image
image
image

Bab 25

Ketemu Batunya

image

KALAU ada orang yang mau memborong dagangan, berarti jualannya laris. Dagang adalah dagang, kau punya barang apa, orang beli apa, apa yang orang ingin beli, kau harus menjualnya. Berapa banyak orang yang ingin beli, selama persediaan lengkap, kau harus melayaninya.

Tampak oleh Ji-liong, roman muka Thiat Tin-thian mulai berubah, Ji-liong sendiri juga merasakan air mukanya berubah.

Sayang ia tidak melihat roman muka Thio-lausit, namun ia mendengar Thio-lausit berkata, “Toko kelontong ini tidak besar, namun persediaan yang ada tidak kecil jumlahnya. Barang yang kami sediakan juga banyak ragamnya. Kau seorang diri mana mampu membawa sekian banyak?”

“Aku akan menyuruh orang bantu mengangkutnya,” demikian jawab pemborong itu. “Kau sebut saja berapa harganya, aku akan bayar tanpa menawar, nanti akan kusuruh orang ke mari mengangkutnya.”

Suruh orang mengangkut, siapa yang akan disuruh mengangkut? Mengangkut barang dagangan? Atau mengangkut jiwa mereka?

Ma Ji-liong tetap tidak mau keluar menghadapi pemborong itu. Mendadak ia merasa adanya sesuatu yang ganjil. Ia yakin Thio-lausit yang ada di luar mempunyai akal untuk melayani dan menghadapi pemborong itu.

Didengarnya Thio-lausit sedang berkata, “Aku hanya pegawai toko. Urusan jual-beli dalam jumlah sebesar itu, tak berani aku memutuskan.”

“Siapa yang bisa memberi keputusan?” tanya pemborong itu.

“Sudah tentu juragan kami,” sahut Thio-lausit.

“Juraganmu ada tidak?”

“Ada di dalam, kau boleh masuk dan langsung bicara dengan beliau.”

“Aku tidak mau masuk, suruh saja dia keluar.”

“Lho, kenapa kau tidak mau masuk?”

“Kenapa bukan dia saja yang keluar?” sikap pemborong ini mulai kaku dan ketus.

Jawaban Thio-lausit lebih ketus lagi, “Karena dia adalah juragan. Peduli juragan besar atau juragan kecil, ia punya gengsi sebagai juragan.”

Pemborong itu agaknya kurang senang, katanya, “Kalau dia tidak mau keluar, aku batal membeli.”

Tiba-tiba Thio-lausit memberi pernyataan lantang, “Kau sudah datang ke mari, kau sendiri yang menyatakan akan memborong seluruh isi toko ini, sebagai laki-laki, bicara mengapa plintat-plintut,” demikian tegur Thio-lausit. “Oleh karena itu, kau harus masuk.”

Sepenuh perhatian Thiat Tin-thian mendengarkan percakapan mereka, sorot matanya menampilkan rasa ragu, seperti menyelidik dan mengingat-ingat. Suara percakapan Thio-lausit berdua tidak lirih, setiap patah kata terdengar jelas dari dalam, sebetulnya tidak perlu ia pasang kuping, apalagi mendengarkan dengan seksama. Agaknya ia sedang membedakan, berusaha mengenali suara pemborong itu, mungkin ia pernah mendengar atau kenal suara pemborong itu.

Ji-liong siap bertanya apakah ia tahu asal-usul pemborong itu, mendadak Thiat Tin-thian sudah berseru, “Ong Ban-bu!” Suaranya tegang dan panik, “Awas, kedua lengan pegawaimu itu.”

Dalam Bulim hanya ada satu Ong Ban-bu, Hun-kin-joh-kut-jiu dan Tay-lik-eng-jiau-kang yang diyakinkan Ong Ban-bu menjagoi Kangouw, keculasan hati dan keganasan tangannya serasi dengan ilmu silat yang ia latih. Kedua ilmu tunggal itu dikuasai dengan sempurna dan terkenal tak pernah mendapat tandingan. Bila ia turun tangan, yang diserang adalah sendi tulang atau Hiat-to lawan yang penting dan mematikan, lawan yang terserang kalau tidak lumpuh seketika, cacat seumur hidup, jiwa pasti melayang.

Pemborong alias Ong Ban-bu yang berada di luar itu agaknya sudah turun tangan. Peringatan Thiat Tin-thian terlambat. Belum habis ia bicara, Ji-liong sudah mendengar suara tulang patah. Suara yang lirih, tapi cukup menusuk pendengaran, dari telinga langsung menusuk ke sanubari, menusuk perut meresap ke tulang.

Seketika Ma Ji-liong merasa perutnya mengkeret, tubuhnya mengejang kaku, sendi tulang sekujur badan mendadak linu. Tak peduli Thio-lausit seorang jujur tulen atau pura-pura jujur, jelek-jelek dia adalah pegawainya, selama tiga bulan dua puluh satu hari hidup bersama di dalam satu rumah.

Anehnya kupingnya hanya menangkap suara tulang patah, tapi tidak mendengar jeritan atau keluh kesakitan.

Hanya ada dua macam orang yang kuat menahan siksa dan kesakitan tanpa mengeluarkan jeritan. Orang pertama adalah laki-laki yang keras kepala, keras tulangnya, teguh pendirian. Macam kedua adalah orang yang sudah mati, atau orang yang mendadak semaput dan hampir mampus.

Ma Ji-liong sudah siap menerjang keluar, demikian pula Thiat Tin-thian sudah melompat berdiri hendak menerobos keluar. Tapi sebelum mereka bergerak lebih lanjut, seseorang sudah menyelinap masuk lebih dulu.

Orang ini masuk dengan mundur, lengannya tampak terjuntai sebatas sikut, ternyata sendi tulang di sikut kirinya terpelintir putus. Saking kesakitan, peluh dingin bercucuran di selebar mukanya, sekujur badan juga basah kuyup seperti ayam kecemplung ke air, namun dia menggertak gigi tanpa merintih.

Orang ini memang laki-laki jantan, laki-laki sejati. Insan persilatan di Kangouw, siapa yang tidak tahu bahwa Ong Ban-bu adalah laki-laki tabah, keras kepala dan tahan uji.

Yang berjalan mundur ke dalam bukan Thio-lausit yang mereka kuatirkan, sebaliknya Ong Ban-bu yang lihai dan telengas. Ong Ban-bu yang tersohor karena Hun-kin-joh-kut-jiu tidak pernah dikalahkan musuh, jago nomor satu yang termasyhur di Bulim, berkuasa di wilayah Hoay-lam. Ong Ban-bu yang pernah memelintir putus lengan dan mematahkan tulang rusuk jago-jago kosen, tak terhitung jumlah musuh yang kecundang di tangannya.

Sekarang lengannya malah yang putus, dipelintir oleh Thio-lausit, pegawai toko di sebuah kampung yang tidak ternama. Sudah tentu ia amat penasaran, namun bukti menunjukkan bahwa lengan kirinya putus. Demikian pula Thiat Tin-thian yang tahu pribadinya. Ma Ji-liong juga tidak percaya, tidak menduga bahwa pegawainya itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Peristiwa yang dianggap tak mungkin terjadi sudah menjadi kenyataan. Memang tiada sesuatu yang mutlak di dunia ini. Satu hal harus dicatat, diukir dalam sanubari setiap orang, kalau sesuatu yang dianggap tidak mungkin terjadi suatu ketika betul-betul terjadi, maka akan merasa kaget, heran dan menderita. Karena bila peristiwa yang dianggap tidak mungkin itu betul-betul terjadi, maka peristiwa itu pasti mengundang siksa derita. Ada kalanya derita itu jauh lebih besar dibandingkan siksa patah lengan atau putus kaki.

***

image

Bukan hanya mengunjuk rasa heran, rona muka Ong Ban-bu juga mengunjuk rasa sakit, kaget dan takut. Selama hidup, belum pernah ia merasa takut seperti sekarang. Tapi pegawai toko serba ada yang tak dikenalnya ini benar-benar membuatnya jeri.

Hun-kin-joh-kut-jiu (Gerakan Memelintir Tulang dan Mengunci Urat Nadi) dan Tay-lik-eng-jiau-kang (Ilmu Cakar Elang Bertenaga Raksasa) adalah ilmu tunggal ciptaan Eng-jiau-ong (Raja Cakar Elang) dari Hoay-lam yang tiada taranya. Ong Ban-bu adalah ahli waris murni Eng-jiau-ong yang lurus, jago kosen nomor satu dari Hoay-lam-bun.

Tak pernah terbayang dalam benaknya, hari ini, di saat dirinya akan menggasak korban yang tak dikenal dan tidak ternama ini, dirinya malah kecundang. Hanya satu gebrak setengah jurus, pegawai toko ini sudah mengunci gerakannya dan menutup jalan mundur dirinya, sekaligus memelintir putus lengannya.

Selangkah demi selangkah ia mundur, mundur karena didesak dan diancam oleh Thio-lausit, mundur ke dalam rumah lewat pintu kecil yang berkain tirai itu.

Kain tirai menjuntai turun. Pegawai jujur yang bertampang biasa itu tidak kelihatan ikut masuk. Ong Ban-bu terus mundur tanpa memperhatikan bahwa di belakang dan di sekitarnya ada beberapa orang yang sedang memperhatikan dirinya, mengawasi dengan pandangan kaget, heran dan tak habis mengerti. Sorot mata Ong Ban-bu kelihatan amat sedih, kesakitan yang amat sangat, matanya lurus menatap ke depan seperti tidak melihat keadaan sekitarnya.

Mendadak Thiat Tin-thian maju selangkah seraya mengulurkan tangan menarik pundak orang sehingga Ong Ban-bu jatuh terduduk di kursi rotan itu.

Semestinya Ong Ban-bu mengenal Thiat Tin-thian, mereka pernah menjadi teman baik, kawan seperjuangan, tapi akhirnya mereka berselisih dan menjadi musuh bebuyutan, musuh besar jelas lebih sukar dilupakan daripada kawan. Tapi ia seperti tidak kenal, tidak melihat orang yang berdiri di depannya ini adalah Thiat Tin-thian, musuh yang ia segani dan takuti, seolah-olah matanya sudah buta tapi melek, tidak melihat ada orang berdiri di depannya.

Keringat masih bercucuran dari jidatnya, membasahi selembar mukanya, mulutnya mengigau seperti orang bermimpi, “Siapakah dia? Siapakah orang itu?”

Sudah tentu besar pula hasrat Thiat Tin-thian untuk mengetahui siapa sebenarnya pegawai toko itu, maka ia berpaling dan bertanya pada Ma Ji-liong, “Siapa sebenarnya pegawaimu itu?”

Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak bisa menjawab. Ia pun tidak tahu siapa dan bagaimana asal-usul pegawainya. Ia hanya tahu pegawainya itu bernama Thio-lausit, seorang yang jujur dan setia, tindak-tanduknya mirip orang linglung. Dulu ia tidak punya pengalaman gemilang, kelak juga takkan punya masa depan cemerlang, seakan hidupnya cukup makan minum sampai mati di dalam toko kelontong yang makin kotor dan jorok ini.

Tiada orang yang kenal asal-usulnya, namun hanya dalam segebrak saja ia mampu melumpuhkan Ong Ban-bu, jago kosen yang sudah menggetarkan Bulim.

Ma Ji-liong juga tidak habis mengerti, maklum Thio Eng-hoat atau juragan toko serba ada yang sekarang bukan juragan yang lama, demikian pula pegawai yang satu ini juga bukan Thio-lausit yang asli, bukan pegawai lama yang jujur itu.

Seharusnya Ma Ji-liong bisa menduga hal ini sejak mula, namun kenyataan memang susah dimengerti, siapa sebetulnya pegawai ini. Ji-liong betul-betul tidak tahu.

***

image

Wajah Ong Ban-bu basah karena keringat, mulutnya terus mengigau, entah sudah berapa kali mengulangi pertanyaan yang sama.

Mendadak Thiat Tin-thian mengayunkan tangan menggampar mukanya. Selama hidup Ong Ban-bu mungkin tidak pernah digampar orang, apalagi setelah dia menduduki jabatan tinggi dari perguruannya. Patah sikutnya betul-betul membuatnya patah semangat, malu dan jatuh mental, sehingga dia mengigau seperti hilang ingatan. Namun tamparan Thiat Tin-thian cukup membuatnya kaget dan sadar. Seperti orang baru terjaga dari mimpi yang lelap, dia celingukan melihat orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Begitu melihat Thiat Tin-thian, matanya lantas memicing, bayangan ngeri terunjuk pada mimik mukanya. Kejadian masa lalu, kenangan lama segera terbayang di dalam benaknya.

“Engkau...” desis Ong Ban-bu. “Engkau... di sini.”

“Ya, aku di sini,” suara Thiat Tin-thian seperti tertelan dalam tenggorokan, jelas ia juga teringat akan masa lalu. “Seharusnya kau tahu kalau aku ada di sini.”

Beberapa kejap Ong Ban-bu mengawasi, sorot matanya berubah makin sedih dan tersiksa, katanya, “Aku tahu kau ada di sini, aku ke mari juga lantaran ingin merenggut nyawamu. Aku tahu aku pernah bersalah terhadapmu, aku pernah memfitnahmu, mengkhianatimu. Oleh karena itu aku makin membencimu, hasratku lebih besar lagi untuk membunuhmu.” Cukup tegas apa yang ia ucapkan, tapi kenyataan memang demikian.

Jika kau pernah mengkhianati orang, maka kau pasti membenci orang itu, kau akan berusaha membunuh dan melenyapkan dia dari hadapanmu. Selama dia masih hidup, hatimu takkan pernah tenteram. Selama hidup kau akan merasa berdosa, dibayangi oleh kesalahanmu sendiri. Setelah keadaan berlarut sejauh itu, yang kau benci mungkin bukan dia lagi, tapi dirimu sendiri.

“Sepuluh tahun yang lalu,” demikian kata Ong Ban-bu dengan suara bergetar. “Aku pernah memfitnah engkau, karena saat itu aku pernah melakukan kesalahan terhadapmu, aku takut kau tahu perbuatanku yang terkutuk itu, maka... maka aku ingin meminjam golok orang lain untuk membunuh engkau.”

“Aku tahu,” kereng suara Thiat Tin-thian.

“Kalau betul kau tahu, kenapa tidak kau bunuh aku waktu itu?” sikap Ong Ban-bu kelihatan lebih tersiksa. “Aku rela mati di tanganmu. Kalau waktu itu kau bunuh aku, nasibku takkan seperti ini.”

Ini pun kenyataan. Dapat gugur di tangan Hoan-thian-hu-te, rampok besar Thiat Tin-thian, jauh lebih mending dibandingkan kecundang di tangan seorang pegawai toko.

Kekalahan yang terlalu fatal, teramat runyam, sangat mengenaskan. Thiat Tin-thian meresapi perasaannya, tahu betapa besar derita batinnya. Pengalaman masa lalu sudah lewat, namun duka lara tetap abadi sepanjang masa.

Di luar tidak terdengar suara apa pun, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Thio-lausit juga tidak masuk, tetap di luar menjaga toko, mirip seorang jujur, duduk di kursi yang berada di pinggir pintu, bekerja rajin dan setia menunggu barang dagangan, tiada orang yang tahu bahwa dia seorang jago silat kelas wahid yang memiliki ilmu silat tinggi.

Siapakah dia? Kenapa dia menemani Ma Ji-liong bersembunyi di toko ini? Mendadak Ma Ji-liong menerobos keluar, hasratnya lebih besar untuk mendapatkan jawaban itu dibanding Thiat Tin-thian.

Thio-lausit duduk tenang dan tegak di atas kursi, di mana dia biasa duduk. Keadaan toko ini pun seperti biasa, tapi keadaan di luar rumah justru berbeda dengan biasanya. Dalam waktu seperti itu, biasanya jalan kampung yang jorok dan becek kalau hujan itu selalu ramai, di sana kucing di sini anjing, keadaan biasanya ramai dan hiruk-pikuk. Meski jalan kampung ini dalam wilayah yang berpenduduk miskin, tapi kehidupan di sini tetap diliputi suasana riang gembira.

Namun keadaan yang biasanya ramai itu kini berubah menjadi sepi lengang, bayangan seorang pun tidak kelihatan di luar rumah, anjing dan kucing juga tidak tampak. Jalan kampung ini mendadak berubah menjadi jalan mati, seperti tiada kehidupan di daerah sekitarnya.