BEBERAPA langkah setelah meninggalkan rumah, baru Ma Ji-liong mendengar suara tangis bayi dari rumah seberang. Beberapa langkah kemudian, sebuah pintu kecil yang ditempel kertas gambar malaikat rejeki terbuka.
Nyonya muda dengan perutnya yang buncit itu sedang berdiri di depan pintu, mengantar suaminya yang masih muda tegap berangkat kerja di ladang.
Ma Ji-liong sengaja pura-pura tidak melihat. Suami muda itu juga tidak menoleh ke kanan kiri, dia beranjak pergi sambil menjinjing buntalan dan memanggul pacul. Nyonya muda itu juga tidak memperhatikan Ma Ji-liong, ia memutar tubuh terus merapatkan pintu.
Bagai anak panah terlepas dari busurnya, mendadak Ma Ji-liong menjejakkan kaki, tubuhnya melejit ke depan, beberapa kali lompatan langsung menerobos ke pekarangan belakang To Po-gi.
Ada suara di dapur, suara ketikan batu untuk menyalakan api, lalu suara membasuh beras hendak menanak nasi. Isteri To Po-gi memang perempuan yang rajin dan setia, tahu apa kewajibannya, sepagi ini sudah siap menanak nasi untuk suami yang akan bekerja di kantor.
Ma Ji-liong tidak perduli, tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, To Po-gi pernah berlatih silat, dulu mungkin pernah menjadi anak buah Thiat Tin-thian, tidak perlu kuatir dirinya kepergok oleh suami isteri itu. Dengan kecepatan tinggi, Ji-liong bergerak lincah melompat ke dalam sumur.
***
Sekati arak beras sudah diminum habis, pembeli garam kelihatan lebih segar meski semalam suntuk tidak tidur, ia sedang membenahi pembaringan temannya.
Pemakan garam juga tidak tidur, sisa setengah bungkus garam tadi sudah dimakan lagi hingga tinggal seperempat. Melihat kedatangan Ji-liong, mereka tidak menunjukkan sikap kaget atau heran, seolah-olah sudah tahu bahwa Ma Ji-liong bakal kembali lagi.
Begitu kakinya menginjak dasar sumur, Ma Ji-liong langsung bertanya, “Kau adalah Thiat Tin-thian, bukan?”
“Betul,” sahut pemakan garam, suaranya tegas dan gamblang. “Aku adalah rampok besar Thiat Tin-thian yang gemar membunuh orang.”
“Kau terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu Coat-taysu?”
“Betul,” sikapnya tampak heran dan kaget, tapi Thiat Tin-thian tidak balas bertanya dari mana Ma Ji-liong mendapat tahu.
“Luka dalammu masih bisa ditolong?” tanya Ji-liong pula.
Kali ini Thiat Tin-thian balas bertanya, “Kenapa kau mencampuri urusanku?”
“Karena kau adalah temanku.”
“Kau sudah tahu kalau aku adalah Thiat Tin-thian, masih berani kau berkawan dengan aku?”
“Aku sudah bersahabat denganmu. Tak peduli siapa kau, sikapku tidak berubah.”
Thiat Tin-thian menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa lebar, “Selama hidup betapa banyak kesalahan yang pernah dilakukan Thiat Tin-thian, tapi belum pernah keliru bersahabat dengan orang.”
Thiat Tin-thian benar-benar tertawa, tawa yang riang. Setelah bersahabat dengan seorang kawan, umpama dirinya terbunuh juga akan mati dengan meram, tidak menyesal.
Pembeli garam menyeletuk, “Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan, karena berwatak kasar, berangasan, gegabah dan emosional. Demi membela seorang teman, perbuatan apa pun berani dilakukannya.” Dengan suara tandas pembeli garam meneruskan, “Kali ini pasti tidak berbuat salah.”
Apa yang ia lakukan kali ini? Bagaimana sampai difitnah orang?
Ji-liong mengulangi pertanyaannya tadi, ia percaya orang ini, “Luka-lukamu bisa disembuhkan?”
“Bisa,” sahut pembeli garam. “Hanya sejenis obat di dunia ini yang dapat menolong jiwanya.”
“Obat apa?”
Pembeli garam menghela napas, roman mukanya guram, katanya, “Kujelaskan juga tidak berguna, karena obat itu mutlak tidak bisa kami peroleh.”
Dengan tertawa getir ia menambahkan, “Bukan saja sukar untuk memperolehnya, dicuri juga tidak bisa, direbut apa lagi, kalau bisa tentu sudah kurebut atau kucuri.” Untuk menolong jiwa temannya, umpama harus mencuri dan merebut milik orang lain, apakah perbuatan itu terhitung salah?
Ma Ji-liong tertawa pula, “Obat yang kalian maksud apakah bisa diperoleh dari keluarga Cia?”
Terbeliak mata si pembeli garam, suaranya juga meninggi, “Dari mana kau tahu kalau keluarga itu she Cia?” Perubahan roman mukanya terlalu cepat, menyolok dan aneh.
“Kenapa aku tidak bisa tahu?”
“Karena...” suaranya terhenti, sikapnya bimbang.
Untuk membeberkan rahasia, jelas tidak berani berterus terang.
Dengan suara keras Thiat Tin-thian menimbrung, “Orang itu tidak mau orang luar tahu dirinya she Cia. Dulu ia pernah mengalami pukulan batin yang menyedihkan. Siapa saja, bila menyinggung perkara lama, pasti tak diberi ampun.”
“Siapakah dia?” desak Ma Ji-liong.
“Bik-giok Hujin dari Bik-giok-san-ceng, lukaku hanya dapat disembuhkan dengan Bik-giok-cu milik keluarganya.”
Ma Ji-liong melongo.
Bik-giok Hujin ternyata she Cia, pernah ada hubungan apa Cia Giok-lun dengan Bik-giok Hujin? Apa gadis itu ada hubungannya dengan Bik-giok-san-ceng? Mendadak Ji-liong sadar, urusan ini pasti ada latar belakang yang ruwet lagi genting. Dulu tak pernah ia memikirkan persoalan ini, tapi sekarang harus memutar otak.
Sekonyong-konyong seseorang tertawa dingin dan berkata di mulut sumur di sebelah atas, “Thian Tin-thian, kau tak bisa lolos dari sini. Thiat Coan-gi, kau juga menyerah saja, jiwamu boleh diampuni.”
Para pengejar itu akhirnya menemukan sumur ini, jejak mereka sudah ketahuan. Bila buronan berada di dalam sumur, umpama ikan di dalam kuali, jelas takkan bisa lolos lagi, memangnya ke mana mereka bisa melarikan diri?
Perasaan Ma Ji-liong seberat batu yang tenggelam ke dasar air dingin. Ia kenal suara orang yang bicara di mulut sumur, bukan lain ialah Pang Tio-hoan. Kalau Pang Tio-hoan sudah datang, Coat-taysu pasti juga berada di sini, demikian pula Cia-go Hwesio dan Giok-tojin pasti ikut datang. Umpama bukan dirinya yang menjadi buronan, dirinya juga bisa keluar dari tempat ini.
Ma Ji-liong sudah akan bicara, mendadak Thiat Tin-thian mendekap mulutnya dengan sebelah tangan. Dengan tangan yang lain dia menjejalkan garam ke dalam mulut sendiri. Setelah garam tertelan, baru ia bergelak tawa, serunya, “Betul, aku memang ada di sini, adikku juga ada, kami menunggumu.”
Sesaat tidak terdengar jawaban dari atas. Orang-orang di atas seperti sedang heran dan bingung, kenapa Thiat Tin-thian belum mampus setelah terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu yang ganas itu? Nada bicaranya juga masih segar dan bertenaga.
Sesaat kemudian baru terdengar Coat-taysu berkata dengan nada dingin, “Thiat Tin-thian, naiklah ke atas, jiwa Thiat Coan-gi akan kuampuni.”
Thiat Coan-gi adalah pembeli garam, “Kami bersaudara sudah seia sekata, bersumpah setia, sehidup semati, kalau harus mati biarlah kami mati bersama.”
“Bagus,” teriak Thiat Tin-thian bergelak tawa. “Ayolah turun kalau kalian hendak menagih jiwa kami berdua.”
Coat-taysu tidak turun, tiada orang yang berani turun. Sumur itu memang buntu, tiada jalan lain untuk meloloskan diri, tapi siapa yang berani turun pasti mengantarkan jiwa dengan percuma.
“Mana mereka berani turun,” Thiat Tin-thian merendahkan suara setengah mengejek. “Mereka diagulkan sebagai pendekar besar, buat apa gagah-gagahan di sini.”
“Ya, mereka yakin kita tak dapat melarikan diri,” Thiat Coan-gi juga bicara dengan suara rendah. “Mereka pasti menunggu di atas.”
“Tetapi mereka pasti tak mau menunggu lama,” ujar Thiat Tin-thian. “Pasti mencari akal untuk memancing kita keluar, entah menyerang dengan api atau asap, mengguyur air ke dalam sumur atau dengan cara keji lainnya.”
Ma Ji-liong berkata, “Sebagai pendekar yang golongan putih, apakah mereka juga berbuat sekeji dan sekotor itu?”
Thiat Tin-thian menyeringai, katanya, “Berani saja, namanya saja pendekar, padahal perbuatannya tidak beda dengan bajingan, apalagi punya alasan untuk berbuat demikian.”
Senyum wajahnya dilembari cemoohan dan rasa sedih serta penasaran. “Menghadapi kawanan penjahat kejam seperti kita, cara apa pun berani mereka lakukan, sebab diagulkan sebagai pendekar, orang lain tidak menganggap perbuatan mereka rendah. Tapi kalau kami yang menggunakan cara seperti itu terhadap mereka, nilainya tentu berbeda.”
Mendadak ia menggenggam tangan Ma Ji-liong. “Apa betul kau sahabatku?” tanyanya tegas.
“Sudah pasti,” sahut Ma Ji-liong tegar.
“Usiaku jauh lebih tua, pantas tidak kau tunduk padaku?” ujar Thiat Tin-thian dengan nada tinggi. “Menghadapi situasi genting ini, kau harus patuh terhadapku.”
“Kasus apa yang kau maksud?”
“Mereka akan menyerang entah dengan api atau air, kami akan menerjang ke atas.”
“Bagus,” tanpa sangsi Ma Ji-liong berkata. “Sekarang juga kita bisa menerjang keluar bersama.”
“Kami yang kumaksud adalah aku dan Thiat Coan-gi, adikku, bukan dengan engkau,” suara Thiat Tin-thian lebih lirih. “Mereka hanya tahu aku dan Coan-gi bersembunyi di sini, tapi pasti tidak tahu ada orang ketiga berada di sini.”
“Ya, mereka pasti tidak menduga majikan toko serba ada di kampung ini juga berada di sini, apalagi bersahabat dan menjadi kawan rampok besar macam Thiat Tin-thian yang ditakuti dan dibenci orang banyak.”
“Yang akan mereka bekuk adalah kami berdua. Bila berhasil mereka pasti segera berlalu, takkan memeriksa tempat ini.”
“Setelah mereka pergi, kau boleh keluar dan mengundurkan diri,” Thiat Tin-thian menggenggam tangan Ji-liong lebih kencang. “Perpisahan kita hari ini, mungkin menjadi perpisahan untuk selamanya. Aku tidak ingin kau menuntut balas bagi kematianku, juga tidak minta kau mencuci bersih nama baikku, membongkar kasus terpendam itu hingga fitnah ini tersingkap tabirnya. Aku hanya berharap kau bertahan hidup, menyelamatkan diri, berarti kau sudah bertanggung jawab terhadapku.”
Untuk apa ia berkawan dengan Ma Ji-liong? Tidak untuk apa-apa. Dalam batin ia berdoa supaya temannya ini selamat, karena dia tahu ada sementara orang, kalau bertahan hidup adalah suatu usaha, suatu perjuangan yang serba sulit.
Ma Ji-liong hanya mendengarkan saja, diam tanpa memberi reaksi, juga tidak berbicara. Banyak yang ingin diucapkan, tapi sepatah kata pun tidak keluar karena ia merasa tak perlu melimpahkan isi hatinya. Dalam hati diam-diam ia sudah mengambil keputusan.
Thiat Tin-thian juga tidak bicara lagi, kembali ia melalap segenggam garam, segenggam demi segenggam terus dijejalkan ke dalam mulut dan langsung ditelannya. Selama hayat masih dikandung badan, selama dirinya masih bernapas, masih bisa berjuang, ia berani dan harus mengadu jiwa. Wataknya mirip Ma Ji-liong, dua orang yang berwatak sama seperti sengaja dipertemukan di dasar sumur.
***
Sudah sekian lama belum ada gerakan apa-apa di atas sumur, sudah pasti orang di dasar sumur takkan bisa melarikan diri, Coat-taysu memang orang yang sabar, tahan uji dan ulet.
Dari ikat pinggangnya Thiat Coan-gi meloloskan sebilah Bian-to, perlahan ia mengelus mata golok tipis itu dengan jari-jarinya yang panjang. Mendadak ia mendesis penuh kebencian, “Biar tubuhnya tercacah hancur, aku akan berusaha mengganyangnya lebih dulu.”
“Siapa yang hendak kau ganyang?” tanya Thiat Tin-thian.
“Siapa lagi, To Po-gi tentunya,” sahut Thiat Coan-gi dengan penuh dendam.
“Jangan, tidak boleh kau membunuhnya.”
“Dia telah mengkhianati kita, kenapa aku tak boleh mengganyangnya?”
“Karena dia sudah berkeluarga, punya bini yang akan melahirkan keturunannya. Bukan To Po-gi seorang yang mengkhianati temannya di dunia Kangouw, bukan hanya sekali ini kau dan aku dikhianati teman, lalu kenapa kau harus membunuhnya?” mendadak ia menghela napas panjang, “Kalau kau ingin membunuh orang, pertama yang harus kau bunuh sekarang bukanlah To Po-gi, tapi aku.”
“Kau?” teriak Thiat Coan-gi terbelalak.
“Jika bukan lantaran diriku, nasibmu takkan sejelek ini.”
Thiat Coan-gi memandang saudaranya dengan tatapan tajam, mendadak ia terloroh-loroh, serunya, “Betul, kau memang betul, kalau tiada kau, mana mungkin keadaanku menjadi begini. Ayah-bundaku disembelih, isteriku digagahi secara bergiliran, anakku pun dibantai. Para pendekar itu beranggapan, kejadian itu adalah akibat perbuatan jahatku sendiri, ganjaran atas dosa-dosaku, aku harus menelan karma, menerima pembalasan atas kejahatanku. Bila tiada kau, siapa yang membantu aku menuntut balas, melampiaskan dendam kesumatku? Aku...”
Makin bicara makin emosi, suaranya menjadi serak dan tersendat. Kulit mukanya mengkeret basah oleh air mata, mendadak ia melompat berdiri sambil meraung, “Thiat Tin-thian malang-melintang selama hidup, aku membunuh orang tak terhitung banyaknya, hari ini umpama batok kepalaku terpenggal, biar kujual kepada kalian, apa salahnya jiwaku melayang? Lekaslah kalian ambil saja.”
Padahal dia Thiat Coan-gi, bukan Thiat Tin-thian. Ia berkata demikian hanya ingin menerjang keluar lebih dulu, biar orang lain mengira dirinya Thiat Tin-thian dan mengincar jiwanya, biar dirinya berkorban asal saudaranya lolos dan selamat. Dia tidak memikirkan lagi mati hidupnya.
Ji-liong tahu maksudnya, demikian pula Thiat Tin-thian juga maklum. Mendadak ia bergelak tawa, “Kau tak boleh rebutan dengan aku. Kalau harus mati, biar aku yang gugur lebih dulu. Selama hayat masih dikandung badan, siapa pun jangan harap mengusik dirimu.”
Di tengah gelak tawanya yang panjang, tubuhnya yang kurus kering mirip tengkorak hidup, mendadak menubruk ke depan bagai harimau mengamuk. Sebelah kakinya menginjak pundak Thiat Coan-gi, sekali jejak tubuhnya lantas melesat mumbul keluar mulut sumur.
Kejap lain, terdengar kumandang jeritan yang mengerikan dari mulut sumur.
Tangkas sekali Thiat Coan-gi juga ikut melompat keluar. Tidak perduli siapa mati duluan atau mati belakangan, mereka harus mati bersama.
Kalau kejadian ini berlangsung setahun yang lalu, melihat teman segagah dan begitu perwira, air mata tentu berkaca-kaca di pelupuk mata, tapi sekarang air mata tidak berlinang, hanya darah yang bergolak di rongga dada.
Darah panas mendidih, seorang yang sudah bertekad mengucurkan darah, biasanya takkan mengucurkan air mata lagi. Dia tahu, apa yang dikatakan Thiat Tin-thian memang tidak salah.
Jika Ji-liong mau bersembunyi di dasar sumur, setelah kedua sahabatnya itu mati, musuh tentu akan pergi, dirinya akan punya waktu untuk meloloskan diri dan selamat pulang ke tokonya.
Hari-hari selanjutnya takkan ada orang yang membeli garam sebanyak itu, rahasia dirinya tetap adalah rahasia. Dia bisa melupakan peristiwa ini, melupakan orang yang bernama Thiat Tin-thian dan lupa bahwa dirinya pernah mengenal seorang penjahat yang berjiwa ksatria.
Sebaliknya kalau sekarang ia ikut menerjang keluar, maka dirinya akan gugur bersama Thiat Tin-thian. Maklum bila dirinya keluar dari sumur, Coat-taysu dan begundalnya tentu akan mengeroyok, dan akan ketahuan pula siapa dia sebenarnya.
Seorang pemilik sebuah toko, hidup tenteram dan rukun, pasti tak mau membela Thiat Tin-thian yang terkenal jahat dan ganas, apalagi mau mempertaruhkan jiwa raga sendiri. Demikian pula seorang yang berpikiran sehat dan punya akal budi lumrah, pasti tak mau melakukan perbuatan bodoh, mengorbankan jiwa sendiri secara percuma.
Ji-liong bukan orang bodoh. Ia juga tahu, cara bagaimana harus mempertahankan jiwa raga sendiri. Manusia hanya hidup sekali, hanya punya satu jiwa. Seperti juga manusia umumnya, ia pasti sayang dan ingin mempertahankan hidupnya.
Sayang sekali pada detik-detik yang genting ini, mendadak Ji-liong sadar, ia menemukan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan dengan jiwa orang hidup di dunia ini.
***
Coat-taysu memang menduga di dalam sumur hanya ada dua orang saja. Jika ada orang yang mendadak menerjang keluar, mereka pasti amat kaget. Di saat mereka kaget itulah, kesempatan yang amat berharga untuk Ma Ji-liong turun tangan.
Meski hanya sedikit kesempatan, Ma Ji-liong takkan mengabaikannya. Umpama tak ada kesempatan, Ji-liong tetap akan menerjang keluar melabrak musuh. Maka dengan tekad bulat, dengan mengerahkan seluruh kekuatan, ia pun menerjang keluar.