KHU Hong-seng tidak mati. Inilah kali kedua dia berhasil selamat setelah bersinggungan dengan maut. Ma Ji-liong teringat dengan tombak Kim Tin-lin dan bagaimana Khu Hong-seng telah menyembunyikan Giok-pwe itu di dadanya. Saat itu nama Siau-hoan yang digunakan olehnya untuk menjelaskan hal itu. Setiap langkah dan setiap detil rencananya benar-benar dirancang dengan seksama. Dan setiap kalinya dia telah menyediakan perangkap kematian untuk dirinya sendiri sehingga tidak ada orang yang akan mencurigainya.
Sekarang dia telah memuntahkan semua arak beracun itu, setiap orang bisa melihat bahwa dia pasti akan selamat, dan mungkin dia akan hidup lebih lama daripada siapa pun.
Saat itulah perhatian mereka mulai dialihkan pada Ma Ji-liong, dan sorot mata mereka amat mirip dengan senjata yang tajam.
Yang pertama bicara adalah Pang Tio-hoan.
Dia berkata, “Apa lagi yang hendak kau katakan?”
Ma Ji-liong tidak bisa berkata apa-apa. Jika dia mengungkapkan hal yang sebenarnya, siapa yang akan percaya kalau Khu Hong-seng telah mencekik Siau-hoan hingga mati? Siapa yang akan percaya kalau dia telah mengungkapkan rahasianya sendiri? Dan siapa yang akan percaya kalau dia telah meracuni araknya sendiri?
Coat-taysu bertanya dengan dingin, “Apa yang akan kau berikan pada kami kali ini?”
Meskipun Ma Ji-liong punya sebilah pedang mestika di tangannya, setumpuk emas di kantungnya, dan sehelai mantel bulu rubah di tubuhnya, tipuan lamanya tidak akan berhasil lagi.
Coat-taysu berkata, “Bukti kejahatanmu sudah amat banyak, tapi bila kau tidak mengakuinya, kami tidak bisa mengikat tanganmu.”
Ma Ji-liong tahu bahwa dia bukan hanya tidak bisa membersihkan dirinya dari tuduhan, dia pun tidak bisa melarikan diri. Dia sangat paham akan hal ini.
Tapi asalkan dia masih bernapas, dia tidak akan pernah menyerah tanpa bertarung.
Coat-taysu berkata, “Dengan kami berempat berada di sini, menangkapmu akan sama mudahnya dengan memakan kue. Tapi kami tidak mau menang cuma karena jumlah kami lebih banyak darimu.”
“Aku paham,” kata Ma Ji-liong.
“Apa yang kau pahami?” Coat-taysu bertanya.
Ma Ji-liong berkata, “Kau ingin bertarung sendiri denganku dan berharap kau sendiri sudah sanggup membunuhku.”
Lalu dia meneruskan dengan tenang, “Karena membunuh orang adalah hobimu.”
Kalimat ini seperti jarum yang menusuk ke hati lawan. Tapi Coat-taysu tidak perduli.
Dia menyeringai, “Jika kau tidak ingin aku yang membunuhmu, kau boleh memilih siapa pun yang kau inginkan untuk bertarung denganmu.”
“Aku memilihmu,” kata Ma Ji-liong.
“Bagus sekali,” kata Coat-taysu.
Ma Ji-liong berkata, “Benar, seharusnya bukan kau. Walaupun lwekangmu tidak sehebat Cia-go Hwesio dan ilmu pedangmu tidak sebanding dengan Giok-tojin, tapi pengalaman membunuhmu jauh lebih banyak daripada mereka. Dan karena itu caramu membunuh pasti lebih baik daripada mereka.”
Sambil menghela napas, dia melanjutkan, “Sayangnya, meskipun tahu hal ini, aku tetap harus memilihmu.”
Coat-taysu tak tahan lagi dan bertanya, “Kenapa?”
Ma Ji-liong menjawab, “Karena aku selalu berpikir bahwa meskipun kau adalah orang gila yang kejam, keras kepala dan angkuh, aku bisa berharap padamu untuk membawa keadilan dan bila kau menuduh seseorang, maka kau akan bertindak bengis dan tidak akan membiarkan orang itu hidup.”
Suaranya terdengar berduka ketika dia berkata, “Aku memilihmu karena aku harus membunuhmu demi orang-orang yang telah salah dibunuh olehmu. Meskipun aku bukan tandinganmu, aku bisa menjamin bahwa aku punya cara untuk membuat agar kau dan aku gugur bersama.”
Coat-taysu terpaksa bertanya, “Cara apa?”
Mau tak mau dia harus percaya pada Ma Ji-liong. Ekspresi wajahnya mulai berubah. Walaupun dia ingin membunuh Ma Ji-liong, dia sendiri pun takut terbunuh.
Dan dia tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya itu.
Tiba-tiba Ma Ji-liong tertawa terbahak-bahak. Dia berkata, “Sesungguhnya kau tidak sebengis yang orang kira. Kau takut pada kematian seperti juga orang lain.”
Suaranya terdengar penuh dengan nada ejekan, “Sebenarnya aku tidak punya cara tertentu untuk membunuhmu. Aku cuma ingin menakut-nakutimu saja, tidak lebih.”
Bila jago-jago kungfu akan bertarung, mereka bukan hanya harus menenangkan pikirannya, mereka pun harus mengendalikan emosinya. Kalau tidak mereka akan rapuh terhadap serangan. Coat-taysu sudah lama paham akan hal ini.
Tapi saat itu amarahnya telah memuncak, bola matanya memerah seperti berdarah, di keningnya muncul urat-urat biru. Kedua tangannya pun diulurkan seperti cakar burung rajawali.
Dia bergerak ke arah Ma Ji-liong, selangkah demi selangkah.
Ruangan ini berlantai papan kayu yang mengkilap, dan ke mana pun dia menginjakkan kakinya, papan kayu itu segera hancur berkeping-keping.
Coat-taysu telah mengumpulkan seluruh tenaganya. Jika orang terpukul oleh tangannya, dia tentu akan terjungkal mati!
Tak pernah terpikir olehnya kalau dia mungkin akan membunuh orang yang salah!
Kecuali bunyi papan kayu yang hancur, seolah-olah tidak ada suara lain di dunia ini.
Mendadak mereka mendengar suara teriakan seseorang yang menjajakan bunga.
“Anggrek mutiara. Kembang melati.”
Suara penjual bunga itu terdengar nyaring dan merdu seperti mengalun dari tempat yang jauh. Tapi suara itu tiba-tiba bergerak semakin dekat hingga seakan-akan kata-kata tadi diucapkan orang di pinggir telinga mereka.
“Brak!”, tiba-tiba sebuah lubang berbentuk manusia telah muncul di dinding yang putih dan cerah itu.
“Anggrek mutiara. Bunga melati.”
Tiba-tiba seseorang telah muncul dari lubang di dinding tersebut. Dia adalah seorang penjual bunga bertubuh ramping, memakai topi bambu dan bergaun hitam. Di tangannya terdapat beberapa kuntum bunga melati yang terikat oleh seutas kawat besi.
Bunga melati yang harum tentu indah, dan begitu pula tangan penjualnya. Ma Ji-liong tiba-tiba teringat, ketika mereka berada di jalan sempit itu, Toa-hoan telah pergi bersamaan dengan kedatangan seorang perempuan penjual bunga yang misterius. Apakah yang akan dilakukan perempuan itu di sini?
“Apakah Tuan suka bunga melati?”
Tiba-tiba dia meletakkan sekuntum melati di antara cakar rajawali Coat-taysu. Seperti anak panah yang dipentang kencang pada sebuah busur, tangan ini mengandung tenaga yang akan terlepas saat bersentuhan. Dan jika dilepaskan, bahkan batu karang pun akan hancur karenanya.
Yang mengejutkan, ternyata bunga melati itu tidak hancur. Malah sepertinya bunga melati itu yang menusuk tangannya. Dan rasa sakitnya pun pasti telah menusuk hatinya, karena setelah mendapatkan bunga itu, dia lalu melompat ke udara dan – seperti anak panah – melesat keluar lewat jendela.
Siapakah gadis penjual bunga ini? Kekuatan misterius macam apa yang dimiliki bunga melati itu?
Penjual bunga itu membalikkan badan dan berjalan menghampiri Giok-tojin.
“Tuan suka bunga melati?”
Dia mengambil sekuntum bunga lagi.
“Inilah sekuntum bunga melati yang harum dan indah. Tuan harus membelinya sekarang juga. Kalau tidak, Tuan pasti akan menyesalinya nanti.”
“Aku ingin membelinya. Berapa harganya?” Giok-tojin bertanya.
“Bungaku berharga pantas. Aku tidak pernah berlaku curang.”
Suaranya terdengar jernih dan lembut, “Satu nyawa.... untuk sekuntum bunga melati.”
Giok-tojin tersenyum dipaksa. Lalu dia berkata, “Aku tidak sanggup.”
Tiba-tiba dia melesat mundur, tubuhnya meluncur lewat lubang di tembok seperti sebatang anak panah yang lepas dari busurnya. Cia-go Hwesio dan Pang Tio-hoan juga ikut pergi dengan kecepatan yang sama.
Sambil menghela napas, penjual bunga itu berkata, “Bunga melati yang begini indah, kenapa tidak ada yang mau membelinya?”
Ma Ji-liong tiba-tiba berkata, “Mereka tidak mau, tapi aku mau.”
Perempuan penjual bunga itu tidak berpaling. Dia hanya berkata, “Kau cuma punya satu nyawa. Kau pun tidak akan sanggup.”
“Bagaimana jika aku benar-benar ingin membelinya?”
“Aku tidak jual.”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak menginginkan nyawamu.”
“Aku baru saja mendapatkan kembali nyawaku.”
“Karena kau baru saja mendapatkannya kembali, seharusnya kau benar-benar menghargainya.”
Sambil bicara, dia pun mulai melangkah. Ma Ji-liong lalu membuntutinya. Dan mereka berdua pun berjalan keluar dari rumah itu dan masuk ke jalan raya yang gelap di luar sana.