Penakluk Jiwa
Kembalilah pada kesejatianmu. Karena jauh di kedalamanmu akan
kau temukan jalan menuju Yang tercinta.
(Rumi)
Malam terakhir keluarnya ia dari kepompong kealpaan, Fikri bertemu dengan pak Syahrir dalam sebuah mimpi yang paling berkesan. Mimpi itulah titik kulminatif dalam dirinya, di antara pusara-pusara yang ia jagai, saat malam paling kelam, ia didatangi penampakan wujud sang guru pembimbing ruhaniyahnya yang telah lama tiada itu.
“Bangunlah Fikri! Jangan kaulelapkan hatimu dan kesadaranmu. Engkau tidak boleh berhenti di sini, terus berjarak dengan dunia. Tataplah cahaya yang akan menuntunmu pada kebahagian hakikat, keluarlah dari tempurung dunia yang menyesatkan pikiranmu, nyalakan spiritual fitrah yang masih berkedip dalam bilik qalbumu. Jubah sucimu harus kau kenakan membawa pijar pada orang-orang yang membutuhkan cahaya. Bangunlah! Kau punya tugas mulia. Jangan kau lelap terus dalam kubangan ilusif, kau harus sembuhkan orang-orang yang sedang sakit ruhaniyahnya. Sembuhkan mereka Fikri, sembuhkan!”
Di tengah malam saat langit kehilangan bintang, Fikri terbangun dengan keringat bercucuran laiknya ia telah mandi api. Nafasnya tersentak-sentak seakan ia baru saja lari terbirit–birit dikejar sesuatu yang menakutkan. Ia menggigil, tubuhnya terasa panas. Ia rasakan dalam tempurung kepalanya ada yang mendidih. Langit bergemuruh diikuti tarian kilat yang seperti lemparan anak panah api. Kilat itu meronta-ronta tepat di atas di mana ia duduk terpaku. Fikri mulai membaca pertanda alam itu yang tak mengizinkannya lagi berbetah diri bersunyi di pemakaman itu. Ia harus beranjak, beranjak seperti pesan gurunya dalam mimpi agar ia menjadi sang penyembuh, sang tabib ruhani. Itulah malam kontemplasi terakhirnya, malam yang telah melahirkannya kembali menjadi bayi manusia.
Sekali-kali berhentikan langkahnya memandangi raut muka wajah-wajah orang yang ditemuinya. Ia melempar senyumnya, namun tak seorang pun membalas. Orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan ketus tiada gurat keramahan. Ia juga begitu heran perubahan-perubahan sifat pada orang-orang itu. Oh mungkin, mereka masih mengira dirinya masih sesat akal. Ia terus mengayunkan langkahnya mengikuti saja irama hati, masygul beritme rona pujian pada Tuhan. Ia menghirup dalam-dalam udara dan menampungnya dalam rongga dadanya. Saat itu pula jantungnya berdegup-degup nada zikir. Ia terus melangkah ke arah selatan di sepanjang jalan perkampungan itu.
Di setiap tempat-tempat yang dilaluinya, berpasang mata selalu terpatri tertuju kepadanya, melirik diikuti gerak bibir membincang penampakan dirinya. Ia mengerti dirinya dulu adalah seorang gelandangan yang telah bertahun-tahun tinggal berumah di pekuburan. Sudah lama ia tidak pernah muncul membaur. Semua orang telah mengenalnya sebagai sosok petapa yang kesehariannya mengucil diri di sekitar hutan perkampungan itu. Lelaki yang hanya bermain-main dalam sunyi, tertawa dan menangis kadang bersajak penuh rindu. Ia lebih memilih berkabung dalam keterasingan, meratap enggan membagi dukanya. Karena baginya serpihan-serpihan kesedihannya tak bisa dipahami seorang pun. Memang kadang manusia tiada mau lagi saling membagi, karena memang sudah jadi tabiat manusia untuk lebih mencari senangnya sendiri. Lukamu adalah lukamu sendiri, demikian prinsip di zaman yang menjunjung prinsip individualisme.
Senja yang mulai beranjak maghrib, ia terus berjalan di jalan perkampungan itu, dengan pakaiannya yang serba putih dengan sorban serta janggut yang begitu rapi dan biji tasbih yang senantiasa berputar berulang-ulang di tangan kanannya. Sudah dua puluh tahun silam ketika penampakannya selalu kumal, kali ini ia terlihat dengan penampilannya yang drastis berubah. Rambutnya yang acak-acakan dan pakaiannya yang compang-camping selalu mengundang tawa dan cemoohan kala ia berjalan. Kini ia telah jauh berbeda. Sepanjang langkahnya semua mata orang-orang tertuju kepadanya. Namun ia hanya terus melangkah, berjalan dengan tenangnya. Ia tiada peduli dan tak menghiraukan lagi segala yang dilaluinya. Ia tampak tenang. Keteduhan tampak di wajahnya yang beraura kharismatik. Sepanjang ayunan langkahnya nafas dan zikirnya seirama, ritme nafasnya berias asma Allah, Allah, Allah.
“Apa itu Fikri?” Warga yang sedang duduk di teras rumahnya bertanya. “Iya betul, itu Fikri!” Sahut salah satu warga yang ditanya itu. Mereka penasaran dengan sosok yang kini dilihatnya, sosok yang dulunya dikenal si gelandangan yang kusam, manusia yang terkucil, manusia yang dulu tidak punya harga itu. Mengapa ada manusia dianggap berharga? Mengapa ada manusia dipandang rendah? Fikri sadar dalam dirinya, predikat itu bukan warisan biologis, tapi bentukan paradigma sosial. Akh, ia tampik rasa itu yang sempat mencuat terlintas di batok kesadarannya.
Waktu maghrib kian mulai beranjak, semesta mulai dikurung senja merah yang menjejal ufuk barat. Anak-anak dan para pemuda kampung itu masih saja bergeming, asyik duduk bercengkrama di area lapangan di tengah perkampungan itu. Mereka hanyut dalam kesibukannya bercanda ria. Muda-mudi itu asyik bercakap dengan yang lainnya. Betapa senangnya mereka.
Di suasana waktu maghrib itu tidak ada lagi adzan berkumandang. Mati sunyi, bisu membeku dalam dada manusia. Hanya tawa dan canda-canda itu yang paling meriah, semeriah suara burung-burung gereja yang begitu riuh mulai sibuk beterbangan pulang ke dahan-dahan pohon rindang di pinggir jalan, hendak mencari tempat mendengkur karena gelap kelam mulai datang. Suara siul burung-burung itu membingkai senja memelodikan sembah titah rindu pada Tuhan. Bangsa burung yang hanya memiliki daya jiwa yang natural temporal, yang tiada punya beban takhlifi, tapi lebih mengerti makrifat.
Kini segalanya serba berubah di kampung itu. Tidak seperti dulu lagi, kala para tokoh-tokoh agama mereka masih hidup. Adat digenggam, syari’at dijunjung, menyatu dalam segala nafas dan gerak. Namun kini kesalehan itu tinggal simbolnya, maknanya telah luntur dan yang dijunjung adalah perlambangan-perlambangan luarnya. Orang tak lagi mementingkan makna, yang ditawajjuhi adalah kesenangan, kesenangan yang temporal. Lihatlah tawa-tawa mereka, tiadapun mengekspresikan kegundahan dan kegelisahan eksistensial.
Kampung religius yang telah menjadi indentitas kini mulai sepi dari suara manusia melantunkan ayat-ayat Tuhan. Masjid yang megah yang berada di perempatan jalan kini nampak bisu. Pintu dan jendela Masjid itu terlihat murung dalam kekokohannya. Catnya telah mengelupas, dindingnya telah hitam kebiruan dijamuri lumut. Masjid itu sudah lama menunggu tamu-tamu Tuhan yang rindu pada kehidupan yang lebih esensi. Namun tetap saja jiwa-jiwa manusia tak tersentuh, tiada lagi getar pada resapan makna. Masjid itu telah buram aura kesakralannya seburam wajahnya yang tak nampak sebagai rumah suci.
Di depan gerbang masjid itu, Fikri lama mematung memandangi rumah suci yang kini telah sepi. Pintu rumah Tuhan itu masih tertutup. Fikri mulai ragu, apakah mungkin tidak ada lagi orang yang tertarik hatinya untuk bersimpuh diri. Ia bernapas dalam, juga ragu akan dirinya yang yang sudah puluhan tahun, baru kali ini lagi ia menginjakkan kakinya di altar suci itu. Gejolak hatinya ia coba redam dan damaikan. Tapi dalam hati kecilnya selalu membisik.....
“Biarkan jejak masa lalumu pergi, jangan kau terpasung gelisah, ikhlaskan hatimu dalam segenap sembah simpuhmu”.
Fikri melangkahkan kakinya di lantai rumah suci itu, bersama perasaannya yang bergegas penuh dengan percikan kehangatan rindu spritual. Ia pun melantunkan adzan maghrib, dengan penuh penghayatan dan perasaan rindunya kepada Tuhan. Adzan maghrib itu membahana menelusuri pori-pori dan menelisik ke dalam setiap sanubari. Menjamah relung terdalam sukma yang terselap pseudo. Ada yang aneh dengan suara azan itu, semua warga yang mendengar terdiam di tempatnya masing-masing, mencoba menangkap gelombang suara yang mengaung melintasi penjuru langit perkampungan itu. Adzan yang meluapkan ombak-ombak rindu semua mahluk. Langit pun meredam suara suci itu seakan semesta hanyut dalam simponi yang bermelodi sembah pujian bagi Tuhan.
“Siapa gerangan yang adzan di masjid itu?”.
Haji Amir seorang sesepuh kampung itu bertanya kepada istrinya yang ada di sampingnya.
“Bu, coba dengar, suara siapa yang adzan itu?”
Istri Haji Amir juga mulai serius memperhatikan suara adzan yang membahana itu.
“Iya pak, kedengarannya suara itu baru saya dengar. Kan selama ini hanya bapak yang selalu menguman-dangkannya, tidak ada suara lain selain suara bapak sendiri. Anak-anak di sini mana mungkin, sudah puluhan tahun ini tidak ada satu kali pun pernah saya dengar pemuda di kampung ini menyumbangkan suaranya di masjid memanggil orang untuk bersimpuh sembah, tapi siapa ya?”
Haji Amir dan istrinya saling bertanya dan saling berpandangan dengan penuh rasa keheranan pula. Dengan tenangnya mereka coba duduk baik-baik di kursi, seraya memperhatikan sayup-sayup suara azan yang menggugah hati itu.
“Oh iya bu, mari kita cepat bergegas ke masjid!”
“Tapi pak, dari tadi bapak selalu mengeluh tidak bisa berjalan?”.
“Iya bu, tapi saya masih bisa dengan menggunakan tongkat, ambilkan tongkat saya bu! Saya sangat penasaran siapa gerangan yang adzan di masjid itu.”
Tiada lama berselang suara iqamah pun mulai bergema, pertanda waktu menunaikan ibadah, memujai Sang Pemilik Ruh, Pengendali segala anasir dan Penguasa semesta. Tuhan yang mahligai kekuasaannya menaungi kesegalaan.
Fikri menoleh ke belakang tidak ada satu orang pun di sana. Ia menunggu beberapa menit, tidak juga nampak satu orang pun yang datang. Mulailah ia bertakbir, menjaharkan bacaannya mentawajjuhi setiap firman Tuhan yang dibacanya.
Seseorang terasa menepuk punggungnya dari belakang, tanda ada orang yang ikut bermakmum. Makmum itu terdengar terisak-isak kala Fikri membaca penggalan-penggalan firman Tuhan. Orang yang bermakmum di belakangnya seolah menangkap isyarat gelombang kehangatan energi ilahiah merasuki segmen-segmen batiniahnya. Potongan-potongan ayat suci yang dibaca Fikri menubruk menggetarkan dinding hatinya, dan membuncahkan airmatanya.
Seusai salam dan berdoa’a ia menoleh ke belakang, ia melihat sosok laki-laki yang wajahnya sudah berkerut, tanda wajah itu telah dijamah usia tua. Begitu pula orang yang bermakmum di belakang Fikri menatapi dalam-dalam wajah imam yang ada di depannya, ia menangkap sinar mata itu. Tangan mereka saling bersalaman namun belum saling melepas, karena hati masing-masing saling menerka dan menangkap.
“Pak Haji, masih ingatkah aku?,” Fikri memulai bertanya. “Saya Fikri.”
Tak terasa tangan Fikri dilepas, dan segeralah orang tua itu memeluknya dengan penuh rasa haru bercampur sedih.
“Oooh, kaukah Fikri? Sungguh sangat berubah keadaanmu sekarang nak, aku tiada sangka engkau datang lagi ke mari. Kami menyangkamu tidak akan membaur lagi.”
“Iya pak, Allah Maha berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin bisa terjadi. Aku bisa berada di sini karena Dia telah menitipkan keajaiban kasih-Nya”.
“Sejak kematian ibumu itu, kami tidak pernah melihatmu lagi membaur dengan orang-orang di kampung ini, engkau lebih kami kenal sebagai si geladangan yang berdiam di area pemakaman itu. Sungguh aku kaget engkau berubah dengan keadaanmu yang sekarang.”
Nampaklah haji Amir melambaikan tangannya ke belakang, memanggil istrinya yang juga ikut bermakmum.
“Bu, kenalkah engkau dengan orang yang adzan dan mengimami kita tadi?”
Istri haji Amir dengan seksama memperhatikan wajah itu, namun ia tidak berhasil menerkanya. Wajah itu masih tetap asing baginya.
“Ini Fikri bu! Kenalkah engkau Fikri yang puluhan tahun selalu menjaga makam Aminah?” Kontan Fikri lansung dipeluk dengan desahan tangis.
“Kaukah nak Fikri? Sungguh kehadiranmu di sini sangat membuat hatiku merasakan gairah yang sudah puluhan tahun mulai senyap, engkau dan Aminah ibarat kakak beradik, kalian berdua adalah hiasan pelupuk mata. Namun takdir belum merestui kalian hidup berkasih-kasihan.”
“Akh, sudahlah bu! Jangan megungkap lagi sesuatu yang sudah berlalu, yang berlalu itu kisah yang telah selesai,” kata haji Amir kepada istrinya. “Mari kita ajak Fikri ke rumah untuk makan malam bu!”.
Fikri pun kini merasakan suasana kekeluargaan yang sudah tak dirasakannya lagi sejak puluhan tahun, semenjak sang ibunya telah tiada, keramahan dan sentuhan lembut keibuan tidak pernah lagi ia rasai. Istri haji Amir begitu memperlakukan Fikri layaknya anaknya sendiri, karena bukan kali ini ia mulai sikap perhatiannya, namun semenjak Aminah anaknya masih hidup, Fikrilah yang paling dekat dengan anak perempuan semata wayangnya itu. Fikrilah yang hampir saja menjadi menantunya, andai Aminah masih hidup.
Fikri pun memandangi pajangan-pajangan foto yang terpajang di dinding kamar yang bercat warna biru itu. Ia perhatikan wajah gadis masa silam yang pernah dikenalnya, dengan tatapannya yang mulai berkaca-kaca, kini ingatan masa lalunya mulai kambuh kembali ke permukaan hatinya, daun-daun rindunya berpucuk kembali. Pantulan-pantulan duka kehidupan dari jejak masa lalunya kembali menggerogoti, menelisik mendayu-dayu, ia pun teteskan air mata kala mengenang semua masa itu. Ia lihat wajah kekasihnya yang dulu pernah bernas menyilau dalam hatinya.
“Aminah, sudah dua puluh tahun dikau pergi, namun namamu masih bertengger di ranting jiwaku, aura wajahmu kini plural disegalaan wujud. Namamu kini muncul di setiap kembang mekar, di setiap lirih angin, di setiap alunan gemericik air hujan. Aku menemukanmu di setiap penampakan yang kutemui”. Fikri terisak-isak dan bicara sendiri kala memandangi terus wajah gadis yang nampak di foto itu.
Haji Amir yang berdiri di samping Fikri turut menyumbang ratapan tangis. Puluhan tahun ia menyimpan luka hati karena kepergian putri kesayangannya itu. Karena kesalahannyalah yang menyebabkan Aminah terus syahdu dalam bingkai sakit batinnya, sehingga Aminah meninggal menanggung luka hati yang tidak tersembuhkan.
“Akulah penyebab luka yang tak tersembuhkannya itu.” Haji Amir terisak-isak sembari membersihkan tetesan air matanya dengan menyapukan kedua telapak tangannya. Fikri meletakkan kembali foto Aminah itu di tempatnya. Muncullah istri pak Amir dari dalam dapur meminta mereka segera beranjak untuk menyantap makanan yang telah disediakannya.
Setelah bersantap, mereka saling mencurah kisah hidup yang sudah dua puluh tahun silam berkubang dalam rahim waktu, tentang Fikri yang kini telah nampak perubahan pada dirinya.
“Nak Fikri, semenjak kematian ibumu, engkau dikenal seluruh isi kampung ini sebagai gelandangan, kami tiada sangka engkau bisa menjadi manusia yang bisa berubah seperti sekarang ini.” Istri haji Amir membuka lembaran-lembaran masa silam itu.
“Semenjak Aminah telah tiada, disusul oleh kepergian ibumu, dikau terus bermuram durja tiada gairah. Tiap hari kami melihatmu dengan berpakaian kumuh, dan meratap siang malam di atas pusara, namun apa yang menyebabkan dikau kini bisa sembuh dari jeratan itu anakku?” Istri pak Amir ingin mengetahui penggalan-penggalan kisah hidup pada Fikri yang drastis berubah.
Fikri hanya terdiam membisu, seolah lidahnya kelu oleh rasa batin yang tidak terbahasakan. Ia begitu susah mengungkap alur kisah hidupnya. Bagaimana bisa bahasa lidah secara utuh melukis segala keluasaan perasaan yang berwarna-warni. Warna-warni kehidupan dari kecamuk-kecamuk batin dari cinta dan muak, dari dendam dan belas kasih, dari duka tangis dan loncatan-loncatan perasaan yang tidak menentu, dari airmata yang membuncah ke dalam. Bahasa apa yang bisa mengungkap keragaman gumpalan rasa batin yang demikian. Bahasa itu hanya mampu mengungkap hal fenomenal atau yang nampak dan eksis, namun soal noumenal atau kemendalaman ia tetap menjadi rahasia yang mengendap dan membeku.
Melihat Fikri hanya terdiam menundukkan muka, haji Amir memberi isyarat kepada istrinya dengan menaikkan jari telunjuknya di depan bibirnya, pertanda supaya pertanyaan itu tidak usah diteruskan lagi. Haji Amir khawatir pertanyaan itu membuat Fikri kembali ke nostalgia masa lalunya, dan menyobek kembali labirin hatinya yang sudah berangsur pulih. Jangan sampai pertanyaan itu menyirami kembali benalu-benalu luka yang bertengger saat hatinya terhimpit lara-lara hidup itu.
“Oh iya nak Fikri, kalau ananda sudah merasa ngantuk silahkan engkau pejamkan matamu di kamar sebelah. Bermalamlah di sini, malam ini!”. Haji Amir meminta Fikri agar tidak kemana-mana lagi. Kepedulian dua orang tua itu tiada pernah berubah dari dulu, ia kenal haji Amir dan istrinya adalah manusia yang selalu peduli. Saat orang lain sudah tiada lagi yang memberi senyuman saja, ia temukan kehangatan tetap sama pada kedua suami istri itu.
Namun Fikri hanya meminta pamit, hendak menuaikan hajat hatinya untuk menghadapkan mukanya ke hadirat yang Maha Kudus. Serpihan-serpihan hatinya ia ingin maujudkan dalam sembah yang tulus. Ketergantungan lirik nafasnya berpaut dalam samudera ketuhanan lebih menderuh gemuruh. Ia minta pamit untuk menuju masjid.
Malam ini, ia tidak bisa tinggal melepas rasa ngantuknya di rumah mantan kekasihnya yang telah tiada. Karena ia masih saja terus terpatri suluh rindunya yang belum padam. Suasana di rumah itu masih menyisakan serbuk-serbuk bayangan Aminah. Ia tidak ingin lagi menukikkan dinding ingatannya di peristiwa keterpisahan dengan orang dicintainya. Ia hanya ingin menjuruskan segala potensilitas aqaliah dan qalbunya mencengkramai rindunya pada dzat penguasa raga dan ruhaniyahnya.
“Maaf pak,... bu, saya tidak bisa bermalam di sini. Mudah-mudahan masih ada waktu yang bisa merekatkan kita kembali, betapa bahagianya pertemuan ini bisa terwujud, puluhan tahun antara kita tiada kabar”.
Fikri pun bergegas menuju ke arah barat menuju masjid hendak mengisi malamnya dengan sujud dan zikir yang gelora. Lantunan Adzan isya ia lantunkan dan menggema di masjid itu membawa syahdu rindu. Berpuluh-puluh tahun masjid sudah sepi suara kudus pemanggil dan menggigilkan jiwa untuk bersimpuh menghadapkan kerak batin yang lalai dan lupa.
Waktu isya kian menepi ke sepertiga malam, Fikri kian tetap khusyuk mendawamkan zikir. Kemenyatuan diri dan Tuhan menjadi ahwal tafakkurnya, ia rasakan tiada keterlepasan antara ruh Tuhan dalam nafasnya, di dalam masjid Fikri bersila menghadap diri ke arah kiblat, yang hanya hening menghayati kemanyatuan.
Ia ingin menapaki tangga spritual kemanunggalan dan kemenyatuan dengan yang Maha Kudus dengan mendawamkan dzikir, ia ingin sucikan cermin hatinya dari debu-debu syahwat, ia ingin batinnya suci secara sempurna dengan terus-menerus menempa menyebut Asma ilahi. Asma-asma Allah itu dibacanya bukan hanya melalui lidah biasa, tetapi dengan lidah rahasia dari hatinya yang di sebut Sirr ass-Sir. Mata hatinya akhirnya bisa melihat cahaya penyatuan. Cahaya dari Esensi Ilahi menjadi terwujud. Seluruh kualitas materi ia rasakan telah lenyap, segala sesuatunya menjadi kosong. ia mencapai tingkat fana’. Ia merasakan nur Allah bergelimangan menyinarinya sehingga ia merasa syauk dengan Allah, kondisi itulah dalam terma sufi disebut penyatuan. Fikri telah merasakan kemanyatuan itu, ia telah sampai pada fana fillah, kondisi kesadarannya sperti termaktub dalam Serat Centini....
“Keadaan hamba sejati, seolah-olah tiada lagi yang memuja dan menyembah, tidak memper-Tuhan. Ia menjadi Jabariyah sejati, tidak ada wujud berdua, seolah-olah ibarat tiada, keadaan kosong atau fana’, inilah kondisi ketiadaan yang murni, itulah penglihatan tertinggi”.