20

image

TUGAS PERTAMA

HARRY terbangun pada hari Minggu pagi dan berpakaian tanpa memperhatikan sama sekali, sehingga baru beberapa saat kemudian dia sadar dia berusaha memasukkan kaki ke topinya, bukannya ke kaus kakinya. Ketika akhirnya dia berhasil melekatkan pakaiannya ke bagian-bagian tubuhnya yang benar, dia bergegas mencari Hermione. Ditemukannya Hermione di meja Gryffindor di Aula Besar, sedang sarapan bersama Ginny. Merasa mual sehingga tak ingin makan, Harry menunggu sampai Hermione menelan suapan terakhir buburnya, kemudian menariknya ke halaman. Di sana dia menceritakan tentang keempat naga, tentang segalanya yang diucapkan Sirius, sementara mereka berjalan mengitari danau.

Walaupun mencemaskan peringatan Sirius tentang Karkaroff, Hermione tetap berpendapat bahwa naga-naga itu persoalan yang lebih mendesak.

”Kita berusaha saja agar kau tetap hidup sampai Selasa malam,” katanya putus asa, ”dan baru sesudah itu kita mencemaskan Karkaroff.”

Mereka berjalan mengelilingi danau tiga kali, berusaha mencari mantra sederhana yang bisa menjinakkan naga. Tetapi tak satu pun terpikirkan oleh mereka, maka mereka ganti ke perpustakaan. Di sana Harry menurunkan semua buku tentang naga yang bisa ditemukannya, dan keduanya mulai bekerja, mencari dari tumpukan besar itu.

Menggunting kuku cakar dengan mantra… mengobati luka sisik… Percuma saja, ini cocoknya buat orang aneh seperti Hagrid yang ingin naga peliharaannya sehat…”

’Naga sangat susah dibantai, mengingat kegaiban kuno mengaruniai mereka kulit yang tebal, yang hanya bisa ditembus oleh mantra-mantra yang paling kuat…’ Tetapi Sirius mengatakan mantra sederhana bisa manjur…”

”Kalau begitu kita tengok buku-buku mantra sederhana,” kata Harry, melempar buku Orang yang Terlalu Mencintai Naga.

Dia kembali ke meja membawa setumpuk buku mantra, menaruhnya, dan mulai membalik halamannya satu demi satu. Hermione tak hentinya berbisik di sikunya.

”Nah, itu Mantra Pengganti… tapi apa gunanya menggantinya? Kecuali kau mengganti taringnya dengan permen karet atau sesuatu yang lain yang membuatnya kurang berbahaya… Sulitnya, seperti dikatakan buku ini, tak banyak yang bisa menembus kulit naga… Aku akan menyarankan menTransfigurasi-nya, tetapi binatang sebesar itu, kau tak punya harapan. Bahkan Profesor McGonagall pun aku ragu bisa melakukannya, kecuali kau memantrai dirimu sendiri? Mungkin untuk memberimu kekuatan ekstra? Tetapi mantra itu tidak sederhana, maksudku, kita belum mempelajari mantra-mantra begitu di kelas. Aku tahu tentang itu karena aku telah mengerjakan soal-soal latihan OWL…”

”Hermione,” tukas Harry mengertak gigi, ”tolong diam sebentar. Aku sedang berusaha berkonsentrasi.”

Tetapi yang terjadi setelah Hermione diam adalah otak Harry dipenuhi dengung kosong, yang rupanya tak memberi lowongan untuk berkonsentrasi. Harry memandang putus asa buku Sihir Dasar untuk yang Sibuk dan Sakit Hati: Pengulitan kepala dalam sekejap… tetapi naga tak punya rambut… napas merica… ini mungkin malah menambah kekuatan penyemburan api si naga… lidah tanduk… persis yang diperlukan si naga, untuk memberinya senjata ekstra…

”Oh, tidak, dia ke sini lagi, kenapa sih dia tidak membaca di kapalnya sendiri?” ujar Hermione jengkel ketika Viktor Krum berjalan agak bungkuk masuk, melempar pandang masam ke arah mereka berdua, dan mendudukkan diri di sudut yang jauh, dengan setumpuk buku. ”Ayo, Harry, kita kembali ke ruang rekreasi… fan club-nya akan muncul setiap saat, berkicau bising…”

Benar saja, ketika mereka meninggalkan perpustakaan, serombongan anak perempuan berpapasan dengan mereka, salah satunya memakai syal Bulgaria yang diikatkan ke pinggangnya.

Harry nyaris tidak tidur malam itu. Saat terbangun pada hari Senin paginya, dia mempertimbangkan dengan serius, untuk pertama kalinya, kemungkinan kabur dari Hogwarts. Tetapi ketika memandang berkeliling Aula Besar saat sarapan, dan memikirkan apa artinya meninggalkan kastil, Harry tahu dia tak bisa melakukannya. Di sini satu-satunya tempat dia pernah bahagia… yah, tentunya dia berbahagia bersama orangtuanya, tetapi dia tak bisa mengingatnya.

Bagaimanapun, menyadari bahwa dia lebih memilih berada di sini dan menghadapi naga daripada kembali ke Privet Drive bersama Dudley, membuatnya sedikit lebih tenang. Dia menghabiskan daging asapnya dengan susah payah (kerongkongannya tak berfungsi dengan baik), dan ketika dia dan Hermione bangkit, dia melihat Cedric Diggory meninggalkan meja Hufflepuff.

Cedric masih tetap belum tahu tentang naga-naga itu… satu-satunya juara yang tidak tahu, kalau benar dugaan Harry bahwa Madame Maxime dan Karkaroff telah memberitahu Fleur dan Krum…

”Hermione, kita ketemu di Rumah Kaca,” kata Harry, mengambil keputusan sementara dia mengawasi Cedric meninggalkan aula. ”Pergilah, kususul kau nanti.”

”Harry kau akan terlambat, bel sudah mau berbunyi…”

”Aku akan menyusulmu, oke?”

Saat Harry tiba di dasar tangga pualam, Cedric sudah di atas. Dia bersama serombongan teman kelas enamnya. Harry tak ingin bicara kepada Cedric di depan mereka semua. Mereka termasuk yang mengutip artikel Rita Skeeter untuk mengejeknya setiap kali dia lewat. Harry membuntuti Cedric dalam jarak tertentu, dan melihat bahwa dia menuju ke koridor Mantra. Ini memberi ide pada Harry. Berhenti agak jauh dari mereka, dia mencabut tongkat sihirnya dan mengarahkannya dengan hati-hati.

”Diffindo!”

Tas Cedric robek. Perkamen, pena bulu, dan buku-buku bertebaran di lantai. Beberapa botol tinta pecah.

”Biar saja,” kata Cedric putus asa ketika teman-temannya membungkuk membantunya. ”Bilang pada Flitwick aku datang sebentar lagi, ayo…”

Inilah yang diharapkan Harry. Dia menyelipkan kembali tongkatnya ke balik jubahnya, menunggu sampai teman-teman Cedric sudah lenyap ke dalam kelas, dan bergegas menyusuri koridor, yang sekarang kosong hanya berisi dia dan Cedric.

”Hai,” sapa Cedric, memungut buku Panduan Transfigurasi Tingkat Lanjut yang sekarang berlepotan tinta. ”Tasku robek… padahal baru…”

”Cedric,” kata Harry, ”tugas pertama adalah naga.”

”Apa?” tanya Cedric, mendongak.

”Naga,” kata Harry, bicara cepat-cepat, takut Profesor Flitwick muncul untuk mengecek apa yang sedang dilakukan Cedric. ”Mereka sudah menyiapkan empat, masing-masing satu untuk kita, dan kita harus melewati mereka.”

Cedric menatapnya. Harry melihat sebagian kepanikan yang dirasakannya sejak Sabtu malam terpancar dari mata Cedric.

”Kau yakin?” tanya Cedric pelan.

”Seratus persen,” jawab Harry. ”Aku sudah melihat mereka.”

”Tapi bagaimana kau bisa tahu? Kita kan tidak boleh tahu…”

”Jangan tanya,” kata Harry buru-buru—dia tahu Hagrid akan mendapat kesulitan jika dia menceritakan yang sebenarnya. ”Tetapi aku bukan satu-satunya yang tahu. Fleur dan Krum pasti juga sudah tahu sekarang—Maxime dan Karkaroff sudah melihat naga-naga itu juga.”

Cedric bangkit, tangannya penuh pena bulu, perkamen, dan buku-buku. Tasnya yang robek tergantung di bahunya. Dia menatap Harry, dan tatapannya bingung nyaris curiga.

”Kenapa kau memberitahu aku?” tanyanya.

Harry menatapnya tak percaya. Dia yakin Cedric tak akan bertanya jika telah melihat naga-naga itu sendiri. Harry bahkan takkan membiarkan musuh besarnya menghadapi monster-monster itu tanpa persiapan—yah, kecuali mungkin Malfoy atau Snape…

”Yah… adil, kan?” katanya kepada Cedric. ”Kita semua tahu sekarang… posisi kita jadi sama, kan?”

Cedric masih memandangnya dengan agak curiga ketika Harry mendengar bunyi ketukan yang dikenalnya di belakangnya. Dia berbalik dan melihat Mad-Eye Moody muncul dari kelas di dekat situ.

”Ikut aku, Potter,” katanya menggeram. ”Diggory, pergilah.”

Harry menatap Moody dengan gelisah. Apakah dia mendengarnya?

”Er… Profesor, saya harus ikut Herbologi…”

”Biar saja, Potter. Ke kantorku sekarang…”

Harry mengikutinya, bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi padanya sekarang. Bagaimana kalau Moody ingin tahu bagaimana dia sampai tahu tentang naga-naga itu? Akankah Moody pergi ke Dumbledore dan melaporkan Hagrid, atau hanya akan mengubah Harry menjadi musang? Yah, mungkin akan lebih mudah melewati naga jika dia musang, pikir Harry muram, tubuhnya jadi lebih kecil, lebih susah dilihat dari ketinggian lima belas meter…

Harry mengikuti Moody ke dalam kantornya. Moody menutup pintu dan berbalik menghadapi Harry. Baik mata gaibnya maupun mata normalnya tajam menatap Harry.

”Yang kaulakukan tadi perbuatan terpuji, Potter,” kata Moody pelan.

Harry tak tahu harus bilang apa. Ini bukan reaksi yang diharapkannya.

”Duduklah,” kata Moody, dan Harry duduk, memandang berkeliling.

Dia sudah pernah masuk ke kantor ini ketika ditempati dua orang pendahulu Moody. Sewaktu Profesor Lockhart yang menempati, dindingnya dipenuhi foto-fotonya sendiri yang mengedip dan tersenyum. Ketika Profesor Lupin tinggal di sini, sering sekali dia melihat makhluk dunia Hitam yang baru dan menarik, yang didapat Lupin bagi mereka untuk dipelajari di kelas. Tetapi sekarang, kantor ini penuh benda-benda yang luar biasa aneh, yang Harry duga telah digunakan Moody pada waktu dia menjadi Auror dulu.

Di atas mejanya ada sesuatu yang seperti gasing kaca besar yang sudah retak. Harry langsung mengenalinya sebagai Teropong-Curiga, karena dia sendiri punya, meskipun ukurannya jauh lebih kecil daripada teropong Moody. Di salah satu sudut, di atas meja kecil, ada sesuatu yang tampaknya seperti antena televisi keemasan yang meliuk-liuk. Antena itu berdengung pelan. Sesuatu yang seperti cermin tergantung pada dinding di seberang Harry, tetapi cermin itu tidak memantulkan ruangan. Sosok-sosok yang seperti bayang-bayang bergerak-gerak di dalamnya, tak satu pun yang terfokus tajam.

”Suka Detektor Gelap-ku, ya?” kata Moody, yang mengawasi Harry lekat-lekat.

”Apa itu?” tanya Harry, menunjuk antena keemasan yang meliuk-liuk.

”Sensor Rahasia. Bergetar jika dia mendeteksi ada yang menyembunyikan sesuatu atau berbohong… tak ada gunanya di sini, tentu saja, terlalu banyak gangguan—murid-murid di segala jurusan memberi alasan bohong kenapa mereka tidak mengerjakan PR. Berdengung terus sejak aku tiba di sini. Aku harus mendisfungsikan Teropong-Curiga-ku karena dia tak hentinya bersuit. Teropong itu ekstra-sensitif, bisa mendeteksi kebohongan dari jarak satu setengah kilometer. Tentu saja dia bisa mendeteksi lebih daripada sekadar kebohongan anak-anak,” dia menambahkan dengan menggeram.

”Dan untuk apa cermin itu?”

”Oh, itu Cermin-Musuh-ku. Lihat mereka itu, berindap-indap? Aku tak akan mendapat kesulitan sampai aku melihat bagian putih bola mata mereka. Saat itulah kubuka petiku.”

Dia mengeluarkan tawa pendek parau, dan menunjuk ke peti besar di bawah jendela. Peti itu ada lubang kuncinya, berderet tujuh. Harry penasaran memikirkan apa isinya, sampai perkataan Moody berikutnya membantingnya kembali ke tanah.

”Jadi… berhasil tahu tentang naga-naga itu rupanya?”

Harry ragu-ragu. Sejak tadi dia sudah gentar menghadapi pertanyaan ini… tetapi dia tidak memberitahu Cedric, dan jelas dia tidak akan memberitahu Moody, bahwa Hagrid telah melanggar peraturan.

”Tidak apa-apa,” kata Moody, duduk dan menjulurkan kaki kayunya sambil mengeluh. ”Kecurangan adalah bagian tradisional Turnamen Triwizard. Dari dulu sudah begitu.”

”Saya tidak melakukan kecurangan,” tukas Harry tajam. ”Kebetulan saja… saya tahu.”

Moody tersenyum. ”Aku tidak menuduhmu, Nak. Aku sudah bilang pada Dumbledore sejak awal, dia bisa saja bertahan jujur, tetapi Karkaroff dan Maxime jelas tidak. Sebisa mungkin mereka akan memberitahu para juara mereka. Mereka ingin menang. Mereka ingin mengalahkan Dumbledore. Mereka mau membuktikan Dumbledore hanyalah manusia biasa.”

Moody tertawa parau lagi, mata gaibnya berputar begitu cepat, membuat Harry mual memandangnya.

”Nah…. Sudah punya ide bagaimana kau akan melewati nagamu?” tanya Moody.

”Belum,” kata Harry.

”Yah, aku tidak akan memberitahumu,” kata Moody tegas. ”Aku tidak pilih kasih. Aku cuma mau memberimu nasihat bagus yang umum. Dan yang pertama adalah—gunakan kekuatanmu.”

”Saya tak punya kekuatan,” celetuk Harry sebelum bisa menahan diri.

”Maaf?” kata Moody menggeram. ”Kau punya kekuatan kalau aku bilang kau punya. Pikirkan sekarang. Kau paling mahir dalam hal apa?”

Harry berusaha berkonsentrasi. Dia paling mahir dalam hal apa? Yah, itu sih gampang sebetulnya…

”Quidditch,” katanya bingung, ”dan apa gunanya…”

”Betul,” kata Moody, memandangnya tajam sekali, mata gaibnya nyaris tak bergerak. ”Kau penerbang yang luar biasa, kudengar.”

”Yeah, tetapi…” Harry menatapnya. ”Saya tak diizinkan membawa sapu. Saya cuma membawa tongkat…”

”Nasihat umumku yang kedua,” kata Moody keras, menyelanya, ”adalah gunakan mantra sederhana yang memungkinkan kau mendapatkan yang kaubutuhkan.”

Harry menatapnya bengong. Apa yang dibutuhkannya?

”Ayolah, Nak…,” bisik Moody. ”Gabungkan keduanya… tidak terlalu sulit…”

Dan Harry seakan mendapat pencerahan. Dia jago terbang. Dia perlu melewati naga itu lewat udara. Untuk itu, dia memerlukan Firebolt. Dan untuk mendapatkan Firebolt, dia membutuhkan…

”Hermione,” Harry berbisik, ketika dia secepat kilat ke Rumah Kaca tiga menit kemudian, seraya menggumamkan permintaan maaf buru-buru kepada Profesor Sprout ketika melewatinya. ”Hermione… aku perlu bantuanmu.”

”Menurutmu apa yang selama ini kucoba lakukan, Harry?” Hermione balas berbisik, matanya membulat cemas di atas semak Flutterby yang sedang dipangkasnya.

”Hermione, aku harus sudah menguasai Mantra Panggil dengan baik besok sore.”

Maka mereka pun berlatih. Mereka tidak makan siang, melainkan langsung ke kelas kosong. Di kelas itu Harry mencoba sekuat tenaga membuat berbagai benda terbang menyeberangi ruangan ke arahnya. Dia masih kesulitan. Buku dan pena bulu berulang-ulang jatuh ke lantai seperti batu ketika baru setengah jalan menyeberangi ruangan.

”Konsentrasi, Harry, konsentrasi…”

”Menurutmu apa yang sedang kulakukan?” balas Harry gusar. ”Naga raksasa entah kenapa tak hentinya muncul di benakku… Oke, coba lagi…”

Dia ingin membolos Ramalan untuk meneruskan latihan, tetapi Hermione menolak mentah-mentah meninggalkan Arithmancy, dan tak ada gunanya berlatih tanpa dia. Harry terpaksa menahan diri selama pelajaran Profesor Trelawney, yang menghabiskan lebih setengah jam pelajaran memberitahu murid-muridnya bahwa posisi Mars dalam hubungannya dengan Saturnus pada saat itu berarti bahwa orang yang lahir pada bulan Juli menghadapi bahaya besar meninggal mendadak secara mengerikan.

”Bagus, kalau begitu,” kata Harry keras-keras, kemarahannya meledak, ”asal tidak berlama-lama saja, aku tak mau menderita.”

Sekejap Ron tampaknya akan tertawa. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini matanya bertatapan dengan mata Harry, tetapi Harry masih merasa jengkel sekali dengan Ron sehingga dia tak peduli. Dia menghabiskan sisa jam pelajaran dengan berusaha menarik benda-benda kecil ke arahnya di bawah meja, menggunakan tongkat sihirnya. Dia berhasil membuat seekor lalat meluncur langsung ke tangannya, meskipun dia tak sepenuhnya yakin itu berkat kelihaiannya menggunakan Mantra Panggil… mungkin si lalat saja yang bodoh.

Dia memaksa diri menelan makan malam setelah pelajaran Ramalan, kemudian kembali ke kelas kosong bersama Hermione, memakai Jubah Gaib untuk menghindari para guru. Mereka berlatih sampai lewat tengah malam. Mereka akan tinggal lebih lama, tetapi Peeves muncul, dan berpura-pura mengira Harry ingin dilempari barang-barang, Peeves mulai melempar-lempar kursi ke seberang ruangan. Harry dan Hermione buru-buru pergi sebelum kebisingan itu menarik perhatian Filch. Mereka kembali ke ruang rekreasi Gryffindor, yang untungnya sudah kosong.

Pukul dua dini hari, Harry berdiri di dekat perapian, dikelilingi oleh tumpukan benda-benda: buku-buku, pena-pena bulu, beberapa kursi terbalik, satu set Gobstones usang, dan katak Neville, si Trevor. Baru sejam yang lalu Harry betul-betul menguasai Mantra Panggil.

”Itu lebih baik, Harry, jauh lebih baik,” kata Hermione, tampak lelah tetapi sangat senang.

”Yah, sekarang kita tahu apa yang harus kita lakukan lain kali kalau aku tak bisa menguasai mantra,” kata Harry, melemparkan kembali Kamus Rune kepada Hermione, supaya dia bisa mencoba lagi. ”Ancam aku dengan naga. Baik…” Dia mengangkat tangannya sekali lagi. ”Accio Dictionary!”

Buku tebal itu melesat dari tangan Hermione, terbang menyeberangi ruangan, dan Harry menangkapnya.

”Harry, menurutku kau sudah menguasainya!” kata Hermione riang.

”Asal besok bisa berhasil saja,” ujar Harry. ”Firebolt-ku jaraknya sangat lebih jauh daripada barang-barang di sini. Dia ada di kastil, sedangkan aku di lapangan…”

”Tak jadi soal,” kata Hermione tegas. ”Asal kau berkonsentrasi benar-benar pada sapumu, dia akan datang. Harry, lebih baik kita tidur sebentar… kau perlu tidur.”

Harry berlatih keras menguasai Mantra Panggil malam itu, sehingga sebagian kepanikannya telah meninggalkannya. Tetapi paginya kepanikan itu muncul lagi sepenuhnya. Suasana di sekolah penuh ketegangan dan kegairahan. Pelajaran dihentikan pada tengah hari, agar anak-anak punya cukup waktu untuk pergi ke tempat penampungan naga—meskipun tentu saja mereka tak tahu apa yang akan mereka temukan di sana.

Harry merasa terpisah dari semua anak di sekitarnya, baik yang mengharapkan agar dia berhasil maupun yang mendesis mencemoohnya, ”Kami akan menyiapkan sekotak tisu, Potter,” ketika dia lewat. Ketegangannya begitu besar, sehingga dia membatin apakah dia tidak akan hilang akal ketika mereka membawanya ke naganya, dan mulai mengutuk semua orang yang dilihatnya. Waktu seolah berjalan ngebut, sehingga tadi rasanya dia masih duduk ikut pelajaran pertama, Sejarah Sihir, lalu tiba-tiba saja sudah berjalan untuk makan siang… dan kemudian (ke mana perginya waktu? Jam-jam terakhir tanpa-naga?), Profesor McGonagall bergegas menjumpainya di Aula Besar. Banyak anak yang mengawasi mereka.

”Potter, para juara harus turun ke halaman sekarang… Kau harus bersiap untuk menghadapi tugas pertamamu.”

”Baiklah,” kata Harry, bangkit, garpunya terjatuh ke piringnya dengan bunyi dentang keras.

”Semoga sukses, Harry,” bisik Hermione. ”Kau akan baik-baik saja!”

”Yeah,” kata Harry, dalam suara yang sama sekali tidak seperti suaranya.

Dia meninggalkan Aula Besar bersama Profesor McGonagall. Profesor McGonagall juga tidak seperti biasanya. Dia bahkan tampak sama cemasnya dengan Hermione. Ketika menemani Harry menuruni undakan batu dan keluar memasuki udara sore November yang dingin, dia meletakkan tangan di bahu Harry.

”Jangan panik, ya,” katanya, ”tetaplah berkepala dingin… Kita punya para penyihir yang siap bertindak jika situasi tak terkendali lagi… Yang paling utama adalah lakukan sebaik kau bisa, dan tak akan ada yang menyalahkanmu… Kau baik-baik saja?”

”Ya,” Harry mendengar dirinya menjawab. ”Ya, saya baik-baik saja.”

Profesor McGonagall membawanya ke tempat para naga, di tepi hutan. Tetapi ketika mereka mendekati kerumunan pepohonan, yang dari belakangnya pagar bisa kelihatan, Harry melihat di situ sudah didirikan tenda. Jalan masuknya menghadap mereka, menghalangi naga-naga itu dari pandangan.

”Kau harus masuk ke situ bersama yang lain,” kata Profesor McGonagall dengan suara yang agak bergetar, ”dan tunggu giliranmu, Potter. Mr Bagman ada di dalam situ… dia akan memberitahumu… prosedurnya… Semoga berhasil.”

”Terima kasih,” kata Harry, dengan suara datar yang kedengarannya datang dari jauh. Profesor McGonagall meninggalkannya di pintu tenda. Harry masuk.

Fleur Delacour duduk di sudut di bangku kayu rendah. Dia tidak tampak setenang biasanya, melainkan agak pucat dan berkeringat. Viktor Krum tampak lebih sangar dari biasanya. Menurut dugaan Harry, begitulah caranya menunjukkan ketegangan. Cedric berjalan hilir-mudik. Ketika Harry masuk, Cedric tersenyum kecil kepadanya, yang dibalas Harry. Harry merasakan otot-otot wajahnya kaku, seakan sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.

”Harry! Selamat datang!” sambut Bagman riang, berpaling memandangnya. ”Masuk, masuk, anggap saja rumah sendiri!”

Bagman tampak bagai tokoh kartun yang kelewat besar, berdiri di tengah para juara yang berwajah pucat. Dia memakai jubah Wasp-nya yang dulu lagi.

”Nah, setelah kalian semua berada di sini… sudah saatnya menjelaskan kepada kalian!” kata Bagman ceria. ”Kalau para penonton sudah berkumpul, kantong ini akan kutawarkan kepada kalian”—dia mengangkat kantong kecil dari sutra ungu dan mengguncangnya di depan mereka—”dari dalamnya kalian masing-masing akan memilih model miniatur benda yang harus kalian hadapi! Soalnya… er… jenis-jenisnya berbeda. Dan aku harus memberitahu kalian satu hal lain lagi… ah, ya… tugas kalian adalah mengambil telur emasnya!”

Harry memandang berkeliling. Cedric mengangguk sekali, untuk menunjukkan bahwa dia memahami kata-kata Bagman, dan kemudian mulai berjalan hilir-mudik lagi dalam tenda. Wajahnya pucat. Fleur dan Krum sama sekali tak bereaksi. Mungkin mereka mengira mereka akan muntah jika membuka mulut; begitulah yang Harry rasakan. Tetapi paling tidak, mereka berdua dengan sukarela ikut turnamen ini.…

Dan dalam waktu singkat, ratusan pasang kaki terdengar melewati tenda, pemiliknya berbicara dengan bergairah, tertawa-tawa, bergurau… Harry merasa terasing dari para penonton itu, seakan mereka spesies lain. Dan kemudian—rasanya cuma sedetik bagi Harry—Bagman membuka kantong sutra itu.

”Wanita lebih dulu,” katanya, mengulurkan kantong itu kepada Fleur Delacour.

Fleur memasukkan tangan yang gemetar ke dalam kantong dan mengeluarkan model naga miniatur yang sempurna—naga Hijau Wales. Ada angka dua melingkar di lehernya. Dan, melihat Fleur yang tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan, melainkan tekad pasrah, Harry tahu bahwa dugaannya benar. Madame Maxime telah memberitahunya apa yang akan dihadapinya.

Hal yang sama terjadi pada Krum. Dia mengeluarkan Bola Api Cina yang berwarna merah. Nomor tiga terkalung di lehernya. Krum bahkan tidak berkedip, hanya duduk lagi dan memandang tanah.

Cedric memasukkan tangan ke dalam kantong, dan menarik naga Moncong-Pendek Swedia berwarna biru abu-abu, dengan nomor satu terkalung di lehernya. Harry memasukkan tangan ke dalam kantong sutra dan mengeluarkan naga Ekor-Berduri Hungaria yang bernomor empat. Naga itu merentangkan sayapnya ketika Harry menunduk memandangnya, dan menyeringai memamerkan taring mininya.

”Nah, begitulah!” kata Bagman. ”Kalian masing-masing sudah mengeluarkan naga yang akan kalian hadapi, dan nomor-nomor itu adalah nomor urut kalian untuk menghadapi naga-naga itu. Sebentar lagi aku harus meninggalkan kalian, karena aku yang akan memberi komentar. Mr Diggory, kau yang paling dulu. Keluarlah langsung ke arena yang sudah dipagari kalau kau mendengar tiupan peluit, oke? Sekarang… Harry… bisa kita bicara sebentar? Di luar?”

”Er… ya,” kata Harry bengong. Dia bangkit dan keluar dari tenda bersama Bagman, yang mengajaknya berjalan agak menjauh, ke tengah pepohonan, dan kemudian berbalik menghadapinya dengan ekspresi kebapakan pada wajahnya.

”Kau merasa baik-baik saja, Harry? Ada yang bisa kuambilkan?”

”Apa?” kata Harry. ”Saya… tidak, tidak ada.”

”Sudah punya rencana?” tanya Bagman, merendahkan suaranya dengan nada berkonspirasi. ”Karena aku tak keberatan membagi beberapa petunjuk, kalau kau mau. Maksudku,” Bagman meneruskan, merendahkan suaranya lebih pelan lagi, ”kau yang paling lemah, Harry… Kalau ada yang bisa kubantu…”

”Tidak,” kata Harry cepat sekali, dia tahu dia kedengaran tak sopan, ”tidak… saya… saya tahu apa yang akan saya lakukan, terima kasih.”

”Tak akan ada yang tahu, Harry,” kata Bagman, mengedip kepadanya.

”Tidak, saya tak apa-apa,” kata Harry, dalam hati heran sendiri, kenapa dia terus mengatakan begini kepada orang-orang, padahal belum pernah rasanya dia separah ini. ”Saya sudah membuat rencana, saya…”

Terdengar tiupan peluit dari suatu tempat.

”Astaga, aku harus buru-buru!” kata Bagman kaget, dan dia bergegas pergi.

Harry berjalan kembali ke tenda dan melihat Cedric keluar, lebih pucat dari tadi. Harry berusaha mengucapkan semoga berhasil ketika berpapasan dengannya, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah semacam dengkur parau.

Dia masuk bergabung dengan Fleur dan Krum. Beberapa saat kemudian mereka mendengar teriakan gemuruh penonton, yang berarti Cedric sudah memasuki arena dan sekarang berhadapan dengan naganya yang sebenarnya….

Ternyata hanya bisa duduk dan mendengarkan rasanya jauh lebih parah daripada yang bisa dibayangkan Harry. Penonton menjerit… berteriak-teriak… memekik ketakutan, sementara Cedric melakukan entah apa untuk bisa melewati naga Moncong-Pendek Swedia. Krum masih memandang tanah. Fleur sekarang mengikuti jejak Cedric, berjalan hilir-mudik mengelilingi tenda. Dan komentar Bagman membuat segalanya jauh lebih parah… Bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benak Harry ketika dia mendengar, ”Oooh, nyaris saja, sangat nyaris”… ”Dia mengambil risiko!”… ”Gerakan cerdik—sayang tidak berhasil!”

Dan kemudian, setelah kira-kira lima belas menit, Harry mendengar sorakan gegap gempita memekakkan telinga yang hanya berarti satu hal: Cedric telah berhasil melewati naganya dan mengambil telur emasnya.

”Sungguh bagus sekali!” Bagman berteriak. ”Dan sekarang nilai dari para juri!”

Tetapi Bagman tidak meneriakkan angka-angkanya. Harry menduga para juri mengangkat angka-angka itu dan memperlihatkannya kepada penonton.

”Satu selesai, masih ada tiga lagi!” seru Bagman ketika peluit berbunyi lagi. ”Miss Delacour, silakan!”

Fleur gemetar dari kepala sampai ke kaki. Harry merasa lebih hangat terhadapnya daripada yang selama ini dirasakannya, ketika Fleur meninggalkan tenda dengan kepala tegak dan tangan mencengkeram tongkat sihirnya. Tinggal Harry dan Krum berdua, berse-berangan dalam tenda, saling menghindari pandangan yang lain.

Proses yang sama mulai lagi… ”Oh, menurutku itu tidak bijaksana!” mereka bisa mendengar Bagman berteriak riang. ”Oh… hampir! Hati-hati sekarang… astaga, kupikir tadi habislah dia!”

Sepuluh menit kemudian, Harry mendengar penonton meledak bersorak lagi… Fleur tentunya telah berhasil juga. Hening sesaat, ketika angka-angka Fleur ditunjukkan… tepuk tangan lagi… dan, untuk ketiga kalinya, tiupan peluit.

”Dan sekarang, inilah Mr Krum!” seru Bagman, dan Krum berjalan bungkuk keluar, meninggalkan Harry sendirian.

Harry merasakan kesadaran akan tubuhnya lebih daripada biasanya. Dia sangat sadar bagaimana jantungnya berdegup keras, dan jari-jarinya dirayapi ketakutan… tetapi, pada saat bersamaan, dia serasa berada di luar tubuhnya, melihat dinding tenda, dan mendengar teriakan gemuruh penonton, seakan dari kejauhan.

”Sangat berani!” teriak Bagman, dan Harry mendengar si Bola Api Cina mengeluarkan jeritan menggerung mengerikan, sementara penonton menahan napas. ”Sungguh berani dia… dan… ya, dia berhasil mengambil telurnya!”

Sorakan memecah udara musim dingin seperti memecahkan kaca. Krum telah menyelesaikan tugasnya—giliran Harry akan tiba setiap saat.

Harry bangkit, kakinya rasanya terbuat dari agar-agar. Dia menunggu. Dan kemudian dia mendengar tiupan peluit. Dia berjalan melewati pintu tenda, kepanikan meningkat di dalam dirinya. Dan sekarang dia berjalan melewati pohon-pohon, masuk melalui lubang di pagar arena.

Dia melihat segala sesuatu di depannya seakan dalam mimpi yang berwarna-warni. Beratus-ratus wajah memandangnya dari tribune tinggi yang secara sihir telah didirikan di sekeliling arena. Dan di ujung lain arena tampak si Ekor-Berduri, merunduk rendah melindungi telur-telurnya, sayapnya setengah terentang, matanya yang kuning kejam memandang Harry. Sosoknya berupa kadal raksasa bersisik yang mengerikan, menghantam-hantamkan ekornya yang berduri, meninggalkan lekukan-lekukan sepanjang hampir satu meter di tanah yang keras. Penonton bising sekali, tetapi entah suara mereka ramah atau tidak, Harry tidak tahu dan tidak peduli. Sudah waktunya melakukan apa yang harus dia lakukan… memfokuskan pikirannya, seluruhnya dan sepenuhnya, pada satu hal yang merupakan satu-satunya kesempatannya…

Harry mengangkat tongkat sihirnya.

”Accio Firebolt!” dia berteriak.

Harry menunggu, seluruh serabut tubuhnya berharap, berdoa… Jika tidak berhasil… jika sapunya tidak datang… Rasanya dia memandang ke segala sesuatu di sekelilingnya melalui batas transparan yang bergetar, seperti udara panas, yang membuat arena dan ratusan wajah di sekelilingnya bergoyang aneh…

Dan kemudian didengarnya bunyi deru, melesat menembus udara di belakangnya. Harry menoleh dan melihat Firebolt-nya meluncur ke arahnya mengitari tepi hutan, terbang melewati atas pagar, dan berhenti di tengah udara persis di sebelahnya, menunggu dia menaikinya. Penonton riuh rendah… Bagman meneriakkan sesuatu… tetapi telinga Harry tak lagi berfungsi dengan benar… mendengarkan tidaklah penting lagi…

Dia melangkahkan kaki ke atas sapunya dan menjejak tanah. Sedetik kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi…

Saat dia melesat ke atas, saat angin menerpa rambutnya, saat wajah-wajah di bawahnya hanya berupa titik-titik kecil, dan si naga Ekor-Berduri mengecil seukuran anjing, Harry sadar bahwa dia tidak hanya meninggalkan tanah, melainkan juga ketakutannya… Di sinilah memang tempatnya…

Ini hanya pertandingan Quidditch yang lain, cuma itu… hanya pertandingan Quidditch yang lain, dan si naga Ekor-Berduri itu hanyalah regu lawan yang jelek…

Dia menunduk memandang gundukan telur dan melihat telur emasnya, berkilau di tengah telur-telur lainnya yang berwarna semen, tergeletak dengan aman di antara kedua kaki depan si naga. ”Oke,” Harry berkata kepada dirinya sendiri, ”taktik pengalihan perhatian… ayo…”

Dia menukik. Kepala si Ekor-Berduri mengikutinya. Harry tahu apa yang akan dilakukan si naga dan menghindar tepat pada waktunya. Semburan api diarahkan ke tempat di mana dia persis akan berada jika tidak menghindar… tetapi Harry tidak peduli… itu tak lebih daripada menghindari Bludger…

”Bukan main, hebat sekali terbangnya!” teriak Bagman sementara penonton menjerit dan menahan napas. ”Apakah kau menyaksikan ini, Mr Krum?”

Harry meluncur naik melingkar. Si naga Ekor-Berduri masih mengikuti gerakannya, kepalanya berputar di atas lehernya yang panjang—kalau dia begini terus, dia akan pusing—tetapi lebih baik jangan terlalu memaksanya, nanti dia menyemburkan api lagi…

Harry meluncur turun tepat ketika si Ekor-Berduri membuka mulutnya, tetapi kali ini dia kurang beruntung—dia berhasil menghindari apinya, tetapi ekor si naga melecutnya, dan saat dia miring ke kiri, salah satu durinya yang tajam menggores bahunya, merobek jubahnya…

Harry bisa merasakan bahunya panas dan perih, dia bisa mendengar jeritan dan keluhan dari penonton, tetapi lukanya rupanya tidak dalam… Sekarang Harry meluncur mengelilingi punggung si naga, dan terlintas di benaknya satu kemungkinan…

Si Ekor-Berduri tampaknya tak mau beringsut, dia terlalu protektif terhadap telur-telurnya. Meskipun dia menggeliat dan berputar, mengepakkan dan mengatupkan sayapnya, dan menancapkan pandangan mata kuningnya yang mengerikan pada Harry, dia takut bergerak terlalu jauh dari telur-telurnya… tetapi Harry harus membujuknya agar menjauh, kalau tidak dia tak akan bisa mendekati telur-telur itu… Caranya adalah melakukannya dengan hati-hati, tahap demi tahap…

Harry mulai terbang, mula-mula ke arah yang satu, kemudian ke arah lain, tidak cukup dekat untuk membuat si naga menyemburkan api guna mengusirnya, tetapi tetap cukup mengancam hingga si naga terus memandangnya. Kepala si naga terayun ke sana kemari, memandang Harry melewati pupilnya yang vertikal, taringnya menyeringai…

Harry terbang lebih tinggi. Kepala si naga ikut naik, lehernya sekarang terjulur sepanjang mungkin, masih terayun seperti ular di depan pawangnya…

Harry naik lagi sekitar satu meter, dan si naga mengeluarkan raungan putus asa. Harry baginya seperti lalat, lalat yang ingin ditepuknya. Ekornya menyabet lagi, tetapi Harry sekarang terlalu tinggi… Dia menyemburkan api ke udara, yang berhasil dihindari Harry… Moncongnya terbuka lebar…

”Ayo,” desis Harry, berayun menggoda di atasnya, ”ayo, ayo tangkap aku… bangun sekarang…”

Dan kemudian naga itu bangkit, akhirnya merentangkan sayapnya yang lebar, hitam, dan seperti kulit, selebar sayap pesawat kecil—dan Harry menukik. Sebelum si naga tahu apa yang dilakukan Harry, atau ke mana dia menghilang, Harry melesat ke tanah secepat dia bisa, menuju telur-telur yang sekarang tidak dilindungi kaki naga yang bercakar tajam—dia sudah melepas tangan dari Firebolt—dia berhasil menyambar telur emas…

Dan dengan kecepatan tinggi, dia menyingkir, melayang di atas tribune, telur yang berat itu aman terkepit oleh lengannya yang tidak terluka, dan seakan baru saja ada yang membesarkan volume—untuk pertama kalinya Harry menyadari kerasnya teriakan penonton, yang memekik-mekik dan bersorak seriuh sorakan pendukung tim Irlandia dalam Piala Dunia…

”Lihat itu!” teriak Bagman. ”Coba lihat itu! Juara termuda kita-lah yang paling cepat mendapatkan telurnya! Wah, ini akan mengubah peringkat Mr Potter!”

Harry melihat para pawang naga berlari ke arena untuk menenangkan si Ekor-Berduri, dan di balik lubang masuk arena, Profesor McGonagall, Profesor Moody, dan Hagrid bergegas menyongsongnya, semuanya melambai agar Harry mendatangi mereka, senyum mereka jelas tampak, walaupun dari kejauhan. Harry kembali terbang di atas tribune, sorakan penonton berdentum menggetarkan gendang telinganya, dan dia mendarat dengan mulus, hatinya terasa lebih ringan daripada selama beberapa minggu belakangan ini… Dia telah berhasil melaksanakan tugas pertamanya, dia selamat…

”Hebat sekali, Potter!” seru Profesor McGonagall saat Harry turun dari Firebolt-nya—datang dari Profesor McGonagall, itu pujian yang luar biasa. Harry memperhatikan bahwa tangan Profesor McGonagall bergetar ketika menunjuk ke bahunya. ”Kau perlu menemui Madam Pomfrey sebelum para juri mengumumkan angkamu… Di sana, dia harus membersihkan luka-luka Diggory…”

”Kau berhasil, Harry!” kata Hagrid parau. ”Kau berhasil! Padahal melawan si Ekor-Berduri, dan kau tahu Charlie bilang dia yang paling galak…”

”Terima kasih, Hagrid!” kata Harry keras-keras, supaya Hagrid tidak keterlepasan ngomong bahwa dia telah menunjukkan naga-naga itu kepada Harry sebelumnya.

Profesor Moody juga tampak sangat senang. Mata gaibnya menari-nari dalam rongganya.

”Asyik dan gampang, kan, Potter,” geramnya.

”Baik, Potter, pergilah ke tenda pertolongan pertama…,” kata Profesor McGonagall.

Harry keluar dari arena, masih terengah, dan melihat Madam Pomfrey berdiri di mulut tenda kedua, tampak cemas.

”Naga!” katanya dengan nada jijik, seraya menarik Harry masuk. Tenda itu dibagi dalam dua ruangan. Harry bisa melihat bayangan Cedric di balik kanvas, tetapi tampaknya Cedric tidak terluka parah. Dia duduk, paling tidak. Madam Pomfrey memeriksa bahu Harry sambil terus mengomel. ”Tahun lalu Dementor, tahun ini naga, apa lagi yang akan mereka bawa ke sekolah selanjutnya? Kau beruntung sekali… lukamu cukup dangkal… tapi perlu dibersihkan sebelum kusembuhkan…”

Madam Pomfrey membersihkan luka itu dengan menotol-notolnya dengan cairan ungu yang berasap dan membuat perih, tetapi kemudian dia menyentuh bahu Harry dengan tongkat sihirnya, dan Harry merasakan lukanya langsung sembuh.

”Sekarang duduk diam dulu sebentar… duduk! Setelah itu baru kau boleh pergi dan melihat angkamu.”

Dia bergegas meninggalkan tenda, dan Harry mendengarnya masuk ke sebelah dan bertanya, ”Bagaimana rasanya sekarang, Diggory?”

Harry tidak mau duduk diam saja. Dia terlalu penuh semangat. Dia bangkit, ingin tahu apa yang terjadi di luar, tetapi sebelum mencapai mulut tenda, dua orang melesat masuk—Hermione, diikuti oleh Ron.

”Harry, kau hebat sekali!” lengking Hermione. Masih ada bekas kuku di pipinya yang tadi dicengkeramnya penuh ketakutan. ”Kau luar biasa! Betul!”

Tetapi Harry memandang Ron, yang sangat pucat dan menatap Harry seakan Harry hantu.

”Harry,” katanya, sangat serius, ”siapa pun yang memasukkan namamu dalam piala itu… ku…kurasa mereka berusaha membunuhmu!”

Seakan beberapa minggu yang terakhir ini tak pernah terjadi—seakan Harry bertemu Ron untuk pertama kalinya, setelah dia terpilih menjadi juara.

”Paham juga akhirnya kau,” kata Harry dingin. ”Perlu waktu cukup lama.”

Hermione berdiri cemas di antara mereka, menatap mereka bergantian. Ron membuka mulutnya dengan sangsi. Harry tahu Ron akan minta maaf dan mendadak dia merasa tak perlu mendengarnya.

”Sudahlah,” katanya sebelum Ron bisa berkata apa-apa. ”Lupakan saja.”

”Tidak,” kata Ron, ”seharusnya aku tidak…”

”Lupakan saja,” kata Harry.

Ron nyengir gugup kepada Harry, dan Harry membalas nyengir.

Air mata Hermione langsung bercucuran.

”Tak ada yang perlu ditangisi!” kata Harry, bingung.

”Kalian berdua tolol benar!” teriaknya, mengentakkan kaki ke tanah, air mata membasahi bagian depan jubahnya. Kemudian, sebelum salah satu dari mereka bisa mencegahnya, Hermione memeluk mereka berdua dan berlari pergi, menangis tersedu-sedu.

”Sinting,” kata Ron, menggelengkan kepala. ”Harry, ayo, mereka akan mengumumkan angkamu…”

Memungut telur emas dan tongkatnya, merasa lebih gembira daripada yang dibayangkannya bisa terjadi satu jam yang lalu, Harry menunduk keluar dari tenda. Ron di sebelahnya, berbicara cepat.

”Kau paling hebat… tak ada pesaing. Yang dilakukan Cedric aneh. Dia menTransfigurasi batu karang di tanah… mengubahnya menjadi anjing Labrador… dia berusaha membuat naganya mengejar anjing itu alih-alih dirinya. Yah, Transfigurasi-nya cool sih, dan cukup sukses, karena dia berhasil mengambil telurnya. Tetapi dia terbakar juga—si naga berubah pikiran setengah jalan dan memutuskan lebih suka menangkapnya daripada si Labrador. Nyaris saja Cedric bisa diterkamnya. Dan si Fleur memantrai naganya, kurasa dia mencoba membuat naganya trans—yah, usahanya berhasil juga, naganya jadi mengantuk, tetapi kemudian dia mendengkur, dan menyemburkan lidah api besar, dan jubah Fleur terbakar—dia memadamkannya dengan air dari tongkatnya. Dan Krum—kau tak akan mempercayai ini, tapi dia bahkan tidak memikirkan terbang! Dia mungkin yang terbaik setelah kau. Langsung menyerang mata si naga dengan semacam mantra. Celakanya, si naga mengentak-entak kesakitan dan menggencet separo dari telur-telurnya yang asli—angkanya dikurangi karena itu, dia tak boleh membuat telur-telur itu rusak.”

Ron menahan napas ketika dia dan Harry tiba di tepi arena. Sekarang setelah si Ekor-Berduri dibawa pergi, Harry bisa melihat di mana kelima juri duduk—tepat di seberang, di tempat duduk tinggi berselubung kain keemasan.

”Nilai tertinggi dari masing-masing sepuluh,” kata Ron, dan Harry, menyipitkan mata ke seberang, melihat juri pertama—Madame Maxime—mengangkat tongkat sihirnya ke atas. Pita perak panjang meluncur keluar dari ujungnya, melingkar membentuk angka delapan.

”Tidak buruk!” kata Ron, sementara penonton bersorak. ”Kurasa dia mengurangi angkanya gara-gara bahumu luka…”

Berikutnya Mr Crouch. Dia meluncurkan angka sembilan ke angkasa.

”Bagus!” teriak Ron, menepuk punggung Harry.

Berikutnya Dumbledore. Dia juga memberi angka sembilan. Penonton bersorak lebih riuh daripada sebelumnya.

Ludo Bagman—sepuluh.

”Sepuluh?” ujar Harry tak percaya. ”Tapi… aku terluka… Apa maksudnya?”

”Harry, jangan mengeluh!” teriak Ron bersemangat.

Dan sekarang Karkaroff mengangkat tongkatnya. Dia berhenti sejenak, kemudian ada angka yang meluncur dari tongkatnya—empat.

”Apa?” Ron menggerung marah. ”Empat? Brengsek, licik, curang, kau memberi Krum angka sepuluh!”

Tetapi Harry tidak peduli, dia tak akan peduli sekalipun Karkaroff memberinya nilai nol. Kemarahan Ron untuknya berharga seratus angka baginya. Dia tidak mengatakan ini kepada Ron, tentu saja, tetapi hatinya terasa lebih ringan daripada udara ketika dia berbalik meninggalkan arena. Dan bukan hanya Ron maupun anak-anak Gryffindor yang bersorak ramai. Ketika mereka tadi melihat apa yang harus dihadapi Harry, sebagian besar anak-anak langsung berpihak kepadanya, sama seperti kepada Cedric… Harry tidak peduli kepada anak-anak Slytherin, dia bisa tahan apa pun yang mereka lontarkan kepadanya sekarang.

”Kau berada di tempat pertama, Harry! Kau dan Krum!” kata Charlie Weasley, bergegas menemui mereka ketika mereka bersiap kembali ke sekolah. ”Aku harus lari sekarang. Aku harus kirim burung hantu ke Mum, aku sudah bersumpah akan mengabarinya apa yang terjadi—tapi tadi sungguh tak bisa dipercaya! Oh yeah… dan mereka menyuruhku memberitahumu kau harus menunggu beberapa menit… Bagman mau bicara, di tenda para juara.”

Ron berkata akan menunggu, maka Harry masuk lagi ke tenda juara, yang sekarang rasanya berbeda, lebih ramah dan menyenangkan. Harry mengingat bagaimana rasanya sewaktu menghindari si Ekor-Berduri, dan membandingkannya dengan masa menunggu lama sebelum dia keluar menghadapi naga itu… Tak bisa dibandingkan. Masa menunggu tadi sungguh jauh lebih buruk.

Fleur, Cedric, dan Krum masuk bersama-sama. Sebelah wajah Cedric berlumur tebal salep berwarna jingga, mungkin salep luka bakarnya. Dia tersenyum kepada Harry.

”Hebat, Harry.”

”Kau juga,” kata Harry, balas tersenyum.

”Bagus sekali, kalian semua!” kata Ludo Bagman, melangkah ringan ke dalam tenda dan tampak gembira seakan dia sendirilah yang baru berhasil melewati naga. ”Kalian punya waktu istirahat panjang sebelum tugas kedua, yang akan dilangsungkan pukul setengah sepuluh pagi tanggal dua puluh empat Februari… tetapi sementara itu kami memberi kalian sesuatu untuk dipikirkan! Jika kalian meneliti telur emas yang kalian pegang, kalian bisa melihat bahwa telur-telur itu bisa dibuka… lihat engselnya? Kalian harus memecahkan petunjuk yang ada di dalam telur itu—karena petunjuk itu akan memberitahu kalian apa tugas kedua kalian, sehingga kalian bisa mempersiapkan diri untuk menghadapinya! Semua jelas? Yakin? Baiklah, kalian boleh pergi, kalau begitu!”

Harry meninggalkan tenda, bergabung dengan Ron, dan mereka berjalan mengelilingi tepi hutan, mengobrol seru. Harry ingin tahu apa yang dilakukan para juara lainnya dengan lebih detail. Kemudian, ketika mereka menikung di segerumbul pepohonan yang dari baliknya Harry pertama kali mendengar para naga menggerung, seorang penyihir wanita melompat keluar dari belakang mereka.

Rita Skeeter! Dia memakai jubah hijau cemerlang hari ini. Pena Bulu Kutip-Kilat di tangannya menyatu dengan warna jubahnya.

”Selamat, Harry!” katanya, tersenyum kepada Harry. ”Bagaimana kalau kauberi aku sepatah-dua patah kata? Bagaimana perasaanmu tadi waktu menghadapi naga itu? Bagaimana perasaanmu sekarang, tentang pemberian angka, apakah cukup adil?”

”Yeah, boleh dua patah kata,” kata Harry galak. ”Selamat tinggal.”

Dan dia melanjutkan berjalan pulang ke kastil bersama Ron.