti seorang laki-laki terpelajar.

Ma Ji-liong tak sanggup berdiam diri terus. Dia lalu bertanya, “Apakah dia adalah Kanglam Ji Ngo?”

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Siapa lagi kalau bukan dia?”

Tahu itu sudah selesai digoreng, dan periuk pun telah dipindahkan dari atas api. Dia lalu menggunakan sudip untuk mengambil tahu itu satu demi satu. Setiap potongnya dimasak dengan baik. Dimasak dengan suhu yang rendah, tahu-tahu itu sudah berwarna kuning, ditumpuk di atas sebuah piring porselen berwarna putih seperti salju, tampak seperti gumpalan-gumpalan emas. Tapi gumpalan emas pasti tidak harum dan mengundang selera seperti ini. Dia memandang tahu-tahu itu dan tampak sangat puas pada dirinya sendiri. Lalu dia gunakan kedua tangannya untuk meletakkan piring tadi di atas sebuah meja kayu yang tidak bernoda. Lalu dia menghela napas dan mengangkat kepalanya.

Akhirnya dia melihat Toa-hoan dan berkata, “Kau rupanya.”

“Ini aku,” Toa-hoan berkata sambil tertawa terbahak-bahak. Dia tidak memperlihatkan penampilan yang memuakkan lagi. “Aku terkejut Ji Ngo mengenaliku.”

Ji Ngo bersikap hangat kepadanya. Dia berkata, “Apa hari ini kau sudah minum?”

“Baru sedikit,” jawab Toa-hoan.

Ji Ngo berkata, “Bagus, bagus sekali. Aku baru saja hendak mencari orang yang bisa menemaniku minum.”

Sambil terkekeh dia berkata, “Minum arak itu seperti main catur. Perlu dua orang baru menarik.”

Ji Ngo akhirnya menatap Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, “Apakah dia juga minum? Bisakah dia minum?”

“Kudengar kekuatan minum araknya cukup bagus,” jawab Toa-hoan.

“Siapa yang bilang?” Ji Ngo bertanya.

Toa-hoan berkata, “Dia sendiri yang mengatakannya.”

Ji Ngo bertanya, “Dia berkata begitu dan kau percaya begitu saja?”

“Kenapa kau tidak mencoba dan melihatnya sendiri?” Toa-hoan berkata.

“Bagus, bagus sekali,” Ji Ngo terkekeh.

Tahu itu sangat enak. Ma Ji-liong sampai lupa menjaga sopan-santun. Dengan sekali telan dia sudah menghabiskan tiga potong. Setiap potongnya diikuti dengan semangkok arak. Dalam sekejap dia sudah minum tiga mangkok, tiga mangkok besar. Ji Ngo juga sudah minum tiga mangkok.

Ji Ngo benar-benar menggunakan sebuah mangkok yang pecah, mangkok pecah yang sangat besar. Mangkok itu pecah menjadi tiga keping yang kemudian direkatkan kembali. Mangkok itu berwarna biru terang, seperti warna langit setelah badai reda.

Tiba-tiba Ma Ji-liong berkata, “Mangkok yang bagus.”

“Kau tahu ini mangkok yang bagus?” Ji Ngo bertanya.

Ma Ji-liong menjawab, “Mangkok ini dibuat oleh Chaifu, mangkok terbaik yang pernah keluar dari tempat pembakaran. Kecuali sebuah yang ada di istana kaisar, pasti tidak ada mangkok lain seperti ini di dunia ini.”

Ji Ngo berkata, “Benar, memang cuma ada dua mangkok seperti ini di dunia ini.”

Dia memandang Ma Ji-liong dan terkekeh, “Ternyata pandangan matamu cukup bagus. Kau bukan hanya pandai melihat orang, kau pun pintar melihat mangkok.”

“Bila melihat orang, pandangan matanya tidak begitu bagus,” Toa-hoan berkata dengan dingin.

Sambil tertawa terbahak-bahak, Ji Ngo berkata, “Jika dia tidak pandai melihat orang, kenapa dia bisa menyukaimu?”

Toa-hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Wajah Ma Ji-liong sendiri sudah memerah sedikit.

Tiba-tiba Ji Ngo berkata, “Kalian berdua datang ke sini. Tujuan kalian tentunya bukan untuk minum arak denganku.”

“Aku ingin mencari seseorang, tapi aku tidak tahu di mana dia berada,” kata Ma Ji-liong.

“Kau ingin aku membantu menemukannya, bukan?” Ji Ngo bertanya.

“Benar!” Ma Ji-liong menjawab.

Ji Ngo bertanya, “Siapa yang ingin kau temukan itu?”

“Namanya Siau-hoan,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo tertawa dengan kerasnya. Dia berkata, “Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan. Kau sudah mendapatkan gadis 'hoan' yang ini, kenapa kau harus mencari Siau-hoan lagi?”

Pengamatan pendekar terkenal ini jelas tidak begitu bagus. Dia mengira Ma ji-liong adalah kekasih Toa-hoan.

Melihat kedua orang itu, yang satunya sangat buruk rupa, yang lainnya amat tampan. Seharusnya dia dapat melihat bahwa mereka tidak sebanding.

Toa-hoan sengaja bertanya, “Kenapa Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan?”

Ji Ngo berkata, “Apabila kau ingin makan atau minum, mangkok kecil (siau hoan) tidak bisa menampung sebanyak mangkok besar (toa hoan). Jadi Siau-hoan jelas kalah bila dibandingkan dengan Toa-hoan.”

“Bagaimana dengan mangkok pecah (boa hoan)?” Toa-hoan bertanya.

“Mangkok pecah bahkan lebih baik daripada mangkok besar,” Ji Ngo berkata.

Toa-hoan bertanya, “Kenapa begitu?”

Ji Ngo berkata, “Mangkok yang pecah berarti mangkok itu sudah melalui hal yang baik dan buruk. Seperti manusia, orang harus melalui tantangan hidup untuk menjadi tua. Pengalaman orang tua selalu lebih banyak daripada pengalaman seorang bocah, seperti jahe yang makin tua semakin pedas.”

Lalu dia mengangkat mangkok pecahnya dan meneguk habis araknya. Sambil tertawa terbahak-bahak, dia lalu berkata, “Dan itulah sebabnya mangkok pecah lebih baik daripada mangkok besar.”

Toa-hoan juga tertawa. Dia berkata, “Untunglah kita bicara tentang manusia, bukan mangkok. Siau-hoan yang ini bukan hanya lebih baik daripada Toa-hoan, dia juga lebih baik daripada boa-hoan (mangkok pecah).”

“Oh, ya?” Ji Ngo berkata.

Toa-hoan berkata pula, “Siau-hoan ini adalah gadis yang sangat cantik. Selain itu dia juga lembut dan penuh kasih sayang.”

“Bagaimana kau tahu?” Ji Ngo bertanya.

Toa-hoan menjelaskan, “Karena dia adalah kekasih Khu Hong-seng. Tentu saja gadisnya si Tombak Perak tidak mungkin makhluk yang buruk dan aneh seperti diriku.”

Ji Ngo tertawa dan berkata, “Siau-hoan ini rupanya milik orang lain. Tak heran kenapa kau biarkan aku membantu dia menemukannya.”

Dia tidak membiarkan Ma Ji-liong membantah, dia juga tidak bertanya lagi.

Tiba-tiba dia berkata, “Ayo kita buat perjanjian.”

“Perjanjian apa?” Ma Ji-liong bertanya.

Ji Ngo menjawab, “Kau tinggal di sini dan minum bersamaku, dengan menggunakan mangkok besar. Lalu akan kuberitahukan cara menemukan Siau-hoan ini padamu.”

“Baik,” kata Ma Ji-liong.

“Dalam tiga hari, aku akan mendapatkan berita untukmu,” Ji Ngo berkata.

“Aku akan tinggal di sini menemanimu minum selama tiga hari,” Ma Ji-liong menegaskan.

Ji Ngo berkata, “Dengan mangkok besar?”

“Tentu saja menggunakan mangkok besar,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo berkata, “Dan kau bertanding minum denganku?”

“Tentu,” jawab Ma Ji-liong.

Ji Ngo menatapnya sekian lama. Lalu dia bertanya lagi, “Apakah kau tahu kemampuan terbaikku?”

“Katakanlah,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo berkata, “Kemampuan terbaikku adalah makan, minum dan tidur.”

Ma Ji-liong berkata, “Aku tidak tahu dengan makan dan tidur, tapi minum.... aku akan menandingimu.”

Ji Ngo bertanya, “Kau tidak takut mabuk?”

Ma Ji-liong menjawab, “Biarpun mabuk sampai mati, aku tetap akan minum.”

Ji Ngo tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, “Bagus, benar-benar bagus.”

Di dunia ini ada orang yang lebih suka mati daripada menyerah kalah. Ma Ji-liong tentu saja termasuk orang seperti ini.

Melihat mereka berdua menenggak minuman mereka terus-menerus, Toa-hoan pun menghela napas dan berkata, “Saat pergi dari rumah, ibuku sudah memperingatkan aku agar tidak mabuk atau bercampur-baur dengan orang-orang mabuk. Dia bilang – semua pemabuk di dunia ini sama saja. Mereka bukan saja tidak tahu siapa diri mereka, mereka juga selalu bertindak bodoh dan tak masuk akal terhadap orang lain.”

Toa-hoan melanjutkan lagi, “Dan kemudian dia berkata – bila bertemu dengan seorang pemabuk, yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis yang cerdik adalah pergi jauh-jauh secepatnya.”

Ma Ji-liong berkata, “Benar.” Dia minum semangkok lagi dan berkata, “Benar sekali.”

“Dua orang pemabuk tentu saja lebih buruk daripada seorang,” kata Toa-hoan.

Ji Ngo berkata, “Benar.” Dia juga minum semangkok lagi dan berkata, “Satu-satunya yang lebih buruk daripada satu orang pemabuk adalah dua orang pemabuk.”

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Sayangnya aku segera akan bertemu dengan dua orang pemabuk.”

Ji Ngo bertanya, “Di mana? Di mana ada dua orang pemabuk?”

Toa-hoan berkata, “Agaknya akan ada di sini, tepat di hadapanku.”

Ji Ngo memandang Ma Ji-liong. Ma Ji-liong memandang Ji Ngo. Dan mereka berdua lalu tertawa terbahak-bahak.

“Ibuku cuma menyuruhku lari bila bertemu dengan seorang pemabuk. Dia tidak memberitahu apa yang harus kulakukan jika bertemu dengan dua orang pemabuk.” Sambil tertawa cekikikan, dia berkata, “Untunglah aku menemukan jalan keluarnya.”

Ji Ngo bertanya, “Apa itu?”

“Aku harus mabuk juga.” Dia menenggak semangkok besar dengan cepat. “Jika aku mabuk, aku tidak perlu takut pada pemabuk lagi.”

Ji Ngo bertepuk tangan dan berkata, “Benar.”

“Tapi ada satu hal lagi,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo bertanya, “Apa itu?”

Ma Ji-liong berkata, “Bukankah tiga orang pemabuk lebih buruk daripada dua orang pemabuk?”

Ji Ngo berkata, “Tentu saja.” Lalu dia menghela napas, “Di dunia ini, kurasa satu-satunya yang lebih buruk daripada dua orang pemabuk mungkin adalah tiga orang pemabuk.”

“Dan sekarang aku sudah bertemu tiga orang pemabuk,” kata Ma Ji-liong sambil menghela napas. “Karena aku adalah salah seorang dari mereka.”

Dia sendiri belum mabuk, maka ini bukanlah omongan orang mabuk. Hatinya masih dibanjiri oleh berbagai macam perasaan. Seorang laki-laki tidak bisa melarikan diri dari dirinya sendiri. Kesalahan dan tanggung-jawabnya tak bisa dihindari. Karena semua itu seperti bayangannya sendiri, dari mana orang tidak bisa melarikan diri.