Di Surganyalah Kau Tenang
Apan
pun yang indah dan cemerlang yang kau lihat di awan, ia pasti
berasal dari mentari, gemintang dan bulan.
(Rumi)
Kala mendung makin mengepung, langit seluruhnya tertelan gelap pekat, petir menggeliat menari-nari, bersitan cahaya menembus awan kehitaman. Cahaya itu menyuluh pada sepetak taman rumah itu. Entah mengapa kian terang meneduhi. Daun-daun pepohonan bungkam walau berkali-kali angin keras meronta-ronta. Mungkin daun-daun itu hikmat menyampaikan duka lukanya. Ada yang aneh di tempat perginya dua sejoli yang terlanjur rebah bersama tubuh dan ruhaniyahnya yang suci. Suasana yang sudah memasuki waktu maghrib, namun sang surya masih saja enggan menepi ke ufuk barat.
Sudah jam setengah enam sore, mentari masih nampak di kerudung awan hitam. Segala sudut cakrawala nampaklah mendung berkuasa, namun di area pembantaian sepasang kekasih itu cahaya kian terangnya. Cahaya merah jingga, terosorot dari permukaan mentari yang kelihatan tersaput bara kesedihan. Tuhan telah mengirimkan isyarat-Nya bahwa ruh dua kekasih yang telah tiada itu mungkin sedang dipandu ribuan sayap-sayap Malaikat.
Mayat Maryam telah dikafani, tinggal tubuh Fikri yang telah hanyut itu dicari. Ratusan orang menyusuri hulu sungai, berharap tubuh Fikri tersangkut dan bisa dibawa kembali. Suara air sungai yang tiada hentinya bergemericik, akar-akar pepohonan di pinggir sungai itu menjadi saksi bisu dimanakah arah tubuh Fikri itu terbawa arus. Orang yang mencari mulai putus asa. Sudah lama pencarian tiada berbuah apa-apa. Namun tiada lama berselang ratusan orang yang mencari itu tiba-tiba terhenyak tersentak loncat naik ke pinggiran sungai.
“Astaga! Air sungai menjadi darah.”
“Lihat! air sungai menjadi merah.”
Teriakan serentak terdengar di mana-mana di sore menjelang maghrib.
Tiada lama waktu berselang semua mata terbelalak kian melihat keanehan-keanehan itu. Tubuh Fikri muncul ke atas di antar pusaran-pusaran air.
“Ya Allah, keanehan apa lagi yang Engkau perlihatkan kepada kami. Sungguh, maafkanlah kekeliruan orang-orang di kampung ini, yang telah menyakiti kekasih-Mu,” ucap haji Amir kala melihat tubuh Fikri yang sudah mengapung.
Beberapa orang turun ke sungai mengambil dan menggopoh tubuh Fikri itu, dan membawanya naik ke pinggiran kali. Tubuh itu pun dibaringkan dan hendak disatukan dengan kepala yang telah terpisah dari badan itu. Semua warga terbelalak, tetesan darah yang berbuncaran di kepala itu merajah Asma Allah. Keanehan demi keanehan kembali tersaji, kepala itu lansung terpatri ke tubuh Fikri. Semua warga berjingkrak menjauh. Kala kepala dan tubuh itu telah bersatu dan utuh kembali, senyum mekar tampak di wajah Fikri. Wajah itu bercahaya berkilau-kilauan. Seakan ia tersenyum menyambut kematiannya.
Dimandikanlah kedua jenazah itu, keharuman semerbak memenuhi ruang kesegala arah. Aroma wewangian menyengat, seolah di tempat itu telah mekar ribuan kembang mawar. Ratusan orang yang hadir seolah tiada percaya jenazah Fikri dan Maryam mengeluarkan bau yang seharum itu.
“Oooh Tuhan, yang kami mandikan ini bukanlah tubuh nista, seperti yang kami anggapi, tapi adalah tubuh kekasih-Mu yang Engkau sanjungi. Wajah mereka sedikit pun tiada menggambarkan kematian, wajah mereka tersenyum senang.” Orang-orang yang memandikan jenazah Maryam dan Fikri saling berpandangan dengan penuh ketakjuban, dan tak henti-hentinya mereka beristighfar kala membasuh dua tubuh sejoli itu.
Setelah selesai jenazah kedua suami istri itu dishalati, nampaklah ribuan kilauan cahaya putih kebiru-biruan di kaki langit. Entah dari mana datangnya puluhan orang bergamis putih dengan bersorban biru, meminta untuk ikut menshalati dua jenazah itu. Orang yang hadir mulai tahu salah satu di antara puluhan orang misterius itu adalah Said Nursi. Kedatangannya tiada orang yang menyangka seolah ia muncul di sela-sela cahaya putih kebiruan itu. Mana mungkin manusia biasa bisa meniti dan menjelajahi wadah ruang waktu yang terikat hukum natural. Masih adakah keajaiban mukjizat berlaku pada orang-orang biasa yang bukan utusan Tuhan? Bagaimana dengan manusia yang berderajat wali? Manusia biasa yang telah bertakhalli meninggalkan kotoran-kotoran syahwatnya, manusia yang telah sampai pada keimanan paripurna, telah bermetamorfosa menjadi insan ilahiah? Akh, apakah Fikri telah sampai pada maqam wali ?
Orang yang berpakaian serba putih terus berdatangan bergantian menshalati jenazah dua kekasih itu.
“Siapakah mereka?” warga saling bertanya menanyakan kedatangan sekelompok orang misterius itu, yang datang entah dari arah mana. Apakah mereka adalah para wali yang selama ini keberadaanya tersembunyi dari dunia keramaian karena keintimannya berkhalwat menyuci diri.
Karman dan Sultan saling berpeluk tersenyum melihat jenazah sang guru dishalati orang-orang yang diyakininya para wali itu.
“Karman, dari dulu aku yakin Tuan Guru Fikri telah sampai ke maqam wali karena kemampuan beliau memaknai hal-hal yang terselubung dari hikmat-hikmat syari’at”.
Karman pun menimpali pernyataan Shultan itu, “Ya, kesalehan dan tirakat beliau tiada orang seperti kita ini yang sanggup menjalaninya. Kita berdua telah menyaksikannya sendiri pada malam itu, saat beliau dalam mihrabnya, cahaya putih memenuhi tempat sujud beliau, seolah cahaya itu perlambangan kemulian derajat keihsanannya.”
Haji Amir yang mendengar percakapan Karman dan Shultan lansung menyela, “Aku sendiri baru tahu kalau tingkat pendalaman ibadah Fikri telah melampaui ibadah kaum awam, Fikri adalah qalbunya seperti taman cinta tempat tumbuhnya naluri kebajikan.”
Dua jenazah itu pun telah selesai dikafani, dibawalah menuju ke tempat bersemayamnya. Di penghujung senja di saat mentari masih enggan beranjak ke tempat peraduannya, sepanjang jalan orang-orang menyaksikan dua sejoli itu telah dipandu di atas keranda, ratusan orang mengantar kekasih suci itu. Orang-orang di sepanjang jalan berdiri hikmat mengguguskan rintihan sedihnya. Maryam selama ini dihardik sebagai perempuan murahan yang tidak menahu adat dan syariat, namun kini orang mulai sadar sesadar-sadarnya bahwa perempuan itu pergi dengan tetap menyandang perempuan suci. Tangisan orang yang melihat keranda yang lewat saling bertumpah-tumpahan. Mereka telah menyadari sosok yang telah tiada itu adalah perlambangan dua entitas cahaya yang tak terpisahkan.
Saat dua tubuh kekasih itu hendak dibaringkan di liang lahatnya, orang-orang yang hadir makin terkesima. Tubuh dua kekasih itu menjelma gumpalan cahaya, cahaya kekuning-kuningan memancar terangnya dari dalam lubang makam itu. Suara istighfar dan tasbih mulai riuh dan meriah di area pemakaman itu.
“Ke mana tubuh mereka, ke mana?” Suara riuh keheranan orang yang hadir itu semeriah suara-suara nyinying yang risih, berlagu luka meratap di sekitar pemakaman itu. Batin siapa yang takkan luluh melihat fenomena penggugah nurani itu. Semua mata ratusan orang yang hadir itu, kian terbelalak, memandangi dua gumpalan cahaya seperti awan yang berjalan keluar dari lubang lahat itu. Dua cahaya itu bukannya memudar saat kian menjauh berjalan naik, tapi cahaya itu kian terangnya dan berpadu mengitari area itu. Arwah suci dari dua sejoli dipertemukan dalam kerahasiaan. Cinta mereka suci di sini dan ia tiada berubah sucinya hingga ke alam sana. Fikri dan Maryam telah berpadu dalam perlambangan kilau cahaya keserasian. Penampakan-penampakan ganjil ini telah membuka mata orang-orang itu bahwa ikatan cinta mereka adalah restu yang tiada bercacat.
Ratusan orang yang mengahadiri pemakaman kedua insan yang telah tiada itu masing-masing menghayat diri, menundukkan muka, tiada lagi yang meragu dalam batinnya bahwa kekasih itu pergi membawa perlambangan suci. Orang-orang pun sadar Fikri dan Maryam telah berpadu berkasih-kasihan penuh mesra di taman firdausi. Rasa bersalah kian membesar mengepul dalam tiap dada orang-orang yang telah bertindak membunuh keduanya. Rasa bersalah itu membayangi pelupuk mata mereka, alangkah fatalnya telah melukai pecinta yang tiada secuil pun menangung kesalahan itu.
Haji Amir dan istrinya berserta ustadz Haikal masih tetap berada di samping kuburan kedua kekasih itu. Dengan mata yang terus perih merintihkan luka sesal, hendak mengucap maaf yang terus mencuat kencang dalam hatinya. Mereka tiada hentinya beristighfar memohon agar dosa orang-orang yang telah mendzalimi dua kekasih itu termaafkan oleh kemurahan hati Tuhan.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun kian berlalu. Makam kedua kekasih itu selalu saja amai dikunjungi para pelancong spritual. Tiada pernah ada yang alpa menyempatkan diri menziarahi. Para peziarah itu kadang membawa sepasang kembang, kembang putih merah, ditancap di atas gundukan tanah makam kedua kekasih itu. Ada pula yang selalu menyempatkan meratap di atas makam itu, sekedar menumpahkan sedih hati. Saking ramainya orang yang datang berziarah, dibangunlah monumen di perempatan jalan sebelum pekuburan itu untuk mengenang kisah dua pecinta yang mati tragis itu.
Monumen itu diberi nama monumen pucuk. Dua gambar pucuk daun tumbuh di telapak tangan tengadah penari sufi dan sebuah sajak Kahlil Gibran ditulis di atas batu marmer dengan warna keemasan di monumen itu.
Kemarin aku sendirian di dunia ini kekasih,
Dan kesendirianku... sebengis kematian.
Kematian diriku.....
Adalah sepatah kata yang tak bersuara....
Di dalam pikiran malam.
Jika cinta tak mengembalikan engkau....
Kepadaku dalam kehidupan ini.
Pasti cinta akan menyatukan kita....
Dalam kehidupan yang akan datang.