ENAM puluh tahun yang lalu, di dunia kangouw ada tiga pasang tangan yang sangat terkenal yaitu Thiat-jiu-bu-ceng, Biau-jiu-sin-tho dan Ling-long-giok-jiu.
Thiat-jiu-bu-ceng (Tangan Besi Tidak Kenal Ampun), tangannya tidak pernah menyayangkan siapa pun yang tidak pantas untuk diselamatkan.
Biau-jiu-sin-tho (Maling Sakti Bertangan Lincah), bisa mencuri apa pun yang tidak bisa dicuri orang lain.
Ling-long-giok-jiu (Tangan Kumala Ahli Operasi), pemilik tangan yang indah, misterius dan cerdik. Sepasang tangannya dapat melakukan berbagai perbuatan mistis. Namun semua orang tahu, siapa yang bisa berada di bawah tangannya, dalam satu jam bisa menjadi orang yang sama sekali berbeda.
Ma Ji-liong akhirnya mengerti. “Ji Ngo membantunya menyisir rambutnya karena dia ingin dia membantuku mengubah penampilanku, penampilan Thio Eng-hoat.”
“Benar.”
“Kalian memilih tempat ini karena ini adalah tempat yang orang-orang di dunia kangouw tidak akan pernah datangi.”
“Benar.”
“Para petugas itu tidak melihat kita hanya karena mereka membutuhkan bantuan dari Ji Ngo dan menggunakan kesempatan ini untuk menukar bantuan.”
“Benar.”
“Karena aku sudah dicap sebagai pembunuh kejam dan tidak berperasaan dan tidak tahu harus pergi ke mana, kau membantuku memikirkan rencana ini sehingga aku bisa hidup lebih lama.”
“Tidak benar.”
Sikap Toa-hoan menjadi hangat dan serius, “Ji Ngo percaya padamu. Aku juga percaya padamu. Kami juga yakin kau dijebak oleh orang lain. Kami juga sadar, watakmu angkuh, tidak gampang membujukmu merendahkan diri menjadi majikan sebuah toko serba ada yang tiada artinya.”
Lama Ma Ji-liong tidak membuka mulutnya. Darahnya mendidih dan tenggorokannya sepertinya tersumbat oleh darah. Setelah beberapa saat, dia terkekeh dan bertanya, “Mengapa kamu percaya padaku?”
“Karena aku yakin orang yang baru saja membunuh tidak akan berhenti di tengah-tengah usahanya melarikan diri, mempertaruhkan keselamatannya untuk menyelamatkan seorang wanita yang akan segera mati kedinginan.”
Ma Ji-liong tidak mengatakan apa-apa. Perasaannya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Toa-hoan berkata, “Bagaimanapun kau harus percaya pada dunia ini, keadilan tetap ada. Kejahatan akhirnya akan dihancurkan. Konspirasi akhirnya akan ditemukan. Untuk semua kesalahan yang kau derita, pada akhirnya akan ada hari di mana kau akan mengklaim kembali bahwa kau tidak bersalah. “
Dia dengan lembut meraih tangan Ma Ji-liong dan berkata, “Selama kamu memiliki keyakinan ini, jika kamu menderita untuk sementara lalu terus kenapa?”
Ma Ji-liong terdiam beberapa saat dan akhirnya bertanya, “Di mana toko kelontong ini?”
“Di gang sempit di barat kota. Pelangganmu adalah orang biasa yang miskin dan baik hati. Sudah sulit bagi mereka untuk makan, mereka tidak memperhatikan urusan orang lain.”
Dia menambahkan, “Nama belakang pegawaimu juga she Thio, yang lain memanggilnya Lo-thio. Selain diam-diam minum dua cangkir arak sesekali, dia benar-benar dapat diandalkan. “
Ma Ji-liong bertanya, “Apakah dia bisa mengenali bahwa majikannya adalah orang yang berbeda?”
Toa-hoan menjawab, “Matanya tidak pernah sebagus itu dan telinganya bermasalah.”
Ma Ji-liong bertanya, “Bahkan jika dia tidak tahu, bagaimana dengan yang lain?”
Toa-hoan bertanya, “Lainnya?” Dia tiba-tiba tertawa dan berkata, “Maksudmu istrinya yang sakit-sakitan?”
Ma Ji-liong tersenyum pahit tapi tidak bisa menahan untuk tidak bertanya, “Orang macam apa dia?”
Toa-hoan tertawa dan berkata, “Sebenarnya kamu bisa tahu sendiri.”
Ma Ji-liong bertanya, “Saya tahu? Kapan saya pernah melihatnya? “
Toa-hoan berkata, “Kamu melihatnya tadi.”
Ma Ji-liong kaget. “Mungkinkah orang yang saya lihat tadi yang kelihatan mati adalah...” Dia tiba-tiba menyadari bahwa dia tidak mengatakannya dengan benar, jadi dia berubah menjadi: “Mungkinkah dia adalah istri Thio Eng-hoat?”
Toa-hoan menjawab, “Awalnya tidak, tapi dia akan segera menjadi istrinya. Sama seperti kamu awalnya bukan Thio Eng-hoat tapi kamu akan segera menjadi Thio Eng-hoat. “
Ma Ji-liong bertanya, “Siapa dia sebenarnya?”
Toa-hoan sedang merenung dan sepertinya tidak berniat menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi, Ma Ji-liong bertanya lagi, “Orang macam apa dia sebenarnya? Sekarang, kamu bahkan tidak memberitahuku itu?
Dia akhirnya menghela nafas dan berkata, “Saat ini jika aku tidak mau memberi tahu, itu mungkin sedikit tidak masuk akal.” Ma Ji-liong pun setuju.
Toa-hoan berkata, “Nama belakangnya Cia, namanya Cia Giok-lun. Cia sebagai terima kasih, Yu seperti giok, Lun seperti di Gunung Kunlun. “
Ma Ji-liong berkata, “Saya tahu tiga kata ini, kau tidak perlu menjelaskannya untuk saya.”
Toa-hoan berkata, “Dia adalah seorang wanita.”
Ma Ji-liong berkata, “Kamu pikir aku bahkan tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan?”
Toa-hoan tersenyum pahit dan berkata, “Kamu harus tahu aku sengaja menahan diri karena aku masih belum yakin berapa banyak yang harus kuberitahukan kepadamu.”
Ma Ji-liong bertanya, “Berapa banyak yang bisa kau ceritakan kepada saya?”
Toa-hoan akhirnya memutuskan, “Baiklah, saya akan memberitahumu. Dia berumur sembilan belas tahun. Mungkin belum menyentuh seorang pria dan belum ada pria yang menyentuhnya sebelumnya.”
Ma Ji-liong bertanya, “Dia benar-benar baru berusia sembilan belas tahun?”
Toa-hoan menjawab, “Memangnya kamu mengira dia sudah cukup tua?”
Ma Ji-liong berkata, “Dia tidak terlihat tua tapi memiliki ilmu silat yang matang. Dia melewati dinding batu itu seolah-olah itu adalah kertas. Bahkan laki-laki berusia sembilan puluh satu tahun jarang yang memiliki kemampuan ilmu silat seperti itu.”
Toa-hoan berkomentar, “Ilmu silat saya juga tidak lebih buruk dari dia. Apakah kamu juga mengira aku sudah tua? “
Ma Ji-liong tutup mulut.
Toa-hoan mengatakan, “Ilmu silat seseorang tidak bisa dicapai hanya dengan latihan. Seberapa tinggi kemampuan ilmu silat seseorang tidak terkait dengan usia mereka.”
Ma Ji-liong berkata, “Saya mengerti.”
Toa-hoan berkata, “Ilmu silatnya memang sangat tinggi. Para enghiong dan pendekar yang bisa mengalahkannya tidak lebih dari sepuluh. Ia punya seorang guru yang baik, guru jempolan, lihai, sejak keluar dari rahim ibunya sudah belajar dan latihan silat.”
“Tabiat nona itu tidak baik, maklum nona pingitan yang disayang, dalam segala hal ingin menang dan minta diladeni secara berlebihan. Jika mendadak ia sadar dan tahu dirinya menjadi istri seorang pemilik toko kelontong kecil di kampung jorok di pinggir kota, mungkin dia bisa jadi gila.”
“Celaka kalau gilanya kumat, pemilik toko kelontong itu mungkin bisa digorok lehernya. Hal ini perlu kuperhatikan karena pemilik toko kelontong itu adalah diriku.”
Toa-hoan tertawa manis, katanya lembut, “Tentang hal itu tak perlu kuatir, dia tidak akan menggorok lehermu.”
“Bagaimana kau tahu dia tidak akan berlaku kasar terhadapku?”
“Ingat, dia sedang sakit, makin lama penyakitnya makin parah hingga sepanjang hari rebah di ranjang, berdiri pun tidak bisa.”
Bagaimana mungkin seorang yang bisa berjalan menembus dinding seperti kertas pada malam sebelumnya tiba-tiba menjadi sakit? Ma Ji-liong tidak bertanya. Dia sudah bisa membayangkan dari mana penyakit ini bisa muncul. Dengan kemampuan Toa-hoan, tak akan sulit jika dia ingin ada yang “sakit”.
Ma Ji-ling berkata, “Kelihatannya dia tidak mirip istri seorang pemilik toko kelontong.”
“Saat ini tidak mirip, sebentar lagi akan persis, kutanggung dia akan berubah persis bentuk aslinya.”
“Apa betul Giok Ling-long punya kemampuan selihai itu?”
“Betapa besar kemahirannya, boleh kau buktikan sendiri.”
Ma Ji-liong menghela napas, katanya, “Sebetulnya aku tidak ingin melihatnya.”
“Bila dia sadar nanti, dirinya sudah rebah di ranjang dalam kamar besar yang terletak di belakang toko kelontong itu.”
“Dan aku?”
“Sebagai suami, kau harus merawat dan menjaganya di pinggir ranjang, kalian adalah suami isteri yang hidup rukun belasan tahun lamanya.”
Ji-liong menyengir kecut, katanya, “Wah, bisa geger dan dia mungkin akan mencaci maki diriku.”
“Sudah pasti dia akan ribut, kau harus bersikap lebih sayang dan prihatin karena kesehatan isterimu makin buruk. Istri itu she Ong bernama Kwi-ci. Sudah 18 tahun kalian menikah, tanpa dikaruniai anak seorang pun. Apa pun yang ia katakan, keributan apa saja yang ia lakukan, kau harus sabar, menjaga, dan meladeninya dengan penuh pengertian.”
“Bila aku membandel, berkata bahwa ia adalah isteriku sejak 18 tahun lalu, ia pasti bingung dan heran, bertanya-tanya dalam hati, siapa dia sebenarnya.”
“Syukur kau sudah mengerti.”
“Masih ada satu hal yang tidak kumengerti.”
“Coba jelaskan.”
“Aku tidak kenal siapa dia, tidak pernah bermusuhan, kenapa dia harus kuperlakukan demikian?”
“Karena kejadian ini amat berguna bagi dirimu, juga bermanfaat untuknya, dua pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Kurasa hanya dengan cara begini kau bisa mencuci bersih fitnah itu, membongkar muslihat keji ini,” sikap Toa-hoan menjadi serius, nada perkataannya tegas dan tulus. “Aku tahu sebagai pemuda tinggi hati, perbuatan yang merugikan orang lain ini tak sudi kau lakukan, kali ini anggaplah kau bekerja karena aku, demi diriku. Aku percaya padamu, maka paling sedikit kau juga harus percaya kepadaku. Lakukan apa yang telah kami atur dan rencanakan ini.”
Ma Ji-liong tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena dia sombong, dia tidak ingin berhutang pada siapapun. Apakah ini benar-benar akan membersihkan namanya, dia tidak terlalu khawatir. Biasanya hal-hal yang dia lakukan bukan untuk dirinya sendiri.
Apa yang dilakukan Ma Ji-liong biasanya memang bukan untuk kepentingan pribadinya. Misalnya ada orang bertanya kepadanya, “Orang macam apakah kau ini?” Jawabannya pasti berbeda dengan sebelum Ji-liong mengalami musibah. Setiap orang yang pernah mengalami siksa derita dan gemblengan hidup yang nyata, baru akan mengenal dirinya sendiri, maka ia bertanya, “Sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Kau harus minum. Sekarang akan kusuguh arak kepadamu,” Toa-hoan tertawa lebar. “Ji Ngo di sini, kau juga di sini. Kalau kalian tidak diberi kesempatan minum sepuas-puasnya, bukankah aku ini tidak tahu diri?”
***
Di belakang kedua deret rumah itu terdapat rumah besar tunggal yang letaknya agak jauh. Wuwungan rumah berbentuk serong, tembok berwarna kelabu gelap. Siapa pun yang berada di tempat ini akan merasa seram dan bergidik.
Dilihat dari luar, dari bentuknya, orang akan membayangkan bahwa rumah besar ini adalah gudang mayat. Di dalam gedung inilah para petugas membedah mayat yang terbunuh, maka orang akan membayangkan di sana terdapat berbagai jenis alat dan perkakas, berbagai jenis pisau, juga ada ganco yang karatan, jarum, benang, dan masih banyak lagi benda-benda yang tak terpikir oleh orang.
Namun bila sudah masuk dan berada di dalam rumah itu, jalan pikiran akan berbalik berubah.
Di luar dugaan, rumah ini amat bersih, luas dan bercahaya, dinding bagian dalam putih bersih, jelas tidak lama baru dikapur. Meja dilembari taplak putih. Di meja ini tersedia enam menu masakan dan enam guci arak ukuran sedang. Empat guci diantaranya tersegel rapat, isinya adalah Sian-yang, dua guci yang lain adalah Li-ji-ang yang beratnya dua puluh kati.
Orang biasa bila melihat arak sebanyak itu, belum minum pun sudah mabuk.
Orang biasa yang melihat arak sebanyak ini mungkin sudah merasa agak mabuk. Ma Ji-liong bukanlah orang biasa, hatinya sudah agak takut, mabuk bukanlah hal yang baik. Namun, dengan Ji Ngo di sini, sulit untuk tidak minum. Ia hanya berharap kali ini Ji Ngo mabuk lebih dulu. Dia hanya akan minum lebih sedikit. Ji Ngo menyeringai padanya, seolah dia tahu apa yang ada di pikirannya.
Ji Ngo sedang mengawasinya dengan senyum lebar, seolah sudah dapat menerka apa yang terpikir di dalam benaknya.
“Aku tahu kau gemar minum Li-ji-ang, sayang di tempat ini sukar memperoleh Li-ji-ang lebih dari dua guci.”
“Sian-yang juga arak bagus.”
“Mari kita habiskan dulu Li-ji-ang baru dilanjutkan dengan Sian-yang,” Ji Ngo tampak gembira, tawanya lebar. “Satu orang satu guci, setelah habis satu guci, minum arak lain juga akan sama.”
“Satu orang satu guci,” ujar Ma Ji-liong ke arah Toa-hoan, “Dia bagaimana?”
“Hari ini aku tidak minum,” Toa-hoan berkata dengan tertawa, “Giok-toasiocia memberi tahu kepadaku, perempuan kalau minum banyak bukan saja lekas tua, juga mudah ditipu orang.”
Ma Ji-liong menghela napas, ia maklum apa yang dipikir tadi tiada harapan dan tak mungkin terlaksana.
***
Giok-toasiocia bukan lain adalah Giok Ling-long.
Giok Ling-long berda di rumah besar itu, duduk di depan sebuah meja. Meja besar dan panjang. Di atas meja menggeletak sebuah mainan jade dan sebuah kotak perak, belasan kaleng bundar yang terbuat dari perak murni. Di pinggir meja terdapat sebuah baskom besar yang juga terbuat dari perak.
Dalam baskom berisi air hangat, Giok Ling-long menurunkan tangan ke dalam baskom untuk mengukur suhu panas air, apakah sesuai dengan kebutuhan Toa-siocia yang satu ini. Meski sudah lanjut usia, sudah patut menjadi nenek, tapi gaya dan gerak-geriknya tidak kelihatan tua. Apalagi dipandang dari belakang, gerak kaki maupun tangan, kepala maupun sekujur badannya, demikian pula kerlingan matanya tetap terlihat muda dan manis serta luwes. Bila lebih diperhatikan, maka akan terasa dia belum tua, bukan nenek peyot. Ya, harus maklum karena Giok ling-long tidak pernah merasa dirinya tua.
“Silakan minum sepuasnya, aku akan mulai bekerja,” demikian kata Giok Ling-long dengan tertawa, “Aku tidak pernah minum arak, tapi tidak pernah pula melarang orang minum arak. Aku malah senang melihat orang minum.”
Toa-hoan tertawa, katanya, “Biasanya aku pun demikian, melihat orang minum jauh lebih nikmat daripada aku sendiri yang minum.”
Giok Ling-long sependapat, katanya, “Ada orang mabuk yang mengoceh tidak karuan, membuat ribut dan brengsek, tapi ada juga orang mabuk yang menjadi patung malah, sepatah kata pun tidak mau bicara. Ada juga orang mabuk yang menangis, ada yang tertawa ngakak, aku jadi geli dan senang melihat tingkah lakunya yang lucu.” Mendadak dia bertanya kepada Ma Ji-liong, “Bagaimana keadaanmu setelah mabuk?”
“Aku tidak tahu,” Ma Ji-liong menjawab. Memang tiada orang tahu bagaimana keadaan diri sendiri waktu mabuk. Seseorang bila mabuk pikirannya seperti meninggalkan badan. Setelah sadar akan merasa lidahnya terbakar, tenggorokannya kering, kepala pusing. Persoalan apa pun dilupakan, persoalan yang harus diukir dalam sanubari dilupakan, sebaliknya persoalan yang harus dilupakan justru terukir di dalam sanubarinya.
Giok Ling-long tertawa, katanya, “Sejak muda sampai setua ini usiaku, hanya pernah kulihat dua pria yang betul-betul cakap dan tampan. Kau adalah salah satu di antaranya. Aku percaya meskipun sudah mabuk tampangmu masih kelihatan bagus.”
Ji Ngo bergelak tawa, serunya, “Bagaimana keadaannya setelah mabuk, sebentar dapat kau saksikan sendiri.”
Kali ini Ma Ji-liong bertahan lebih lama. Setelah habis tiga guci baru betul-betul mabuk. Sambil minum ia memperhatikan gerak-gerik Giok Ling-long.
Setelah merendam sepasang tangannya di air panas dalam baskom, diambilnya handuk kecil untuk mengeringkan telapak tangannya. Dari sebuah kotak perak ia mengeluarkan sebilah pisau lengkung kecil lalu mulai membersihkan kuku jari.
Apa pula isi peti perak itu?
Setelah membersihkan kuku, dari tujuh delapan kaleng yang berbeda-beda di atas meja itu, ia menuang tujuh delapan jenis obat yang berbeda warna. Ada puyer, ada cairan seperti minyak, ada kuning dan kelabu, ada juga yang berbuih biru. Tujuh delapan bahan obat yang berbeda itu ia tuang ke dalam baskom yang lebih kecil lalu diaduk dengan sendok perak.
Ma Ji-liong tahu ramuan obat itu merupakan persiapan pertama untuk mengubah bentuk wajah orang. Melakukan kerja apa pun kalau sebelumnya sudah dipersiapkan secara teliti dan baik, buah karyanya tentu amat bermutu.
Setelah tiga guci arak masuk ke perut Ma Ji-liong, pikirannya mulai kabur, “Giok Ling-long pandai merias wajah orang, yang jelek menjadi cantik, yang tua menjadi muda demikian pula sebaliknya. Kenapa dia tidak merias wajah sendiri? Mengubah dirinya menjadi nona jelita?”
Seperti dapat meraba jalan pikiran Ma Ji-liong saja, Giok Ling-long berkata, “Aku hanya bekerja untuk orang lain, tak pernah bekerja untuk diriku sendiri.” Sembari tertawa ia melanjutkan, “Sebabnya, umpama aku berubah menjadi muda, katakanlah berhasil menipu orang lain, tetap tidak bisa menipu diriku sendiri.”
Dia dengan bosan berkata, “Menipu orang lain saya tidak akan keberatan, tapi menipu diri saya sendiri tidak akan pernah saya lakukan.”
Setelah mengatakan ini, dia mengeluarkan tujuh delapan pisau kecil perak murni, gunting, kait, dan pahat dari kotak, dan bahkan gergaji kecil.
Untuk apa ia mempersiapkan alat-alat itu?
Kalau Ji-liong belum mabuk, dia mungkin akan mencoba lari keluar pintu. Sayangnya, dia sudah terlalu banyak minum dan sudah mabuk. Hal terakhir yang dia ingat adalah Giok Ling-long memijat wajahnya dengan jari-jarinya. Jarinya dingin dan halus; gerakannya terampil dan lembut, sangat lembut...