LEMBAH Kematian tetap Lembah Kematian, tiada perubahan. Di sini tiada emas, tiada istana, apa pun tidak ada.
Secara misterius kereta kuda yang mereka kejar lenyap tak keruan parannya begitu masuk ke mulut lembah mati, lenyap tanpa bekas.
***
Fajar menyingsing, sang surya telah terbit. Sinar pagi menyoroti batu-batu hitam yang kelihatan mengkilap, terang gemerdep seperti sinar emas. Sayang batu hitam tetap batu hitam,tidak bisa berubah jadi emas. Betapa pun terang sinar gemerdep yang dipantulkan oleh pancaran sinar surya di permukaan batu bundar itu, ia tetap batu hitam yang tiada harganya, bukan emas murni yang dapat membuat manusia kaya, juga dapat membuat manusia edan.
Di manakah adanya emas murni di dalam lembah ini?
Kalau di sini tidak ada emas, dengan apa Bu-cap-sah menarik pemuda-pemuda sebanyak itu? Kalau di sini ada emas seperti yang diceritakan Bu-cap-sah, kenapa pasir emas pun tidak kelihatan?
Yang menarik perhatian Ma Ji-liong bukan emas juga bukan batu hitam, tapi Toa-hoan. Ia yakin bila kereta itu ditemukan, mereka pasti dapat menemukan Toa-hoan juga.
Kereta kuda itu lari ke mana? Padahal kereta besar dengan empat kuda penariknya bukan barang kecil yang bisa diangkat lalu dimasukkan dan disembunyikan di dalam kantong, bagaimana mungkin dalam sekejap mata kereta kuda itu lenyap seperti kabut dihembus angin lalu?
“Di bawah,” mendadak Ma Ji-liong menarik kesimpulan.
“Apa yang di bawah?” tanya Cia Giok-lun.
“Kereta kuda, emas, manusia, semua ada di bawah,” demikian ucap Ma Ji-liong. “Mereka pasti membangun istana di bawah tanah, istana yang besar dan megah.”
lni bukan khayalan. Emas dapat menghancurkan segala persoalan yang semula tidak bisa dihancurkan. Dengan emas bisa melakukan perbuatan apa pun yang semula tidak bisa dilakukan, dengan emas bisa mengendalikan setan untuk mengerjakan sesuatu yang diinginkan.
Kalau betul di tempat ini ada lubang rahasia, di antara mereka yang mampu menemukan rahasianya hanyalah Ji Liok. Tapi Ji Liok menggelengkan kepala. “Kau keliru,” katanya. “Mereka pasti tak di bawah tanah, tapi mereka di atas.”
“Di atas?” Ma Ji-liong menoleh lalu mengangkat kepala memandang ke atas menurut arah pandangan Ji Liok, maka matanya tertumbuk pada golok melengkung yang terselip di ikat pinggang warna merah lombok itu, golok melengkung itu gemerdep ditingkah sinar surya pagi.
Tampak pengawal Persia itu berdiri merentangkan kedua kakinya sambil bertolak pinggang, berdiri di batu cadas yang bergantung di dinding gunung di atas mulut lembah. Pengawal Persia itu menyeringai sambil melambaikan tangan kepadanya.
“Ma Ji-liong,” suara pengawal Persia itu serak lagi keras, bergema di dalam lembah memantulkan gelombang suara tinggi, “Siapa yang bernama Ma Ji-liong, kalau kau ingin mencari Toa-hoan, ikutlah aku. Kalau ada orang yang ikut ke mari, Toa-hoan akan segera kupenggal kepalanya.”
***
Cuaca cerah, langit membiru, sinar surya kuning keemasan. Kehidupan begini semarak, siapa yang rela meninggalkan dunia seindah ini?
Namun ada sejenis manusia di dunia ini, berani menyerempet bahaya, melakukan apa yang dia ingin lakukan meski jiwa terancam bahaya. Karena dia beranggapan kerja ini harus dia lakukan, meski berkorban jiwa sekalipun juga takkan mundur, tetap maju dan berani menghadapi ancaman apa pun.
Ma Ji-liong adalah simbol manusia jenis ini. Perlahan ia membalikkan badan menghadapi para kawannya, sudah tentu kawan-kawannya paham dan mengerti orang macam apa sebetulnya Ma Ji-liong.
Sebetulnya Thiat Tin-thian tidak ingin bicara, karena apa pun yang ia katakan tidak akan ada gunanya. Tapi ada kalanya sepatah kata pun harus diucapkan meski dalam keadaan yang paling buruk, sepatah kata pesan, “Dia orang gila, membunuh orang tidak pakai alasan.”
“Aku tahu,” sahut Ma Ji-liong memanggut.
“Sekarang ia punya alasan untuk membunuh kau,” tegas suara Thiat Tin-thian. “Kau pernah menipunya, maka ia takkan mengampunimu. Setelah ia membunuh kau, ia tetap akan membunuh Toa-hoan juga.”
“Aku tahu,” kembali Ma Ji-liong mengiakan.
“Kau tetap akan memenuhi panggilannya?” Thiat Tin-thian memekik.
Ma Ji-liong menatapnya bulat-bulat, “Jikalau kau menjadi aku, kau penuhi tidak panggilannya?”
Thiat Tin-thian menghela napas, sikapnya tampak amat gregetan, katanya, “Aku akan memenuhi panggilannya, aku akan pergi menemuinya.” Maju beberapa langkah, ia menggenggam pundak Ma Ji-liong, Ji Liok juga mendekat menggenggam pundak yang lain, tanpa bicara mereka melengos dan menyingkir.
Mereka tahu Cia Giok-lun pasti ingin bicara juga. Ada pesan yang perlu dibicarakan dengan Ma Ji-liong. Mereka tidak mau mendengar, juga tidak tega mendengarnya.
***
Sinar matahari yang merambat dari balik bukit kebetulan menyorot wajah Cia Giok-lun. Cahaya mentari begitu cemerlang, namun wajahnya tampak begitu pucat.
“Aku juga tahu dan maklum kau pasti pergi menunaikan kewajibanmu,” kali ini Cia Giok-lun tidak menangis, suaranya malah tenang dan tertawa sendu. “Jika aku yang jatuh di tangan mereka, kau juga akan berusaha menolong aku. Tapi sebelum kau pergi, kuharap kau tahu dan mengerti akan satu hal.”
“Tentang hal apa?” tanya Ma Ji-liong.
“Peduli kau mati atau hidup, kembali atau tidak, peduli siapa yang kau cintai, sudah pasti aku adalah milikmu, hanya milikmu,” kata Cia Giok-lun dengan tertawa manis. “Kau sudah melihat tubuhku, pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri, kecuali kau, apakah aku boleh menikah dengan laki-laki lain?”
Ji-liong sudah pergi tanpa meninggalkan pesan sepatah kata pun. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Cia Giok-lun, tak berani menjawab, tak tega melihat betapa pedih senyum tawanya.
Setelah Ma Ji-liong pergi, cuaca tetap cerah ceria, cahaya mentari makin benderang, batu-batu hitam yang bertaburan di tanah tetap berkilauan, dunia takkan berubah hanya lantaran mati hidup seseorang. Sudah cukup lama Ma Ji-liong pergi, belum juga kelihatan ia kembali.
“Kalian pulang saja,” mendadak Cia Giok-lun bersuara.
“Kau suruh kami pulang?” tanya Thiat Tin-thian. “Kenapa kami harus pulang?
“Kalian tahu Ji-liong tidak akan kembali,” demikian sahut Cia Giok-lun. “Lalu untuk apa kalian menunggunya di sini? Apa gunanya kalian menunggu lebih lama di sini?”
“Ada gunanya!” mendadak Ji Liok bersuara keras.
“Apa gunanya?” tanya Cia Giok-lun.
“Aku sudah menemukan,” sahut Ji Liok.
“Apa yang kau temukan?” tanya Cia Giok-lun pula.
Ji Liok tidak menjawab dengan mulut, tapi menjawab dengan aksi. Ia sudah menemukan rahasia Lembah Kematian ini, sudah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke dalam Lembah Kematian.
***
Batu-batu hitam yang bertaburan di tanah itu disinari cahaya matahari, semua berkilauan. Ribuan atau laksaan batu-batu hitam itu kelihatannya sama bentuk dan warnanya.
Padahal ada perbedaannya.
Jika punya pengalaman dan pandangan tajam seperti Ji Liok, sejenak diperhatikan dengan seksama, pasti dapat ditemukan sesuatu yang ganjil di antara laksaan batu-batu hitam itu, sedikitnya ada empat puluh sembilan butir batu di antaranya yang bentuk dan warnanya agak berbeda.
Ma Ji-liong memang tidak salah. Rahasia Lembah Kematian memang berada di bawah tanah, mulut lubang rahasia di bawah tanah itu memang betul terletak di lingkaran ke empat puluh sembilan batu yang berbeda itu.
Sayang sekali, Ji Liok menemukan rahasia Lembah Kematian setelah Ma Ji-liong pergi, ia tidak tahu dan takkan melihat kebenaran dugaannya.
***
Gunung belukar jalanan pun berbahaya, tanah gersang, pohon dan rumput tidak tumbuh di sini. Hanya setiap musim semi saja rumput liar bisa tumbuh bersemi.
Tanpa bicara Ma Ji-liong mengikuti langkah pengawal Persia itu naik turun batu-batu gunung yang terjal. Entah ke mana dirinya akan dibawa? Entah berapa jauh mereka akan berjalan? Tapi dia sudah tahu di mana sekarang kereta kuda yang mereka kejar tadi.
Di luar lembah tadi mereka mencari jejak kereta, ternyata kereta ini tidak lenyap seperti yang mereka duga, juga tidak masuk ke dalam lembah, tapi hanya berputar mengitari sebuah gundukan batu besar dan tepatnya berada di tanah belukar di pegunungan luar sebelah pinggir jurang. Siapa pun pasti tidak menyangka di atas pegunungan belukar yang tidak pernah dijelajah manusia ini, ternyata ada jalan setapak yang cukup lebar untuk jalan sebuah kereta.
Di medan pegunungan ini, kereta biasa pasti takkan mungkin berjalan di tempat seperti ini, namun kenyataannya kereta besar dan mewah itu dapat berjalan di semak belukar pegunungan seperti ini, adalah pantas kalau orang merasa kagum dan takjub. Agaknya pembuatan kereta mewah itu memang sudah dirancang dengan baik, kecepatan larinya sudah diperhitungkan secara khusus, maka dengan leluasa kereta ini bisa berlari kencang di tanah pegunungan yang tidak rata, kalau kereta biasa tentu sudah terjungkal.
Tapi di ujung jalan pegunungan yang belukar ini tidak ada istana mewah seperti yang mereka bayangkan semula. Bentuk rumah umumnya juga tidak kelihatan, yang ada hanyalah sebuah lubang raksasa yang kelihatannya seperti gua yang dalam, kereta besar itu pun bisa masuk dengan leluasa.
Gua ini menghadap ke barat maka sinar matahari tak dapat menyorot ke dalam gua. Setelah berada di dalam gua, Ji-liong dapat melihat keadaan gua besar yang kosong melompong ini. Tiada orang di sini kecuali Bu-cap-sah seorang diri yang berdiri di ambang gua sambil menggendong kedua tangannya, tampak santai sikapnya. Sekarang Ma Ji-liong melihat dari dekat orang ini, berhadapan langsung dengan Bu-cap-sah.
Bu-cap-sah juga mengawasinya, dua orang berdiri berhadapan saling bertatap muka. Lama sekali baru tampak perubahan rona muka Bu-cap-sah yang kaku dan pucat itu, secercah senyum yang ganjil menghias wajahnya. Mendadak ia mengeluarkan perkataan yang tak diduga oleh siapa pun termasuk Ma Ji-liong.
Bu-cap-sah bertanya kepada Ma Ji-liong, “Apakah sandiwara yang kita perankan bersama ini belum juga berakhir?”