image
image
image

Bab 16

Toko Kelontong

image

RUANGAN itu sangat rendah; seseorang hampir bisa menyentuh langit-langit dengan tangan terangkat. Plester di dinding terkelupas. Di atasnya ada gambar ukiran kayu Kwan Kong merayakan musim semi musim gugur, pepatah keluarga Cu-hucu dan teks nasihat hidup yang ditulis tangan, tulisannya sangat hati-hati dan rapi. Kamar ini memiliki jendela, pintu, dan kain biru yang dicuci bersih sehingga menjadi putih tergantung di ambang pintu.

Sebuah meja persegi, meskipun tua tetapi terbuat dari kayu merah, ditempatkan menghadap pintu. Di atas meja ada poci teh yang tidak ada ceratnya, tiga mangkuk teh, dan juga altar pemujaan yang masih kelihatan rapi dan terpelihara—yang dipuja bukan Kwan-te-kun, tetapi Koan-im Hudco yang membopong orok kecil gendut dan mungil.

Di salah satu sudut, ada setumpuk tiga kotak kayu. Di sudut lain, ada meja rias yang jelas sudah lama tidak dipakai. Cermin perunggu berpola bunga tertutup debu dan ada beberapa sisir kayu yang rusak.

Hanya ada satu tempat tidur di ruangana itu. Tempat tidur kayu besar dengan empat tiang kayu dengan tirai tempat tidur gantung dan ukiran bunga. Seorang wanita sedang tidur di ranjang ini dengan tiga lapis selimut di atasnya. Rambut wanita ini acak-acakan dan wajahnya menguning. Dia memiliki wajah kurus pucat yang lelah. Meski tertidur, dia mengerang sesekali.

Udara dalam rumah berbau obat yang beraroma tebal. Di luar ada seorang perempuan bermulut tajam dengan suaranya yang melengking sedang mengomel panjang pendek. Katanya telur yang dijual oleh toko ini kecil-kecil, demikian pula minyak goreng yang dia beli kemarin bercampur air, garam juga lebih mahal dari yang ia beli di pasar.

***

image

Saat Ma Ji-liong bangun, dia sudah ada di sini. Dia awalnya mengira sedang bermimpi, karena jika itu bukan mimpi mengapa dia berada di tempat seperti itu. Untungnya, meskipun dia baru saja bangun dan kepalanya sakit, dia tidak kehilangan ingatannya.

Dia segera teringat mengapa dia ada di sini. Reaksi pertamanya adalah melompat dari kursinya, langsung ke meja rias, dan mengangkat cermin perunggu. Dia membersihkan debu dengan lengan bajunya. Dia merasakan tangannya gemetar.

Apa yang dilakukan Yu Linglong pada wajahnya? Dia sangat ingin melihat seperti apa dia sekarang.

Apa yang dia lihat bukanlah dirinya, melainkan Thio Eng-hoat; yang dia lihat di cermin sama sekali bukan dia, namun benar-benar Thio Eng-hoat. Saat memandang ke cermin, seolah-olah dia sedang melihat lukisan yang diperlihatkan Toa-hoan padanya.

Jika seseorang melihat ke cermin dan melihat orang lain, apa yang ada di pikirannya? Ma Ji-liong tidak pernah mengalami hal seperti itu. Bahkan dia tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini.

Meskipun dia tidak terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri, tetapi dia selalu tahu bahwa dia tampan. Sesuatu yang membuat saingannya paling cemburu dan membencinya. Dalam hati Ma Ji-liong bertanya pada dirinya sendiri: “Di masa depan, apakah saya bisa mendapatkan kembali wajah asli saya?” Dia tidak tahu jawaban dari pertanyaan ini. Dia menyesal tidak bertanya pada Toa-hoan atau Giok Ling-long sebelumnya.

***

image

Suara ribut di luar sudah tak terdengar. Mungkin perempuan cerewet itu sudah pulang. Sementara itu perempuan yang tidur di ranjang masih terlelap dalam mimpi. Besar rasa ingin tahu Ma Ji-liong. Ia ingin melihat wajah perempuan yang tidur di atas ranjang. Begitu berdiri di pinggir ranjang, seketika ia berjingkat mundur saking kagetnya.

Apa benar, perempuan bermuka pucat dan kuning, berbadan kurus dan kuyu tanpa cahaya sedikitpun ini adalah gadis cantik rupawan bertubuh montok padat dan semampai yang pernah diintipnya di kamar mayat di balaikota waktu itu?

Ma Ji-liong tahu bahwa dirinya sudah dirubah sedemikian rupa, namun tak urung hatinya masih kaget dan takut.

Kalau perempuan ini bangun nanti, mendadak tahu dirinya tidur di ranjang dan di tempat asing, tahu pula dirinya sudah berubah rupa, entah apa yang akan dilakukannya.

Ma Ji-liong mulai bersimpati terhadapnya.

***

image

Kini Thi Eng-hoat yang satu ini sudah bertemu dengan dirinya sendiri, melihat keadaan rumah tinggalnya, dan menyaksikan isterinya yang sakit-sakitan di ranjang.

Toko kelontong macam apa pula miliknya ini? Orang macam apa pula Thio-lausit—pegawainya yang jujur dan setia itu? Ji-liong ingin melihat sendiri pembantunya itu.

Dinamakan toko kelontong karena toko ini menjual dan menyediakan bahan sandang-pangan. Dalam toko penuh berbagai jenis barang, dari keperluan dapur sampai keperluan sehari-hari. Ada minyak, garam, kecap, cuka, beras, gula, telur ayam, telur bebek, telur asin, udang kering, permen, sabun, jarum, benang, pisau, gunting, paku, kertas, alat-alat tulis juga lengkap. Setiap bahan yang dibutuhkan untuk kehidupan keluarga dapat dibeli di toko kelontong ini. Di atas pintu rumah tergantung sebuah papan merk yang dihiasi empat huruf gaya tegak 'Thio-ki-jay-hwe'.

Di depan pintu terdapat sebuah gang—jalan kampung yang tidak begitu lebar. Bila angin menghebus kencang, debu dan pasir beterbangan. Bila datang hujan, jalanan menjadi becek. Para tetangga kanan kiri adalah keluarga miskin. Anak-anak ingusan tanpa pakaian ataupun kalau berpakaian juga tidak lengkap, berkeliaran di jalan, berkelahi, menangis, dan ribut. Kotoran ayam, bebek, anjing, dan kucing ada di mana-mana. Di depan setiap rumah sepanjang gang sempit itu bergantungan pakaian atau popok bayi dan baju orang tua yang dijemur matahari.

Di tempat seperti itu, dalam lingkungan keluarga yang serba kurang, kecuali menimang anak, boleh dikata tiada kerja lain untuk mengisi waktu dan menghibur kehidupan ini.

Para enghiong atau orang gagah yang berkecimpung di dunia persilatan jelas tidak akan pernah datang ke tempat seperti itu. Ma Ji-liong tak pernah membayangkan tiba-tiba menjadi pemilik toko kelontong di tempat seperti ini.

***

image

Thio-lausit bertubuh pendek kurus. Gerak-geriknya selambat babi hamil yang kurang makan. Wajah bulat dengan sepasang mata yang selalu mengantuk, seperti tidak pernah tidur pulas. Hidungnya menonjol merah seperti terong.

Terhadap taoke atau majikannya, sikap Thio-lausit tidak sopan, tidak mau menggubrisnya, kalau tidak ditanya tidak akan bicara, menjawab juga hanya seperlunya saja, tingkah lakunya kaku, segan bicara karena selalu mengantuk. Sewaktu Ma Ji-liong beranjak keluar, jangankan menyapa, melirik pun ia malas.

Di toko kumuh seperti itu, seperti apa seharusnya pemiliknya? Seperti apa seharusnya pegawai itu? Bagaimanapun, semua orang di sini sepertinya hanya hidup hari demi hari dan menunggu untuk mati. Ma Ji-liong sebenarnya cukup puas dengan situasi di sini karena jika Thio-lausit orang yang cerewet atau terus-menerus menyanjungnya, itu akan menjadi yang terburuk baginya.

Di mana pemilik asli toko dan istrinya? Mungkin Ji Ngo sudah mengatur hidup mereka secara rapi dan baik. Kehidupan yang mereka jalani saat ini pasti lebih baik dari sebelumnya.

Ma Ji-liong tidak bisa menahan diri untuk bertanya pada dirinya sendiri: “Berapa hari saya harus menjalani hidup seperti ini?”

***

image

Seorang pelanggan masuk, seorang ibu rumah tangga muda yang hamil membeli gula merah. Tiba-tiba terdengar teriakan. Meskipun tidak terlalu keras, Ma Ji-liong belum pernah mendengar teriakan yang begitu menyakitkan dan menakutkan seperti itu. Cia Giok-lun pasti sudah bangun dan menemukan perubahan yang menakutkan itu. Ma Ji-liong hamper tidak berani masuk untuk menemuinya.

Didengarnya nyonya muda yang hamil itu menggerutu sambil menggeleng kepala, “Penyakit Laupan-nio (isteri juragan) kelihatannya makin berat saja.”

Ma Ji-liong hanya tersenyum getir. Ia menyingkap tirai dan menyelinap masuk. Tampak Cia Giok-lun sedang berjuang keluar dari tempat tidur, matanya dipenuhi dengan keterkejutan, amarah dan ketakutan yang sulit dilupakan siapa pun. Dia dengan lembut mengerang, “Siapa kamu? Tempat apa ini? Kenapa saya di sini?”

“Ini kan rumahmu, sudah delapan belas tahun kau tinggal di sini. Aku kan suamimu, masa suami sendiri sudah tidak dikenal lagi?” Ma Ji-liong sendiri merasa sewaktu bicara dirinya seperti musang mencuri ayam yang ketahuan oleh pemiliknya. Tapi ia harus bicara dan menanggapinya dengan wajar, “Kulihat penyakitmu makin berat, biar aku mencari tabib untuk memeriksa penyakitmu.”

Cia Giok-lun mengawasinya dengan mata terbelak. Tidak ada orang yang bisa melukiskan bagaimana mimik matanya. Bagaimana perasaannya saat itu.

Nyonya muda yang hamil itu mendadak melongok ke dalam sambil menyingkap tirai. Katanya sambil menghela napas, “Mungkin suhu badan Laupan-nio amat tinggi, maka mengoceh tak keruan. Seduhkan wedang jahe dicampur gula merah dan lekas diminumkan!”

Belum habis ia berbicara, mendadak Cia Giok-lun meraih sebuah mangkok yang terletak di atas meja kecil di pinggir ranjang. Sekuat tenaga ia timpukkan ke sana. Mungkin karena sakitnya berat, tenaga lemah, mangkok sekecil itu tidak kuat ia lemparkan. Keruan saja ia lebih panik—lebih takut hingga sekujur badannya gemetar. Padahal ia tahu betapa tinggi ilmu silatnya—sampai dimana taraf lwekang yang ia yakini, namun sekarang kemanakah ilmu silat yang dimilikinya selama ini?

Sambil menghela napas dan menggeleng kepala, nyonya muda yang hamil tua itu  mundur lalu beranjak pulang. Dalam jangka waktu setengah jam, para tetangga sudah tahu dan mendenger berita bahwa sakit bini Thio-laupan (juragan Thio) semakin parah aja—mungkin sudah menjadi gila.

Cia Giok-lun memang hampir gila. Waktu melihat tangannya sendiri, tangan dengan jari-jari putih halus terpelihara itu kini telah berubah menjadi kering, kusut, dan kasar seperti cakar ayam. Bagaimana dengan anggota badannya yang lain?

Dia memindahkan tangannya ke bawah selimut tempat tidur dan tiba-tiba menariknya kembali seperti ular berbisa di bawah selimut yang telah menggigitnya. Setelah dia melihat cermin itu, dia berjuang di sana dan menatap lurus ke cermin. Hanya dengan satu pandangan, dia pingsan.

Perlahan-lahan Ma Ji-liong berjongkok membersihkan pecahan mangkok yang hancur di lantai—kalau sebagai Ma Ji-liong, ia segan melakukan hal seperti ini. Dia akan menampar muka dan mulutnya sendiri delapan belas kali di hadapan “istrinya”  lalu membeberkan persoalan sebenarnya kepada nona Cia yang terpaksa ikut berkorban karena dirinya.

Tapi ia sadar tidak boleh mengingkari kepercayaan Toa-hoan kepada dirinya. Toa-hoan percaya kepadanya, sudah sepantasnya ia juga percaya kepada Toa-hoan. Bahwa Toa-hoan sampai berbuat demikian tentu punya makna yang mendalam, tujuan yang baik, juga berguna untuk semua pihak.

Ma Ji-liong menarik napas panjang. Perlahan ia melangkah ke pintu, melongok keluar lalu memberi pesan kepada pegawainya, “Hari ini kita tutup toko lebih dini.”