15

image

BEAUXBATONS DAN DURMSTRANG

ESOKNYA pagi-pagi sekali Harry terjaga dengan rencana matang dalam pikirannya, seakan otaknya yang tidur telah bekerja semalaman. Dia bangun, berpakaian dalam cahaya redup fajar, meninggalkan kamar tanpa membangunkan Ron, dan turun ke ruang rekreasi yang masih kosong. Dia mengambil sehelai perkamen dari meja tempat PR Ramalannya masih tergeletak dan menulis surat berikut:

Dear Sirius,

Kurasa aku cuma membayangkan bekas lukaku sakit. Aku setengah tidur ketika menulis surat kepadamu yang terakhir itu. Tak perlu kembali, segalanya baik-baik saja di sini. Jangan mengkhawatirkan aku, kepalaku sama sekali normal.

image

Harry kemudian memanjat keluar dari lubang lukisan, naik ke kastil yang masih sepi (hanya tertahan sebentar oleh Peeves, yang berusaha menggulingkan vas besar ke arahnya di tengah koridor di lantai empat), akhirnya tiba di Kandang Burung Hantu, yang terletak di puncak Menara Barat.

Kandang Burung Hantu adalah ruangan batu berbentuk melingkar, agak dingin dan berangin, karena tak satu pun jendelanya berkaca. Lantainya sepenuhnya tertutup jerami, kotoran burung hantu, dan muntahan kerangka tikus. Beratus-ratus burung hantu dari berbagai jenis yang bisa dibayangkan bertengger pada tenggeran berjajar ke atas sampai ke puncak menara, hampir semuanya masih tidur, meskipun di sana-sini mata bundar kekuningan memandang Harry. Dilihatnya Hedwig bertengger di antara burung hantu serak dan burung hantu jingga-kecokelatan. Harry bergegas mendekatinya, terpeleset sedikit di lantai yang penuh tebaran kotoran.

Perlu beberapa waktu untuk membujuknya agar mau bangun dan kemudian memandang Harry, karena Hedwig berulang-ulang berbalik di atas tenggerannya, menghadapkan ekornya pada Harry. Jelas Hedwig masih marah atas sikap Harry yang kurang berterima kasih semalam. Akhirnya, ketika Harry mengatakan mungkin Hedwig masih kecapekan dan barangkali dia akan meminjam Pigwidgeon dari Ron, barulah Hedwig menjulurkan kakinya dan mengizinkan Harry mengikatkan suratnya ke situ.

”Cari dan temukan dia, ya,” kata Harry, membelai punggungnya seraya menggendongnya dan membawanya ke salah satu lubang di dinding. ”Sebelum para Dementor menemukannya.”

Hedwig mematuk jari Harry, mungkin lebih keras daripada biasanya, namun tetap beruhu pelan menenteramkan Harry. Kemudian dia merentangkan sayapnya dan melayang menyongsong matahari terbit. Harry mengawasinya terbang sampai lenyap dari pandangan, perasaan tak enak kembali memenuhi perutnya. Semula dia begitu yakin jawaban Sirius akan melenyapkan kekhawatirannya dan bukannya malah membuatnya semakin besar.

”Kau bohong, Harry,” kata Hermione tajam selagi mereka sarapan, ketika Harry menceritakan kepadanya dan Ron apa yang telah dilakukannya. ”Kau tidak sekadar membayangkan bekas lukamu sakit dan kau tahu itu.”

”Jadi kenapa?” kata Harry. ”Dia tak boleh kembali ke Azkaban gara-gara aku.”

”Sudahlah,” kata Ron tajam kepada Hermione yang sudah membuka mulut untuk berargumentasi lagi, dan sekali ini, Hermione menurutinya dan langsung diam.

Harry berusaha sebisa mungkin tidak mencemaskan Sirius selama dua minggu berikutnya. Betul, dia tidak bisa mencegah dirinya mencari-cari dengan penasaran setiap pagi ketika pos burung hantu tiba, ataupun pada larut malam ngeri membayangkan Sirius dikepung Dementor di jalan gelap di kota London, tetapi di antara pagi dan malam, dia berusaha tidak memikirkan walinya. Sayang sekali tak ada Quidditch yang bisa mengalihkan perhatiannya. Tak ada yang lebih manjur menyembuhkan pikiran yang kalut daripada sesi latihan yang keras. Sebaliknya, pelajaran-pelajarannya semakin sulit dan menyita lebih banyak waktu daripada sebelumnya, terutama pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dari Moody.

Mereka terkejut sekali ketika Profesor Moody mengumumkan bahwa dia akan melancarkan Kutukan Imperius kepada mereka semua secara bergiliran, untuk mendemonstrasikan kekuatannya dan melihat apakah mereka bisa menahan efeknya.

”Tapi… tapi Anda mengatakan itu ilegal, Profesor,” kata Hermione bingung sementara Moody menyingkirkan meja-meja dengan sekali ayunan tongkat sihirnya, meninggalkan area kosong besar di tengah kelas. ”Kata Anda… menggunakannya terhadap orang lain adalah…”

”Dumbledore menginginkan kalian merasakan seperti apa kutukan itu,” kata Moody, mata gaibnya berputar ke arah Hermione dan menatapnya dengan pandangan mengerikan tanpa kedip. ”Kalau kau lebih suka mengalaminya langsung—waktu ada orang yang menyerangmu dengan kutukan itu agar bisa menguasaimu sepenuhnya—terserah. Aku tak melarangmu. Silakan pergi.”

Dia mengacungkan jarinya yang berbonggol ke arah pintu. Wajah Hermione merah padam dan dia menggumamkan sesuatu tentang tidak bermaksud ingin meninggalkan kelas. Harry dan Ron saling pandang dan nyengir. Mereka tahu Hermione lebih memilih makan nanah Bubotuber daripada tidak mengikuti pelajaran sepenting ini.

Moody mulai memberi isyarat kepada anak-anak supaya maju bergiliran dan melancarkan Kutukan Imperius kepada mereka. Harry menonton sementara satu demi satu temannya melakukan hal-hal luar biasa di bawah pengaruhnya. Dean Thomas melompat tiga kali mengelilingi ruangan, menyanyikan lagu kebangsaan Inggris. Lavender Brown menirukan bajing. Neville melakukan rangkaian gerakan gimnastik yang jelas tak akan sanggup dilakukannya dalam keadaan normal. Tak seorang pun dari mereka berhasil melawan kutukan, dan masing-masing baru kembali ke keadaan semula setelah Moody menarik kutukannya.

”Potter,” Moody menggeram, ”giliranmu.”

Harry maju ke tengah ruangan, yang telah dikosongkan Moody. Moody mengangkat tongkatnya, mengacungkannya kepada Harry, dan berkata, ”Imperio!”

Rasanya luar biasa menyenangkan. Harry seakan melayang ketika segala beban pikiran dan kecemasan disapu pelan sampai habis, tak meninggalkan apa pun kecuali kebahagiaan yang tak jelas. Dia berdiri di sana, merasa amat rileks, hanya samar-samar sadar bahwa semua orang mengawasinya.

Dan kemudian didengarnya suara Mad-Eye Moody, bergaung dalam ruang yang jauh dalam otaknya yang kosong: Lompat ke atas meja… lompat ke atas meja…

Harry menekuk lututnya dengan patuh, siap melompat.

Lompat ke atas meja…

Tapi kenapa? Ada suara lain yang terbangun di bagian belakang otaknya.

Konyol sekali, kan, kalau melompat ke atas meja.

Lompat ke atas meja…

Tidak, aku tak akan melompat, terima kasih, kata suara yang lain itu, sedikit lebih tegas… tidak, aku tak mau…

Lompat! SEKARANG!

Berikutnya Harry merasakan sakit yang luar biasa. Dia melompat dan sekaligus berusaha mencegah dirinya melompat—hasilnya dia menabrak meja sampai terguling, dan kalau dilihat dari rasa sakit di kakinya, kedua tempurung lututnya pastilah retak.

”Nah, itu baru bagus!” gerung Moody, dan mendadak Harry merasakan gaung kekosongan di dalam kepalanya lenyap. Dia ingat persis apa yang terjadi, dan rasa sakit di lututnya menjadi berlipat ganda.

”Lihat itu, kalian semua… Potter melawan! Dia melawannya, dan dia nyaris berhasil! Kita akan mencobanya lagi, Potter, dan kalian semua, perhatikan baik-baik—lihat matanya, di situlah kalian bisa melihatnya—bagus sekali, Potter, sungguh sangat bagus! Mereka akan mendapat kesulitan menguasaimu!”

”Caranya bicara itu,” gumam Harry dengan terpincang-pincang meninggalkan kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam satu jam kemudian (Moody memaksa mencoba batas kemampuan Harry empat kali berturut-turut sampai akhirnya Harry berhasil menolak kutukan itu sepenuhnya), ”seolah kita semua akan diserang kapan saja.”

”Yeah, aku tahu,” kata Ron, yang melompat setiap dua langkah. Dia mengalami kesulitan jauh lebih besar daripada Harry menghadapi kutukan itu, walaupun Moody meyakinkannya bahwa efeknya sudah akan hilang ketika mereka makan siang. ”Ngomong-ngomong soal paranoid… ketakutannya memang berlebihan.” Ron menoleh dengan cemas untuk memastikan Moody tidak mendengarnya dan meneruskan, ”Pantas saja orang-orang Kementerian senang dia pensiun. Kau dengar tidak waktu dia memberitahu Seamus apa yang dilakukannya kepada penyihir wanita yang berteriak ’Boo’ di belakangnya waktu April Mop? Dan kapan kita sempat membaca tentang bagaimana menangkal Kutukan Imperius dengan tugas-tugas kita yang sebanyak ini?”

Semua anak kelas empat telah menyadari bertambah banyaknya tugas yang harus mereka kerjakan semester ini. Profesor McGonagall menjelaskan kenapa, ketika murid-muridnya menyerukan keluhan yang ekstra keras, memprotes banyaknya PR Transfigurasi yang diberikannya.

”Kalian sekarang memasuki fase paling penting dalam pendidikan sihir kalian!” katanya, matanya berkilau berbahaya di balik kacamata perseginya. ”Tak lama lagi kalian harus menempuh ujian Ordinary Wizarding Level—Level Sihir Umum…”

”Kami kan baru ujian OWL kalau sudah kelas lima!” bantah Dean Thomas.

”Mungkin begitu, Thomas, tetapi percayalah padaku, kalian membutuhkan persiapan yang matang. Miss Granger tetap satu-satunya yang berhasil mengubah landak menjadi bantal tusukan jarum yang memuaskan. Kuingatkan kau, Thomas, bahwa bantal jarummu masih bergulung ketakutan kalau ada yang mendekatinya membawa jarum pentul!”

Hermione, yang sudah merona merah lagi, berusaha agar tak tampak kelewat berpuas diri.

Harry dan Ron geli sekali ketika dalam pelajaran berikutnya, Ramalan, Profesor Trelawney memberitahu mereka bahwa mereka mendapat nilai tertinggi untuk PR Ramalan. Dia membacakan sebagian besar ramalan mereka, memuji ketabahan mereka dalam menerima malapetaka yang akan menimpa—tetapi kegelian mereka jadi berkurang ketika Profesor Trelawney meminta mereka untuk melakukan hal yang sama untuk bulan berikutnya lagi. Mereka berdua sudah kehabisan ide malapetaka apa lagi yang bisa ditulis.

Sementara itu, Profesor Binns, hantu yang mengajar Sejarah Sihir, setiap minggu menugasi mereka menulis karangan tentang pemberontakan goblin pada abad kedelapan belas. Profesor Snape memaksa mereka melakukan riset tentang penangkal racun. Tugas ini mereka lakukan dengan sungguh-sungguh, karena Snape telah memberi isyarat bahwa dia mungkin akan meracuni salah satu dari mereka sebelum Natal untuk melihat apakah penangkal racun mereka manjur. Profesor Flitwick menyuruh mereka membaca tiga buku tambahan sebagai persiapan pelajaran mereka tentang Mantra Panggil.

Bahkan Hagrid pun menambahi beban tugas mereka. Skrewt Ujung-Meletup tumbuh dengan kecepatan luar biasa, mengingat belum ada yang berhasil tahu apa makanan mereka. Hagrid gembira sekali, dan sebagai bagian dari ”proyek” mereka, dia menyarankan mereka datang ke pondoknya dua malam sekali untuk mengamati Skrewt dan membuat catatan tentang perilaku mereka yang unik.

”Aku tak sudi,” kata Draco Malfoy tegas ketika Hagrid mengusulkan ini dengan gaya Santa Klaus mengeluarkan hadiah tambahan besar dari dalam kantongnya. ”Sudah lebih dari cukup aku melihat binatang menjijikkan ini selama pelajaran.”

Senyum Hagrid memudar dari wajahnya.

”Kau harus lakukan yang diperintahkan kepadamu,” geramnya, ”kalau tidak aku akan contoh Profesor Moody… kudengar kau jadi musang bagus, Malfoy.”

Anak-anak Gryffindor meledak tertawa. Wajah Malfoy merah padam saking marahnya, tetapi rupanya ingatan tentang hukuman Moody masih cukup menyakitkan, sehingga dia tak berani menjawab dengan pedas. Harry, Ron, dan Hermione kembali ke kastil pada akhir pelajaran dengan semangat tinggi. Menyaksikan Hagrid berhasil menekan Malfoy sungguh memuaskan, terutama karena Malfoy telah berusaha sekuat tenaga membuat Hagrid dipecat tahun ajaran yang lalu.

Setibanya di Aula Depan, mereka tak bisa maju karena banyaknya anak-anak yang berkumpul di sana, semuanya mengerumuni pengumuman besar yang telah didirikan di kaki tangga pualam. Ron, yang paling jangkung di antara mereka bertiga, berjingkat untuk melihat dari atas kepala-kepala di depan mereka dan membaca keras-keras pengumuman itu untuk kedua sahabatnya:

TURNAMEN TRIWIZARD

DELEGASI DARI BEAUXBATONS DAN DURMSTRANG AKAN TIBA PADA PUKUL 18.00 SORE HARI JUMAT, 30 OKTOBER. PELAJARAN AKAN DIAKHIRI SETENGAH JAM LEBIH AWAL…

”Asyiiik!” kata Harry. ”Pelajaran terakhir hari Jumat kan Ramuan! Snape tak akan sempat meracuni kita!”

PARA MURID DIMINTA MENYIMPAN TAS DAN BUKU-BUKU MEREKA DI KAMAR MASING-MASING DAN BERKUMPUL DI DEPAN KASTIL UNTUK MENYAMBUT TAMU KITA SEBELUM PESTA SELAMAT DATANG.

”Tinggal seminggu lagi!” kata Ernie Macmillan dari Hufflepuff, muncul dari tengah kerumunan, matanya berkilauan. ”Cedric tahu tidak, ya? Akan kuberitahu dia…”

”Cedric?” celetuk Ron tak paham sementara Ernie bergegas pergi.

”Diggory,” kata Harry. ”Pasti dia ikut mendaftar dalam turnamen ini.”

”Anak idiot itu, juara Hogwarts?” kata Ron, sementara mereka menyeruak menerobos kerumunan anak-anak yang berceloteh ramai, menuju tangga.

”Dia tidak idiot. Kau tidak suka padanya hanya karena dia mengalahkan Gryffindor dalam Quidditch,” kata Hermione. ”Kudengar anaknya pintar sekali… dan dia Prefek.”

Hermione mengatakan ini seakan dengan demikian persoalan jadi beres.

”Kau suka padanya karena dia tampan,” kata Ron pedas.

”Maaf, aku tidak menyukai orang hanya karena dia tampan!” kata Hermione jengkel.

Ron pura-pura terbatuk keras, yang anehnya bunyinya seperti ”Lockhart!”

Kemunculan pengumuman di Aula Depan itu membawa dampak yang nyata pada para penghuni kastil. Selama minggu berikutnya, tampaknya hanya ada satu topik pembicaraan, ke mana pun Harry pergi: Turnamen Triwizard. Desas-desus menyebar dari satu anak ke anak yang lain seperti kuman menular: siapa saja yang akan mencoba menjadi juara Hogwarts, turnamen ini akan meliputi apa saja, bagaimana murid-murid Beauxbatons dan Durmstrang berbeda dari mereka.

Harry juga memperhatikan bahwa kastil dibersihkan menyeluruh secara ekstra. Beberapa lukisan sangat kotor telah disikat, membuat objek lukisannya tidak senang. Mereka duduk bergerombol dalam pigura-pigura mereka, menggerundel marah dan berjengit ketika meraba wajah mereka yang jadi merah jambu dan peka. Baju-baju zirah mendadak berkilauan dan bergerak tanpa derit. Dan Argus Filch, si penjaga sekolah, bersikap luar biasa galak kepada siapa saja yang lupa menggosok sepatunya pada keset, sampai ada dua anak perempuan kelas satu yang histeris saking takutnya.

Beberapa guru tampak ikut tegang.

”Longbottom, jangan membocorkan rahasia bahwa kau tak bisa melakukan Mantra Tukar yang sederhana kepada siapa pun dari Durmstrang!” bentak Profesor McGonagall pada akhir salah satu pelajaran yang ekstra sulit. Dalam pelajaran itu Neville tak sengaja mentransplantasi telinganya sendiri pada kaktus.

Ketika mereka turun untuk sarapan pada pagi tanggal tiga puluh Oktober, ternyata Aula Besar telah didekorasi dalam semalam. Panji-panji sutra raksasa tergantung pada dinding, masing-masing mewakili Asrama Hogwarts: merah dengan singa emas untuk Gryffindor, biru dengan elang perunggu untuk Ravenclaw, kuning dengan musang hitam untuk Hufflepuff, dan hijau dengan ular perak untuk Slytherin. Di belakang meja guru tepampang panji-panji yang paling besar, menampilkan keempat lambang Hogwarts: singa, elang, musang, dan ular, berkumpul mengelilingi huruf H besar.

Harry, Ron, dan Hermione menuju ke tempat Fred dan George duduk di meja Gryffindor, Ron paling depan. Sekali lagi, dan luar biasa sekali, Fred dan George duduk terpisah dari yang lain dan berbicara dengan suara pelan.

”Memang pengalaman yang tak enak,” George berkata muram kepada Fred. ”Tapi kalau dia tak mau bicara dengan kita, kita harus mengirimkan surat itu kepadanya. Atau kita jejalkan saja ke tangannya. Dia tak bisa menghindari kita selamanya.”

”Siapa yang menghindari kalian?” tanya Ron, duduk di sebelah mereka.

”Maunya sih kau,” kata Fred, tampak jengkel mendapat gangguan.

”Pengalaman tak enak apa sih?” Ron bertanya kepada George.

”Kalau kita punya adik suka ikut campur urusan macam kau itu,” jawab George.

”Kalian berdua sudah punya ide untuk Turnamen Triwizard?” tanya Harry. ”Masih mau ikut?”

”Aku tanya pada McGonagall bagaimana caranya sang juara dipilih, tapi dia tak mau bilang,” kata George sengit. ”Dia malah menyuruh aku diam dan meneruskan mentransfigurasi rakunku.”

”Apa ya kira-kira tugas-tugasnya?” kata Ron merenung. ”Tahu tidak, aku berani taruhan kita bisa melakukannya, Harry. Kita telah melakukan hal-hal berbahaya sebelum ini…”

”Tapi tidak di depan dewan juri,” kata Fred. ”Kata McGonagall para juara dinilai berdasarkan sebaik apa mereka melaksanakan tugas mereka.”

”Siapa saja jurinya?” tanya Harry.

”Para kepala sekolah semua sekolah yang berpartisipasi, selalu menjadi dewan juri,” kata Hermione, dan semua menoleh kepadanya, agak heran, ”karena tiga-tiganya luka dalam turnamen tahun 1792, ketika seekor cockatrice yang seharusnya ditangkap para juara mengamuk.” Cockatrice adalah ular legendaris yang menetas dari telur ayam yang dierami reptil.

Hermione melihat mereka semua memandangnya dan berkata tak sabar seperti biasanya, karena tak ada orang lain yang membaca semua buku yang dibacanya, ”Semuanya ada dalam Sejarah Hogwarts. Meskipun, tentu saja, buku itu tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Lebih tepat kalau judulnya Sejarah Hogwarts yang Direvisi. Atau Sejarah Hogwarts yang Sangat Berat Sebelah dan Selektif, yang Membanggakan Aspek-Aspek Sekolah yang Tidak Menyenangkan.”

”Apa sih maksudmu?” tanya Ron, meskipun Harry menduga dia sudah tahu apa jawabnya.

Peri-rumah!” kata Hermione, matanya berkilat. ”Tak satu kali pun, dalam buku Sejarah Hogwarts yang tebalnya lebih dari seribu halaman ini disebutkan bahwa kita semua berkolusi dalam penindasan seratus budak!”

Harry menggeleng dan menyendok telur goreng. Walaupun dia dan Ron tidak antusias, ini tidak memudarkan tekad Hermione untuk mengejar keadilan bagi peri-rumah. Memang keduanya telah membayar dua Sickle untuk lencana S.P.E.W., tetapi mereka membelinya hanya supaya Hermione diam. Tapi rupanya Sickle mereka terbuang sia-sia, sebab Hermione semakin gencar. Dia menggerecoki Harry dan Ron terus sejak saat itu. Mula-mula menyuruh mereka memakai lencana itu, berikutnya menyuruh mereka membujuk teman-teman lain agar mau memakai lencana, dan Hermione juga berkeliling ruang rekreasi Gryffindor setiap malam, menyudutkan anak-anak dan mengguncang kaleng pengumpulan uang di bawah hidung mereka.

”Kau sadar bahwa sepraimu diganti, perapianmu dinyalakan, kelasmu dibersihkan, dan makananmu dimasak oleh serombongan makhluk gaib yang tidak dibayar dan diperbudak?” katanya galak tak hentinya.

Beberapa anak, seperti Neville, membayar hanya untuk menghentikan Hermione mendelik padanya. Beberapa tampaknya agak tertarik pada apa yang disampaikannya, tetapi enggan mengambil bagian aktif dalam kampanye. Banyak yang menganggap semua itu cuma lelucon.

Ron sekarang memutar matanya ke langit-langit, yang menyiram mereka dengan cahaya matahari musim gugur, dan Fred menjadi sangat tertarik pada daging asapnya (si kembar dua-duanya menolak membeli lencana S.P.E.W.). Meskipun demikian, George mendekatkan diri kepada Hermione.

”Pernahkah kau turun ke dapur, Hermione?”

”Tentu saja belum,” jawab Hermione tegas. ”Kurasa murid-murid tidak diiz…”

”Kami pernah,” kata George, seraya menunjuk Fred, ”berkali-kali, untuk mencuri makanan. Dan kami bertemu mereka, dan mereka bahagia. Mereka beranggapan pekerjaan mereka paling menyenangkan di dunia…”

”Itu karena mereka tidak terdidik dan telah dicuci otak!” balas Hermione panas, tetapi kata-katanya berikutnya ditenggelamkan oleh deru mendadak dari atas, yang menandai kedatangan pos burung hantu. Harry langsung mendongak, dan melihat Hedwig meluncur ke arahnya. Hermione mendadak berhenti bicara. Dia dan Ron menatap Hedwig dengan cemas, ketika burung itu terbang turun ke bahu Harry, melipat sayapnya, dan mengulurkan kakinya dengan letih.

Harry menarik jawaban Sirius dan menawarkan daging asapnya kepada Hedwig, yang dimakannya dengan penuh terima kasih. Kemudian, setelah memastikan keadaan aman karena Fred dan George sedang asyik membicarakan Turnamen Triwizard, Harry membacakan surat Sirius dalam bisikan kepada Ron dan Hermione,

Boleh juga usahamu, Harry.

Aku sudah kembali ke negara ini dan bersembunyi. Aku ingin kau melaporkan kepadaku semua yang terjadi di Hogwarts. Jangan gunakan Hedwig, ganti-ganti burung hantu terus, dan jangan cemaskan aku, jaga saja dirimu sendiri baik-baik. Jangan lupa apa yang kukatakan tentang bekas lukamu.

image

 

”Kenapa kau harus ganti-ganti burung hantu terus?” tanya Ron pelan.

”Hedwig akan menarik terlalu banyak perhatian,” Hermione langsung menjawab. ”Dia kan mencolok sekali. Burung hantu seputih salju yang bolak-balik ke tempat persembunyiannya… maksudku, mereka bukan burung asli dari daerah sini, kan?”

Harry menggulung suratnya dan menyelipkannya di balik jubahnya, bertanya-tanya sendiri apakah kecemasannya berkurang atau malah bertambah. Harus diakuinya keberhasilan Sirius kembali tanpa tertangkap sudah merupakan prestasi tersendiri. Dia juga tak membantah bahwa keberadaan Sirius yang lebih dekat dengannya membuatnya lebih tenteram. Paling tidak dia tak perlu lama menunggu balasan setiap kali menulis surat.

”Terima kasih, Hedwig,” katanya, seraya membelai burung hantunya. Hedwig beruhu mengantuk, mencelupkan paruhnya sekilas ke dalam piala Harry yang berisi air jeruk, kemudian terbang lagi, jelas sudah kepingin sekali tidur lama di kandang burung.

Hari itu bersuasana penantian yang menyenangkan. Tak ada yang tekun memperhatikan pelajaran, semuanya lebih tertarik pada kedatangan delegasi dari Beauxbatons dan Durmstrang sore itu. Bahkan pelajaran Ramuan pun lebih bisa ditolerir daripada biasanya, karena setengah jam lebih pendek. Ketika bel berdering, Harry, Ron, dan Hermione bergegas naik ke Menara Gryffindor, menyimpan buku dan tas seperti yang telah diinstruksikan, memakai mantel mereka, dan bergegas turun lagi ke Aula Depan.

Para kepala asrama meminta murid-murid mereka untuk berbaris.

”Weasley, luruskan topimu,” Profesor McGonagall menegur Ron. ”Miss Patil, lepaskan benda aneh itu dari rambutmu.”

Parvati cemberut dan melepas kupu-kupu mainan besar dari ujung kepangnya.

”Ikuti aku,” kata Profesor McGonagall. ”Anak-anak kelas satu di depan… jangan dorong-dorongan…”

Mereka berbaris menuruni tangga dan berjajar di depan kastil. Petang itu cerah dan dingin. Malam telah menjelang dan bulan yang pucat sudah bersinar di atas Hutan Terlarang. Harry, berdiri di antara Ron dan Hermione di deretan keempat dari depan, melihat Dennis Creevey kentara sekali gemetar saking bergairahnya di antara anak-anak kelas satu lainnya.

”Hampir pukul enam,” kata Ron, melihat arlojinya dan kemudian memandang jalan yang menuju ke gerbang depan. ”Naik apa ya mereka? Kereta api?”

”Kurasa tidak,” kata Hermione.

”Kalau begitu naik apa? Sapu?” tanya Harry, memandang langit yang bertabur bintang.

”Kurasa juga tidak… tidak mungkin dari tempat sejauh itu…”

”Portkey?” Ron mengusulkan. ”Atau mereka bisa ber-Apparate… mungkin di tempat mereka, mereka diizinkan melakukannya di bawah umur tujuh belas?”

”Kau tak bisa ber-Apparate di dalam halaman Hogwarts, berapa kali sih harus kukatakan?” kata Hermione tak sabar.

Mereka memandang halaman yang semakin gelap dengan bergairah, tetapi tak ada yang bergerak. Segalanya diam, dan sunyi, dan sama seperti biasanya. Harry mulai merasa kedinginan. Dia berharap mereka segera tiba… Mungkin murid-murid dari luar negeri ini sedang menyiapkan kedatangan yang dramatis… Dia ingat yang dikatakan Mr Weasley di perkemahan sebelum Piala Dunia Quidditch, ”Selalu begitu—kita tak tahan tidak pamer kalau sedang berkumpul….”

Dan kemudian Dumbledore bicara dari deretan belakang, tempat dia berdiri bersama para guru lainnya…

”Aha! Kalau aku tak keliru, delegasi dari Beauxbatons sedang mendekat!”

”Mana? Mana?” anak-anak langsung ribut, memandang ke berbagai arah.

”Itu dia!” teriak seorang anak kelas enam, menunjuk ke arah hutan.

Sesuatu yang besar, lebih besar daripada sapu—atau, malah seratus sapu—meluncur dilatarbelakangi langit biru gelap menuju kastil, makin lama makin besar.

”Itu naga!” teriak seorang anak perempuan kelas satu, hilang akal.

”Tolol… itu rumah terbang!” tukas Dennis Creevey.

Tebakan Dennis lebih tepat… Ketika benda hitam raksasa itu melayang di atas pucuk-pucuk pepohonan Hutan Terlarang dan cahaya yang menyorot dari jendela-jendela kastil menimpanya, mereka melihat kereta kuda raksasa berwarna biru, melesat menuju mereka, ditarik selusin kuda putih keemasan yang masing-masing sebesar gajah.

Tiga deretan anak-anak yang di depan mundur ketika kereta itu meluncur turun, berhenti secara tiba-tiba sekali—kemudian, dengan bunyi berdebam luar biasa keras yang membuat Neville melompat ke belakang dan menginjak kaki anak Slytherin kelas enam, kaki-kaki kuda yang lebih besar daripada piring makan menjejak tanah. Sedetik kemudian, keretanya juga mendarat, menyentak di atas roda-roda raksasanya, sementara kuda-kudanya yang berbulu keemasan mengedikkan kepala mereka yang amat besar dan memutar-mutar mata besar mereka yang merah berapi-api.

Harry masih sempat melihat di pintu kereta itu terpampang lambang berupa dua tongkat emas yang bersilang, masing-masing mengeluarkan tiga bintang, sebelum pintu itu terbuka. Beauxbatons—dibaca bo-batong—memang berarti tongkat yang indah.

Seorang anak laki-laki memakai jubah biru muda melompat turun dari kereta, membungkuk ke depan, sesaat meraba-raba sesuatu pada dasar kereta, dan membuka lipatan satu set tangga keemasan. Dia melompat mundur dengan hormat. Kemudian Harry melihat sepatu hitam berkilauan bertumit tinggi muncul dari dalam kereta—sepatu itu seukuran kereta luncur anak-anak—diikuti segera oleh wanita paling besar yang pernah dilihatnya seumur hidup. Kini jelas kenapa ukuran kereta dan kuda-kudanya sebesar itu. Beberapa anak terpekik kaget.

Harry hanya pernah melihat satu orang lain yang sebesar wanita ini, yaitu Hagrid. Dia tak meragukan lagi, tinggi mereka tak berbeda sesenti pun. Kendatipun demikian—mungkin karena dia sudah terbiasa melihat Hagrid—perempuan ini (sekarang di kaki tangga, dan memandang berkeliling kepada anak-anak yang menunggu dengan mata terbeliak) tampaknya luar biasa besar. Ketika dia melangkah ke dalam sorot cahaya dari Aula Depan, tampak wajahnya yang rupawan berkulit warna buah zaitun; matanya besar dan hitam berkilau, dan hidungnya agak bengkok. Rambutnya digelung ketat mengilap di tengkuknya. Dari kepala sampai ke kaki dia tertutup jubah satin hitam, dan banyak opal besar indah berkilauan di leher dan jari-jarinya yang besar.

Dumbledore mulai bertepuk. Anak-anak, mengikuti teladannya, ikut bertepuk. Banyak di antara mereka yang berjingkat, agar bisa lebih jelas melihat wanita ini.

Wajah si wanita mengendur dalam senyum anggun dan dia berjalan menuju Dumbledore, mengulurkan tangan yang gemerlapan. Meskipun Dumbledore sendiri jangkung, dia hampir tak perlu membungkuk untuk mengecup tangan itu.

My dear Madame Maxime,” sapanya. ”Selamat datang di Hogwarts.”

”Dumbly-dorr,” kata Madame Maxime dengan suara berat. ”Ku’arap kau baik-baik saja?”

”Baik sekali, terima kasih,” kata Dumbledore.

”Murid-muridku,” kata Madame Maxime, melambaikan salah satu tangan besarnya dengan asal saja ke belakang.

Harry, yang sejak tadi perhatiannya tersita sepenuhnya oleh Madame Maxime, sekarang memperhatikan bahwa sekitar selusin anak laki-laki dan perempuan, semuanya tampaknya berumur delapan atau sembilan belas tahun, telah keluar dari kereta dan sekarang berdiri di belakang Madame Maxime. Mereka gemetar kedinginan. Tidaklah mengherankan, karena jubah mereka terbuat dari sutra halus, dan tak seorang pun dari mereka memakai mantel. Beberapa melilitkan scarf dan syal di sekeliling kepala mereka. Dari yang bisa dilihat Harry (mereka berdiri dalam naungan bayangan raksasa Madame Maxime), mereka memandang Hogwarts dengan khawatir.

”Apakah Karkaroff sudah datang?” Madame Maxime bertanya.

”Dia akan tiba di sini setiap saat,” kata Dumbledore. ”Apakah kau mau menunggu di sini dan menyambutnya ataukah lebih suka masuk dan sedikit menghangatkan diri?”

”Meng’angatkan diri, kurasa,” kata Madame Maxime. ”Tapi kuda-kudanya…”

”Guru Pemeliharaan Satwa Gaib kami dengan senang hati akan mengurus mereka,” kata Dumbledore. ”Begitu dia sudah kembali dari menangani masalah kecil yang ditimbulkan oleh beberapa—er—peliharaannya.”

”Skrewt,” gumam Ron kepada Harry, nyengir.

”Kuda-kudanya butuh—er—penanganan keras,” kata Madame Maxime, kelihatannya dia meragukan guru Pemeliharaan Satwa Gaib di Hogwarts akan sanggup melakukannya. ”Mereka sangat kuat…”

”Kujamin Hagrid akan sanggup menangani mereka,” kata Dumbledore, tersenyum.

”Baiklah,” kata Madame Maxime, sedikit membungkuk. ”Tolong beritahu si ’Agrid ini bahwa kuda-kuda itu cuma minum wiski gandum?”

”Akan kuberitahu dia,” kata Dumbledore, membalas membungkuk.

”Mari,” Madame Maxime memerintahkan murid-muridnya, dan anak-anak Hogwarts menyisih untuk memberi jalan kepada mereka menaiki undakan batu.

”Seberapa besar menurutmu kuda-kuda Durmstrang?” kata Seamus Finnigan, memiringkan diri melewati Lavender dan Parvati untuk bicara kepada Harry dan Ron.

”Yah, kalau lebih besar dari yang ini, bahkan Hagrid pun tak akan sanggup menanganinya,” komentar Harry. ”Itu pun kalau dia belum diserang Skrewt-nya sendiri. Kenapa ya dia tak datang-datang?”

”Mungkin Skrewt-nya berhasil kabur,” kata Ron penuh harap.

”Oh, jangan ngomong begitu dong,” kata Hermione bergidik. ”Bayangkan mereka berkeliaran di halaman…”

Mereka sekarang sudah mulai gemetar kedinginan, menunggu kedatangan rombongan Durmstrang. Sebagian besar anak-anak memandang penuh harap ke angkasa. Selama beberapa menit, keheningan hanya dipecahkan oleh dengus dan entakan kaki kuda-kuda besar Madame Maxime. Tetapi kemudian…

”Apakah kau mendengar sesuatu?” celetuk Ron tiba-tiba.

Harry mendengarkan. Bunyi ganjil mengerikan terdengar keras dari dalam kegelapan. Bunyi derum dan isapan yang teredam, seakan ada pengisap debu raksasa sedang bergerak di sepanjang tepi sungai.…

”Danau!” pekik Lee Jordan, seraya menunjuk ke danau. ”Lihat ke danau!”

Dari posisi mereka di puncak padang rumput yang menghadap ke halaman, mereka bisa melihat dengan jelas permukaan air yang licin dan gelap—hanya saja mendadak permukaan itu tidak lagi licin. Gangguan besar sedang terjadi jauh di dalam air di tengah danau. Gelembung-gelembung besar terbentuk di permukaannya, dan kini gelombang menyapu tepiannya yang berlumpur—dan kemudian, di tengah danau muncul pusaran air, seakan sumbat raksasa baru saja dicabut dari dasar danau.…

Sesuatu yang tampak seperti tiang hitam panjang perlahan muncul dari tengah pusaran air itu… dan kemudian Harry melihat tali-temalinya…

”Itu tiang kapal!” katanya kepada Ron dan Hermione.

Perlahan, dengan megah, kapal itu muncul dari dalam air, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Penampilannya menimbulkan kesan seperti kerangka, seakan itu kapal karam yang diangkat, dan sinar redup berkabut yang memancar dari lubang-lubang tingkapnya seperti mata-mata mengerikan. Akhirnya, dengan bunyi kecipak keras, seluruh kapal muncul, terapung di atas air yang bergolak, dan mulai meluncur ke pantai. Beberapa saat kemudian, mereka mendengar bunyi debur jangkar yang dilempar ke dalam air yang dangkal, dan debum papan yang diturunkan ke pantai.

Orang-orang turun dari kapal. Anak-anak bisa melihat siluet mereka melewati cahaya di lubang-lubang tingkap. Semuanya, Harry memperhatikan, potongannya seperti Crabbe dan Goyle… tetapi ketika mereka sudah semakin dekat, berjalan menyeberangi lapangan rumput memasuki cahaya yang menyorot dari Aula Depan, Harry melihat bahwa tubuh mereka tampak besar gara-gara mereka memakai mantel yang terbuat dari semacam bulu panjang tebal. Tetapi laki-laki yang memimpin mereka ke kastil memakai bulu jenis lain, licin mengilap dan keperakan, seperti rambutnya.

”Dumbledore!” serunya ramah sambil berjalan. ”Apa kabar, Sobat, apa kabar?”

”Baik sekali, terima kasih, Profesor Karkaroff,” jawab Dumbledore.

Suara Karkaroff terdengar bermanis-manis, dan ketika dia melangkah ke dalam siraman cahaya dari pintu depan kastil, mereka melihat bahwa dia jangkung dan kurus seperti Dumbledore, tetapi rambut putihnya pendek, dan jenggot kambingnya (yang ujungnya melengkung dalam ikal kecil) tidak sepenuhnya menyembunyikan dagunya yang agak lemah. Setibanya di dekat Dumbledore, dia menjabat tangan Dumbledore dengan kedua tangannya.

”Hogwarts tersayang,” katanya, memandang kastil dan tersenyum. Giginya kekuningan dan Harry memperhatikan bahwa senyumnya tidak mencapai matanya. Matanya tetap dingin dan licik. ”Senang sekali berada di sini, senang sekali… Viktor, ayo, ke tempat yang hangat… kau tak keberatan, Dumbledore? Viktor agak pusing karena sedikit flu…”

Karkaroff melambai kepada salah seorang muridnya. Ketika anak itu lewat, sekilas Harry melihat hidung kuat yang bengkok dan alis tebal hitam. Dia tak memerlukan tinju Ron di lengannya, ataupun desisnya di telinganya, untuk mengenali profil itu.

”Harry… itu Krum!”