KAKEK timpang yang cacat ini tak berbeda lagi dengan kebanyakan manusia, karena sekarang dia sudah mati, mayatnya rebah di bawah tikar yang disingkap Ji-liong.
Setiap orang akhirnya pasti mati. Orang mati sudah tentu sama, kaku dingin tidak bernapas lagi. Entah bagaimana dia mati, mati dibunuh, mati sakit atau kecelakaan, setelah dia mati, tubuhnya akan kaku menjadi mayat. Peduli di masa hidupnya dia seorang Enghiong, seorang Pendekar, perempuan cantik atau ratu sekalipun, setelah mati dia akan berubah dalam bentuk yang sama, sebagai mayat yang tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Namun dalam seribu satu kesamaan itu, ada satu perbedaannya. Perbedaan yang menyolok di atas mayat yang satu ini dengan mayat lain pada umumnya, walau kakek bungkuk lagi timpang ini sudah mati, namun sepasang tangannya saling genggam di depan perutnya. Seperti seorang budak miskin yang menggenggam kantong uangnya, harta miliknya yang dipertahankan dari rebutan pembunuhnya. Barang apakah yang tergenggam di kedua tangannya?
Perlahan Ma Ji-liong berjongkok, perlahan pula ia membuka genggaman tangan kakek timpang itu. Begitu jari tangan si kakek ia kendorkan dan terbuka, seketika air mukanya berubah pucat dan panik. Ternyata yang tergenggam di kedua tangan kakek cacat ini hanyalah sebutir batu, batu bundar hitam dan mengkilap sebesar buah duku.
Hanya di lembah mati ada batu hitam bulat dan mengkilap seperti ini.
Tanpa sadar Cia Giok-lun memekik seram, “Bu-cap-sah!”
Jikalau Bu-sap-sah yang datang ke mari, lalu di mana Toa-hoan?
Sudah tentu Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun tidak bisa menjawab teka-teki ini, malah menduga atau memikir juga tidak berani.
Satu persoalan kembali mengganjal dalam sanubari mereka. Rencana Ji Liok cukup rapi dan amat dirahasiakan, dengan cara apa Bu-cap-Sah dapat menemukan jejak mereka dan menyusul ke mari?
***
Semenjak jadi buronan, belum pernah Thiat Tin-thian dapat tidur pulas, demikian pula kali ini. Sebetulnya ia juga masih buron, tapi ia percaya akan rencana kerja Ji Liok, yakin bahwa kawan-kawan yang lain pasti dapat menanggulangi bersama segala persoalan. Badan agak segar setelah lukanya agak sembuh, namun setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya merasa penat juga, maka Thiat Tin-thian kali ini dapat tidur dengan nyenyak. Umumnya kawakan Kangouw seperti dirinya, bila ada kesempatan tidur, biasanya tidak akan disia-siakan, apalagi ia yakin persembunyian mereka di gedung ini cukup aman. Akan tetapi sebagai kawakan Kangouw, meski tidur nyenyak juga mudah terjaga oleh sesuatu gerakan atau suara lirih sekalipun.
Thiat Tin-thian terjaga oleh suara yang aneh. Waktu ia celingukan, ternyata Ong Ban-bu sudah tidak kelihatan, tikar yang disediakan untuk alas tidurnya juga ikut lenyap. Padahal kamar itu hanya ada satu pintu dan satu jendela, pintu dan jendela masih terpalang dari dalam, jelas tidak pernah disentuh atau dibuka orang. Tin-thian yakin tidak mendengar suara Ong Ban-bu membuka jendela atau pintu, apalagi daun jendela tertutup rapat dan terpalang lagi, tidak mungkin Ong Ban-bu memasang palang lagi dari luar jendela. Tapi persoalan sudah jelas, pintu dan jendela tidak pernah dibuka, namun Ong Ban-bu lenyap, cara bagaimana dia meninggalkan kamar ini?
Penjelasan yang paling benar adalah di kamar ini ada pintu rahasia, atau lorong bawah tanah. Dalam gedung besar milik hartawan kaya raya, tidak heran kalau dibuat juga pintu rahasia atau dinding berlapis, apalagi gedung ini dibangun sendiri oleh Ji Liok yang serba ahli.
Dengan pengalamannya Thiat Tin-thian tak mampu menemukan pintu rahasia ini, sudah tentu ia lebih heran dan bertanya-tanya lagi. Maklum Ong Ban-bu juga seperti dia, baru pertama kali datang ke tempat ini. Kalau ia tidak bisa menemukan rahasianya, dari mana Ong Ban-bu bisa menemukannya dan menghilang?
Kecuali itu sudah tentu masih ada lagi persoalan lain.
Kenapa tadi Ong Ban-bu tidak tidur di tempat yang sudah disediakan untuk dirinya? Kenapa secara diam-diam mengeluyur keluar? Umpama ia mau keluar juga tidak perlu main sembunyi. Kecuali ada sesuatu yang harus dirahasiakan, apalagi keluar lewat jalan rahasia?
Thiat Tin-thian memang orang kasar. Beberapa persoalan ini tidak dipikir olehnya, satu hal yang tidak dimengerti memang tak pernah ia pikirkan lebih lanjut, sekarang ia mulai beraksi.
Waktu ia membuka pintu dan melangkah keluar, saat itulah Cia Giok-lun memanggil Ji-liong serta mengajak ke kamarnya.
Kebetulan Thiat Tin-thian memergoki mereka, tapi ia diam saja malah menyembunyikan diri tak mau mengganggu. Di malam dingin di bawah rembulan remang-remang, bila seorang pemuda berkencan dengan seorang gadis, bisik-bisik atau lagi bermain cinta, kenapa aku harus mengganggu mereka? Demikian batin Thiat Tin-thian.
Maklum sebagai buronan yang sudah cukup lama terasing dari dunia ramai, Thiat Tin-thian juga adalah laki-laki normal meski usianya sudah lebih setengah abad, rangsangan nafsu masih menguasai jiwanya. Kecuali pantang mengganggu keasyikan orang, ia pun berusaha menghindarkan diri supaya tidak mengundang goncangan perasaan sendiri. Sekarang ia hanya ingin mencari Ong Ban-bu.
Kamar di mana mereka tinggal terletak di bagian luar dari bilangan tengah, di belakang kamar mereka adalah sebuah taman besar yang berada di paling belakang. Maklum gedung ini belum selesai dibangun seluruhnya, maka taman kembang ini juga masih setengah rampung. Di tengah malam yang dingin di musim semi ini, terasa keadaan di sini agak lembab dan seram.
Pelahan dan hati-hati, penuh kewaspadaan lagi, Thiat Tin-thian beranjak di jalanan kecil yang ditaburi batu-batu kerikil. Mendadak ia mendengar suara ganjil dari belakang gunungan sana, suara orang yang lagi merintih. Sukar Tin-thian membedakan suara rintihan siapa, namun terasa olehnya suara rintihan itu diliputi siksa derita yang luar biasa, gejolak nafsu yang tidak terlampias.
Di belakang gunungan batu karang itu terdapat sebuah kolam. Walau kembang teratai belum berbunga, tapi air kolam kelihatan jernih dan mengalir kalem ke pinggir selokan dengan suaranya yang gemercik lembut.
Waktu Thiat Tin-thian tiba di pinggir gunungan, tampak seorang muncul dari dalam air kolam yang jernih, begitu melompat keluar lalu menjatuhkan diri di pinggir kolam yang berlumpur, tubuh yang bugil itu tampak mengejang dan menggigil, kedua tangannya juga terangkap kaku di tengah kedua selangkangannya.
Laki-laki telanjang yang meringkel di tanah sambil merintih ini ternyata bukan Ong Ban-bu, dia adalah Coat-taysu.
***
Thiat Tin-thian terpaku di tempatnya. Tak pernah terbayang dalam ingatannya bahwa Coat-taysu bisa berubah seperti itu di kala gejolak nafsunya tak terkendali lagi. Namun lekas sekali ia maklum kenapa Coat-taysu begitu menderita.
Coat-taysu juga manusia, laki-laki normal. Ia pun punya keinginan, punya nafsu, ada saatnya ingin menyalurkan keinginannya itu seperti laki-laki umumnya, kalau tidak punya istri bisa jajan di luar. Tapi Coat-taysu adalah orang beribadat, tokoh silat yang meyakinkan ilmu dengan pantangan harus menjaga keperjakaannya alias tidak boleh kawin, sudah tentu sukar ia menyalurkan keinginan yang mendesak. Terpaksa di tengah malam buta rata, di luar tahu orang lain, seorang diri diam-diam ia membenamkan diri dalam air dingin berusaha menekan gejolak nafsunya itu, dengan air dingin ia berusaha mencuci otaknya.
Mendadak Thiat Tin-thian sadar Coat-taysu juga seorang yang harus dikasihani. Sikap yang dingin kaku, watak yang aneh adalah akibat dari nafsu yang sekian tahun terbenam, tertekan dan tak pernah tersalurkan secara wajar.
Mendadak Coat-taysu melompat sesigap kelinci karena terkejut oleh daya ciumnya yang tajam, inderanya memperingatkan sesuatu tengah mengintai gerak-geriknya. Lekas sekali ia meraih baju lalu mengenakannya, dengan tertegun ia mengawasi Thiat Tin-thian yang masih tertegun.
Selang beberapa kejap kemudian, Thiat Tin-thian menghela napas, katanya kalem, “Tidak usah kau kuatir dan takut, aku berjanji tidak akan membicarakan dirimu dengan orang lain. Apa yang kulihat malam ini, anggaplah tidak pernah terjadi, kejadian ini takkan diketahui orang ketiga. Kalau aku melanggar janji, biarlah aku mati tanpa liang kubur.”
Dapat dibayangkan betapa kaget, gugup, malu, dan sesal perasaan Coat-taysu, apalagi yang memergoki dirinya adalah Thiat Tin-thian, musuh besarnya. Mendadak ia bertanya dengan beringas, “Apa kau tak tahu bahwa Thiat Coan-gi sudah mampus?”
Terkepal tinju Thiat Tin-thian, desisnya, “Kau yang membunuhnya?”
“Tak usah kau tahu siapa yang membunuhnya. Kalau kau ingin menuntut balas, sekarang juga boleh kau turun tangan padaku,” demikian jengek Coat-taysu.
Thiat Tin -thian mengawasi dengan dada berombak, namun lambat laun ia dapat menguasai diri. Bukan saja tidak bermaksud turun tangan, ia malah menghela napas. “Sekarang aku tak boleh membunuhmu,” demikian kata Thiat Tin-thian lesu.
“Kenapa?” Coat-taysu meraung.
Karena Thiat Tin-thian merasa simpatik dan kasihan terhadap Coat-taysu, nafsu membunuh tidak membakar hatinya. Sudah tentu Thiat Tin-thian tidak melontarkan pikirannya. Saat itulah, sebelum ia bicara, dari kejauhan di depan sana terdengar lengking jeritan.
Itulah jeritan Cia Giok-lun waktu ia melihat mayat di bawah tikar yang disingkap Ma Ji-liong.
***
Tak ada noda darah, mayat itu memang tidak terluka, kakek timpang ini mati karena jantungnya tergetar hancur oleh pukulan tenaga dalam yang amat dahsyat. Tenaga lunak yang mengandung kekuatan hebat, pukulan yang hanya menggetar hancur jantung orang, tapi tidak meninggalkan bekas pukulan sedikit pun di luar tubuh si korban.
Waktu Thiat Tin-thian memburu tiba, Ji Liok juga berlari datang. Sikapnya kelihatan gugup, kaget, dan gusar.
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Ji Liok. “Mengapa membunuh orang cacat yang tidak berdosa?”
Thiat Tin-thian juga gusar, serunya, “Pembunuh itu tidak perlu memakai alasan untuk merenggut jiwa orang.”
“Maksudmu Bu-cap-sah?” teriak Ji Liok penasaran.
“Siapa lagi kecuali dia?” ujar Thiat Tin-thian.
Ji Liok terbelalak kaget, serunya, “Bagaimana mungkin dia menemukan tempat ini? Apakah rencanaku kurang rapi?”
Hal ini juga terpikir oleh orang banyak.
“Ya, aku sudah mengerti,” tiba-tiba Cia Ciok-lun berkata.
“Kau mengerti apa?” tanya Ji Liok.
“Kalau iblis laknat itu dapat mendengar suara kura-kura bertelur, tentu dia juga mendengar orang menggali tanah. Kukira dia sudah menunggu di mulut lorong bawah tanah itu, sejauh ini dia selalu mengawasi gerak gerik kita.”
“Tidak benar,” sahut Ji Liok tegas. “Dia pasti tak mendengar aku menggali tanah.”
“Kenapa tidak mendengar?” tanya Thiat Tin-thian.
“Kalau dia mendekam di tanah dan mendekatkan telinganya ke bumi serta mendengarkan dengan seksama, mungkin bisa mendengar,” demikian kata Ji Liok. “Kurasa dengan cara itu pula baru dia bisa mendengar kura-kura bertelur.”
Apalagi 'kura-kura bertelur' paling hanya sebagai ungkapan kata untuk melukiskan ketajaman kuping seseorang belaka. Apa betul kura-kura bertelur mengeluarkan suara? Yakin tiada manusia di dunia ini yang pernah mendengarnya, siapa pun tidak tahu kapan dan bagaimana kura-kura bertelur.
“Waktu aku menggali tanah, seluruh perhatian Bu-cap-sah ditujukan untuk mendengarkan gerak-gerik kalian di dalam toko, mana mungkin mendengar suara orang menggali tanah di dalam bumi?” Ji Liok berkata penuh keyakinan. “Kami juga bekerja dengan waspada, amat hati-hati, boleh dikata setiap cangkul dan sekop bekerja tidak menimbulkan suara sedikit pun.”
Kalau Ji Liok amat yakin pada dirinya, adalah lumrah bila orang lain menaruh kepercayaan penuh kepadanya, maka persoalan kembali pada titik keluar semula.
“Jika Bu-cap-sah tidak mendengar suara kalian menggali tanah, berarti rencana ini cukup sempurna, lalu cara bagaimana dalam jangka setengah malam dia mampu mengejar ke tempat ini?”
“Hanya ada satu titik kelemahan dalam rencana ini,” mendadak Thiat Tin-thian bersuara.
“Di mana titik kelemahannya?” tanya Ji Liok.
“Pada Ong Ban-bu,” sahut Thiat Tin-thian.
Ji Liok berkata, “Kau anggap dia mata-mata? Sepanjang jalan dia meninggalkan tanda rahasia sehingga Bu-cap-sah dapat menyusul ke sini?”
Pertanyaan ini sebetulnya merupakan jawaban pula. Kecuali Ong Ban-bu, tidak mungkin orang kedua di sini yang patut dicurigai sebagai mata-mata. Kalau tiada mata-mata lawan, bagaimana mungkin Bu-cap-sah dapat menguntit sampai di sini.
“Di mana sekarang Ong Ban-bu?” tanya Ji Liok.
“Dia menghilang tidak keruan parannya,” sahut Thiat Tin-thian. “Waktu aku terjaga tadi, dia sudah menghilang entah ke mana.”
“Kenapa kau terjaga?” tanya Ji Liok.
“Aku terjaga oleh suara aneh,” tutur Thiat Tin-thian. “Sebetulnya sukar aku membedakan suara apakah itu, sekarang baru terpikir olehku, kemungkinan sekali suara orang membuka pintu rahasia di bawah tanah.”
Ji Liok segera membuktikan kebenaran dugaan ini, “Kamar yang kau tempati ini, memang akan dijadikan kamar buku pemilik rumah ini. Di waktu dia menjabat pembesar tinggi dulu, mungkin tidak sedikit musuhnya, maka dia minta dibuatkan sebuah kamar rahasia di bawah tanah.”
“Tapi aku tidak bisa menemukan,” ujar Thiat Tin-thian.
Pintu rahasia di bawah tanah itu dibuat oleh Ji Liok, sudah tentu orang lain sukar menemukan, untung ia memberi petunjuk bagaimana menemukan dan membuka pintu rahasia itu.
Sebagai kamar buku pemilik gedung besar yang kaya raya, sudah tentu kamar itu amat besar dan luas. Semula Ong Ban-bu tidur di dekat jendela sebelah pojok sana. Ternyata pintu rahasia itu tepat di bawah tikar di mana tadi dia tidur. Bila alat rahasianya diputar, pintu rahasia lantas terbuka, dengan mudah dia bisa melarikan diri lewat pintu rahasia yang menjeplak terbalik.
Bahwa Thiat Tin-thian tidak menemukan tombol untuk membuka pintu rahasia itu, karena alat rahasianya dipasang pada vas bunga di atas ukiran daun jendela di sebelah atasnya.
Begitu Ji Liok memuntir ukiran daun di atas jendela, papan atau tepatnya pintu rahasia lantas terbalik, maka muncullah pintu rahasia di bawah tanah. Lorong bawah tanah itu lembab lagi apek, jalan keluarnya di mulut sumur. Sudah tentu sumur yang satu ini juga tidak berair. Walau di sini tidak ada air, tapi mereka menemukan sesosok tubuh, seorang yang sudah menjadi mayat, sesosok mayat yang dibungkus tikar. Tikar adalah alas tidur. Tikar kasar dan murah harganya, orang yang tergulung dalam tikar itu memang bukan lain adalah Ong Ban-bu.